Nuansa Lara

34 0 0
                                    

Kini aku benar benar sendiri, aku hampir sukses dengan usahaku. Berada di antara teman teman yang selalu membuatku tertawa sangatlah membantuku, kini aku tak lagi merasa kesepian di kota ini.

"Mel, ikut aku yuk pulang kampung! " Raya mengajakku untuk pulang bersamanya.

Raya adalah salah satu temanku di kampus. Gadis keturunan Arab itu tinggal di sebuah kota yang selalu disebut kota penyangga ibu kota. Berhidung mancung dan kelopak mata yang besar, dia begitu berbeda denganku. Hidungku pesek, kelebihan fisikku hanyalah mempunyai kulit yang putih mulus. Ciri khas gadis gadis Sunda.

Aku pun tak menolak ajakannya. Aku ingin ke luar dari zona yang selalu terpokus pada sosok Nata dan Diwa.

Meskipun saat ini bukan waktunya liburan tapi kami masih bisa mengatur waktu keberangkatan dan kembali ke kota itu, agar tidak mengganggu waktu kuliah kami.

Senja hari aku dan Raya sudah bersiap siap untuk segera meluncur ke stasiun kereta api. Langit yang tadi siang berwarna biru cerah kini telah berganti warna. Matahari yang perlahan lahan akan segera menuju peraduannya memaksa kami harus sedikit berlari setelah turun dari angkutan umum menuju gerbang stasiun. Jangan sampai kami ketinggalan kereta malam ini.

Setelah sampai di stasiun, Raya segera menuju loket penjualan tiket. Raya membeli dua tiket kereta api ekonomi untuk kami berdua.

Waktu menunjukan pukul 19.00 Wib. Kami sudah stand by di ruang tunggu penumpang. Hiruk pikuk orang orang yang berlalu lalang di depanku, membuatku yakin bahwa kereta yang akan kami naiki pastinya akan bejubel.

Kereta yang kami tunggu itu akan datang dari arah kota Solo. Kereta di jadwalkan akan kembali melanjutkan perjalanan pada pukul 20.00 Aku dan Raya berdiri berdesakan dengan para calon penumpang lain yang sama sama sedang menunggu kedatangan ular besi tersebut.

"Tuuut....tuuut... Tuut" suara terompet kereta api dari jauh sudah terdengar nyaring. Seketika calon para penumpang merangsek ke depan, mendekati tempat di mana kereta itu akan berhenti dan membuka pintunya lebar lebar.

"Mel, ayo cepetan! " raya menarik tanganku.

Aku menyeret kakiku, mengikuti langkah Raya. Raya memang sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu, bahkan menurutnya suasana kali ini lebih tertib dibandingkan yang pernah dia alami dan rasakan sebelumnya. Bagiku, ini adalah pengalaman pertamaku. Berdesakan dengan para calon penumpang kereta api.

Tidak lama kemudian kepala si ular besi itu sudah mulai muncul di stasiun itu. Raya menarikku dan sejurus kemudian kami sudah berada tepat di depan pintu kereta yang masih tertutup.

"Mel, kamu jangan bengong ya. Kalau pintu kereta itu sudah terbuka kita harus buru buru naik. Kalau tidak nanti kita ngga bakalan kebagian tempat duduk. " Raya terus saja nyerocos memberiku peringatan.

Sebelum aku menanggapi peringatan Raya, tiba tiba pintu kereta itu terbuka. Aku buru buru melompat ke atas gerbong kereta. Tapi nahas orang di belakang mendorongku dan membuat tubuhku limbung.

"Jeduk" kepalaku kejedot besi penyangga kursi kereta.

"Hadaw....! "aku berteriak meringis kesakitan. Ku pegang kepalaku yang terasa sedikit nyut nyutan.

"Kenapa Mel? " tanya Raya sambil cengengesan menertawakan penderitaanku.

"Huh! Ngga lagi lagi deh aku ikut pulang kampung sama kamu" gerutuku.

Di dalam gerbong kereta, para penumpang benar benar bejubel. Jangankan tempat duduk yang kosong, tempat untuk kami berdiri pun begitu sesak.

Aku dan Raya berdiri tidak jauh dari pintu kereta api, kami tidak mampu berkutik dari tempat itu.

"Raya sampai kapan kita akan berdiri seperti ini? "tanyaku pada Raya. Baru beberapa menit kereta ini keluar dari stasiun, aku sudah merasa bosan dengan posisi yang pasti akan melelahkan ini.

"Tenang Mel, kamu harus kuat hingga kereta ini sampai di stasiun berikutnya." jawab Raya.







Belum selesai



Surat BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang