Surat Kemarin

29 1 0
                                    

Bis malam membawaku ke kota tempatku menuntut ilmu. Aku tak bisa menikmati perjalanan ini, ada resah yang masih tersimpan di hatiku.

Jam sembilan malam, bis itu berhenti di tempat peristirahatan. Para penumpang segera turun sekedar untuk membeli makanan ringan atau minuman hangat. Beberapa penumpang juga terlihat antri di toilet. Aku sangat malas untuk beranjak dari tempat dudukku. Aku berharap aku bisa tidur nyenyak di dalam bis, hingga aku tak merasakan perjalanan yang amat panjang ini.

Aku kembali ke kota ini setelah kedua orang tuaku terus membujukku. Aku tak berani berterus terang kepada mereka, bahwa aku masih membutuhkan waktu untuk bisa mengobati lukaku. Aku masih belum mau bertemu dengan Diwa dengan segala kabar tentang dia dan pacarnya.

Pagi pagi buta sampailah bis itu di kota tujuan, aku buru buru turun dan melanjutkan perjalananku dengan menggunakan taksi. Setelah sampai di tempat indekosan ku buka pintu kamar dan langsung ku rebahkan tubuhku yang lelah ini.

Aku ketiduran hingga melewatkan waktu perkuliahanku pagi ini. Kalau Yani tidak mengetuk pintu kamar, mungkin saja aku masih enak enakan tidur hingga siang hari.
"Mel, tadi pagi nyampe jam berapa?" tanya Yani.
"kurang lebih jam limaan deh"jawabku sambil mengucek mata yang serasa masih ngantuk.
"Kemarin Diwa bolak balik lho ke sini, nanyain kamu. " Yani mengabarkanku sesuatu yang membuatku bertanya tanya.
"Ngapain dia nanyain aku? " aku bertanya dengan penuh keheranan.
"Taau" jawab Yani sambil mengangkat kedua bahunya.

Setelah mandi, aku bersiap siap pergi ke kampus. Ku pakai celana jeans dan sepatu kets, tak lupa tas ransel yang berisi beberapa buah buku yang ku pinjam dari perpustakaan. Meskipun ketinggalan waktu perkuliahan, aku tetap harus ke kampus untuk mengembalikan buku buku yang sudah lama aku pinjam.

"Yan, aku ke kampus dulu ya! " pamitku pada Yani.

Setelah mengunci kamar aku pun segera pergi, tapi tiba tiba Diwa sudah berada di belakangku.
Sosok laki laki itu menghalangi langkahku. Aku mendorongnya hingga dia mundur selangkah dariku.
"Kamu ngapain sih? "Tanyaku dengan memasang wajah yang jutek.
"Kemaren kemana aja? aku bolak balik ke sini lho. Tanya aja sama Yani kalau kamu ngga percaya." jawab Diwa.
Aku diam dan menunduk, aku tak berani bersirobok pandang dengannya. Aku tak ingin terhipnotis oleh tatapan matanya yang memancarkan ketenangan.
"Ada apa kamu mencariku? " tanyaku pelan.
"Emang ngga boleh ya aku nemuin cewek yang aku suka" Pernyataannya telah membuatku jadi salah tingkah.

Diwa tetap menghalangi jalanku, aku bergeser dan berdiri bersandar ke tembok pagar.
"Kamu mau ke kampus Kan? " tanyanya.
"Iya"jawabku singkat.
"Monggo" Diwa mempersilakanku untuk pergi dan memberiku jalan. Tak ada kalimat basa basi apa pun yang kuucapkan padanya, aku langsung pergi dari hadapannya.

Sesampainya di kampus aku langsung menuju perpustakaan. Seperti biasa aku mencari tempat mojok yang agak jauh dari jangkauan pengunjung perpus. Setelah mengambil beberapa buku bacaan aku duduk di tempat pavoritku itu sambil membuka buka buku.

Pikiranku tetap tak bisa berpaling dari sosok Diwa. Aku mencoba menjauhinya tapi dia malah mendekatiku. Aku mencoba tuk pergi tapi dia malah datang padaku. Aku ingin menghapuskan mimpi mimpiku tentangnya tapi dia kembali hadir memberiku harapan kembali.

Aku tak ingin terluka untuk yang kesekian kali. Aku tak ingin dia memberiku harapan tanpa kepastian. Aku tau dia sudah punya pacar tapi kenapa dia bilang suka sama aku?

Semakin pening rasanya kepalaku, aku memutuskan pulang kembali ke tempat indekostanku. Setelah mengembalikan buku buku yang aku pinjam tempo hari, aku lekas lekas ke luar dari perpustakaan.

Malam kembali menjelang, ku coba memberanikan menulis sepucuk surat kepada Diwa. Tujuanku hanya satu yaitu aku ingin mengakhiri segala ketidak pastian atas sikaf sikaf Diwa kepadaku.

Aku menggoreskan tinta hitamku di atas kertas yang berwarna biru.

Dear Diwa

Malam ini aku memberanikan diri menulis surat untukmu, aku harap kamu bisa memahami kata demi kata yang tergores di atas kertas ini

Diwa, aku tau
Aku bukanlah perempuan istimewa di matamu
Aku tidak mempunyai kelebihan yang luar biasa dibandingkan dengan perempuan perempuan lain yang kamu kenal sebelumnya

Diwa, aku yang mempunyai banyak kekurangan sangatlah tidak pantas untuk menjadi seseorang yang istimewa di hatimu.

Tapi kamu harus tau bahwa aku pernah salah menafsirkan sikaf sikaf kamu kepadaku, bahkan aku pernah berharap kamu menjadi seseorang yang bukan hanya sekedar teman dalam hidupku.

Diwa, aku mohon kamu jangan lagi memberikan harapan yang tanpa kepastian padaku.aku ingin kamu jangan datang lagi di saat aku ingin menjauhimu.

Bantu aku untuk melupakanmu
Dan jangan pernah datang lagi padaku dengan membawa harapan semu

Dari Mely

Selesai menulis, ku lipat dan kumasukan surat itu ke dalam amplop yang berwarna biru. Aku lebih leluasa menulis di secarik kertas dibandingkan dengan menuliskannya dalam pesan yang dikirim melalui gawaiku. Biar pun cara itu sudah kuno, tapi bagiku tak akan ada jejak tulisanku yang tersimpan di dalam memori gawaiku itu.

Ada rasa plong tapi juga rasa deg degan setelah aku menulis surat itu. Aku berharap dengan cara itu Diwa akan memahami perasaan dan dia akan menjauhiku.

Yani mengajakku pergi ke luar untuk mencari makan malam.

Ku bawa surat itu di dalam saku celanaku. Biasanya Diwa dan temen temennya juga akan lewat ke depan rumah indekosanku, apalagi malam ini adalah malam minggu.

Aku pergi dengan Yani.

Ketika langkah kakiku belum sampai ke pintu gerbang rumah, aku mendengar suara Diwa dan temannya.

"Yan tunggu dulu di sini, biarin mereka lewat duluan." kataku pada Yani.
"Siapa? Si Diwa ya" Yani mulai menebak nebak tujuanku.

Aku diam tak menjawab pertanyaan Yani. Aku tak ingin dia tau kalau aku akan memberikan surat itu untuk Diwa.

Beberapa detik kemudian Diwa dan satu temannya lewat di depanku. Aku mengikutinya.

"Mau pada kemana nih? " tanya Diwa sambil nengok ke arah aku dan Yani.

"Ehm.. eh iya..aku..aku ada perlu sama kamu Diwa" kataku gugup.

Yani sedikit mempercepat langkah kakinya seolah olah dia sudah tau bahwa aku mempunyai urusan yang serius dengan laki laki itu.

Aku dan Diwa berdiri berhadapan, sementara Yani dan teman Diwa sudah agak menjauh dari kami.

"Ada apa? "Diwa bertanya padaku.
"Ini" Jawabku singkat sambil menyodorkan sepucuk surat biru yang ku rogoh dari saku celanaku.
"Apa nih? " tanya Diwa lagi.
"Tolong bacanya nanti saja di rumah"pintaku pada Diwa.

Setelah itu entah bagaimana kelanjutannya, aku pergi bersama Yani. Aku tak tau suratku itu di baca di mana atau mungkin dia buang.

Walau ada sedikit sesal setelah aku memberikan surat itu, sisi lain dari hatiku justru aku merasa puas. Mulai detik ini aku benar benar telah mampu menjauh dari dia.

Aku pulang kembali ke rumah Indekosanku dengan membawa sebungkus nasi goreng.

Rasa laparku sudah tak bisa ku tahan. Aku segera membuka bungkus nasi goreng itu sambil mendengarkan musik, dari radio mungil di kamarku.

Kini sendiri di sini
Mencarimu tak tau di mana

Lagu "kemarin" yang dinyanyikan seventeen seakan memberikanku kekuatan dalam kesedihan. Aku pasti akan kuat tanpa Nata dan Diwa.

Bersambung



Surat BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang