Serpihan Luka

236 15 1
                                    

Sungguh tidak mudah bagiku untuk melupakannya. Melupakan seseorang yang selalu ada dalam hati dan pikiranku. Aku telah berulang kali mencoba menghapuskan namanya dalam ingatanku. Bahkan aku pernah berpikiran gila, berharap aku amnesia agar aku benar benar lupa akan semua yang telah terjadi antara aku dengannya.

"Diwa kamu memang sosok yang perfec di mataku" kalimat itu sempat aku goreskan di dalam buku harianku. Aku ingat ketika menuliskan kalimat itu, aku tengah menggilai seorang laki laki yang tak pernah mau melirikku. Mata sipitnya seolah tak berguna untuk digunakan untuk melirik, memandang ataupun menatap sekilas kepada perempuan sepertiku. Wajahnya yang menawan seolah tak pantas untuk sekedar ku pandangi dengan segala keluguanku
"Diwa aku memang bukan perempuan istimewa"goresan penaku di dalam buku harianku malah semakin melemahkan keadaanku. Kalimat itu kutuliskan karena saat itu aku merasa memanglah tak pantas menggagumi apalagi menaruh hati pada seorang laki laki seperti Diwa.

"Mel, aku daftarin kamu untuk ikutan acara keakraban ya" tiba tiba saja Nata menelepon dan mengabarkan bahwa aku didaftarin untuk ikut acara itu. Acara yang diadakan oleh komisariat perkumpulan mahasiswa yang se daerah sama aku. Nata adalah laki laki yang saat ini menjalin hubungan denganku. Aku kuliah di sini awalnya memang mengikuti jejak Nata. Aku sempat menyembunyikan kabar kepergianku ke kota ini kepada Nata. Tujuanku tidak lain adalah ingin memberikan surprise kepadanya. Aku yakin 1000 persen Nata akan begitu bahagia dengan kedatanganku. Apalagi aku akan menemaninya menjalani hari hari selama menuntut ilmu di kota ini.

Suatu hari setelah sampai di kota ini, aku diantar Rossy untuk mencari alamat Nata, berbekal alamat yang pernah dia tulis di dalam amplop surat yang dia kirim tempo hari.

Rossy antusias sekali mengantarkanku mencari jejak jejak alamat yang ku bawa di dalam saku celana jeans lusuhku. Rossy adalah teman yang baru aku kenal ketika masa ospek di kampusku. Meskipun baru mengenalnya, aku sudah bisa membaca sedikit karakternya. Dia baik, ramah dan suka membantu teman. Kebetulan juga orang tua Rossy berasal dari kota ini. Walaupun sekarang dia dan kedua orang tuanya tinggal di Jakarta.

Aku dan Rossy menunggu Nata di depan gerbang kampusnya. Jam perkuliahan di kampus Nata telah selesai. Segerombolan mahasiswa keluar dari gerbang kampus itu. Harap harap cemas aku menantikan Nata keluar dan muncul lalu hadir di hadapanku.

"Mel, orangnya kaya gimana sih Nata itu? " tanya Rossy setelah sekian menit kami menunggu di depan gerbang.
"Pendek Ros, "jawabku singkat.
"Kaya bonsai dong" jawab Rossy sekenanya.
"Hahaha"kami pun tertawa sambil saling menepuk punggung. Meskipun sudah terlihat bosan tapi Rossy masih setia menemaniku menunggu Nata yang menjadi pengharapanku.
"Mel, kok belum muncul juga ya si Nata nya" Rossy sudah mulai menampakan kebosanannya. Aku jadi merasa tidak enak jadinya. Sejak selesai mata kuliah pertama di kampusku tadi pagi, aku dan Rossy langsung capcus menuju kampus Nata. Perut sudah mulai berdendang, menyanyikan lagu dengan judul kelaparan. Wajar saja karena aku dan Rossy memang belum sempat mengganjal perut dengan apapun. Aku tetap berdiri di pinggir jalan di bawah pohon rindang dekat gerbang kampus Nata. Rossy sudah mulai gelisah dan celingak celingkuk mencari tempat yang bisa dia duduki sambil mengusap peluh di lehernya. Matahari yang semakin garang dengan cahayanya yang membuat gerah tubuh orang orang yang berada di bawahnya. Aku hampir berbalik arah meninggalkan kampus Nata karena sudah tidak tahan dengan suasana yang serba tidak nyaman itu. Sebelum aku bilang ke Rossy bahwa kita lebih baik pergi saja kembali ke kampus. Aku melihat sekilas sosok yang mirip dengan Nata tengah berjalan berdampingan dengan seorang laki laki yang agak tinggi dengannya. Laki laki itu semakin mendekat ke arahku. Laki laki yang berkemeja kotak kotak berwarna coklat dan celana jeans model beige itu, sepertinya memang Nata.
"Ros, itu dia, itu dia! ". Aku teriak teriak memangil Rossy yang tengah duduk di atas sebuah batu di bawah pohon sedikit jauh dari tempatku. Berdiri.
"Nata? " Rossy berkata dengan isyarat di bibirnya.
"iya, ayo sini" aku melambaikan tanganku segera agar Rossy buru buru menghampiriku. Rossy segera menghampiriku lalu mencari sosok Nata yang kutunjukan tengah berjalan mendekati kami.
"Yang itu tuh Ros! " aku begitu antusias menunjuk seorang cowok yang berpostur sedikit pendek, sedikit botak dan sedikit berkumis tipis. Serba sedikit menurutku karena memang cintaku kepada Nata hanya sedikit saja. Aku mencintai Nata hanya 1 persen saja.  99 persennya hanya rasa kagum, bangga dan lebih banyak rasa kasihan terhadapnya. 

Nata sudah lewat di depan aku dan Rossy. Dia tak melihat kami yang sedang berdiri dan menanti kedatangannya. Aku pun seperti terhipnotis oleh keadaan, tak mampu memanggil Nata yang sedari tadi aku nantikan.
"Mel, ayo panggil dong dia udah jauh tuh! " Rossy mengingatkanku agar aku segera memanggil Nata. Aku berlari mengejar Nata yang sudah hampir sampai di gang sempit di antara dua rumah yang menghimpit jalan itu.
"Nat, Nataa! " teriakku. Nata dan temannya yang berjalan di samping Nata serentak menoleh ke arahku.
"Mely?" Nata memanggil namaku dengan mata yang berbinar. Wajahnya menampakan keheranan. Aku tak mampu berkata kata lagi. Saat itu aku begitu gugup, sekian lama tak bertemu dan bertegur sapa dengannya sepertinya Nata menjadi asing dimataku. Kerinduan yang lama aku rasakan seketika sirna setelah aku Berjumpa dengannya. Tapi wajah Diwa tiba tiba berkelebatan dalam ingatanku. Aku merindukan Nata, tapi dihatiku ada nama Diwa. Nata laki laki baik dalam penilaianku tapi pesona sosok Diwa meluluh lantakkan perasaanku. Dalam waktu yang bersamaan aku telah dihadapkan dengan dua pilihan. Merangkul Nata yang baik ataukah tetap mengejar Diwa yang tak sedikit pun memberikan harapan padaku.

Senja hari di malam takbir tahun kemarin, aku pergi seorang diri menyusuri tepian pantai yang dekat dengan tempat tinggalku. Saat itu aku pulang ke kampung halaman untuk mengisi liburan kuliahku. Aku pulang membawa rasa sakit hati karena sikap Diwa terhadapku hingga aku sempat merasakan prustasi dan ingin segera melenyapkan namanya dalam hatiku. Malam semakin larut, aku tak segera beranjak dari pantai itu. Ada kenyamanan yang kurasakan. Bulan yang menemaniku memancarkan sinarnya yang redup seolah olah tau bahwa hatiku tengah dirundung kepedihan. Desauan angin malam dan suara ombak lautan begitu syahdu mengiringiku di antara sunyinya malam di tepian pantai itu. Aku berikrar kepada diriku sendiri bahwa aku harus bisa melupakan Diwa dan segera mengejar Nata. Meskipun aku tak tau apakah aku bisa.

Surat BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang