Asa yang Sirna

58 3 6
                                    

Hari hari yang kulalui di kota itu menjadi penuh dengan pengharapan. Setiap derap kaki melangkah, setiap jantung berdetak, dalam setiap desahan nafasku dan dalam setiap tidurku selalu saja ada nama Diwa. Aku menjadi tak peduli dengan Nata. Tak peduli apakah Nata tau atau tidak aku sedang jatuh cinta dengan cowok lain. Aku tak peduli apakah Nata akan kecewa atau tidak dengan sikaf masa bodoh aku kepadanya.

"Tok tok tok" pintu kamarku ada yang mengetuk. Aku bergegas bangun dari tempat sujudku. Ku buka mukena yang masih aku kenakan. Niatku sehabis sholat maghrib ini aku akan membaca ayat suci.
"Bentar ya! " kataku sambil bergegas membukakan pintu.
Nata berdiri di depan pintu, kaos oblong berwarna biru muda dan topi yang selaras dengan warna kaosnya menjadikannya lebih berbeda dari biasanya. Di tambah lagi dengan wangi parfum khas yang begitu gentleman semakin membuatku curiga. Ada apa dengan Nata?
"Keluar yuk! " ajak Nata kepadaku.
"Sekarang? " jawabku ragu ragu.
"Iya, aku ingin ngajak kamu makan di luar" ajaknya penuh semangat.
"Tapii.. "aku bingung harus berkata apa untuk menolak ajakan Nata. Laper sih laper, memang biasanya juga sehabis maghrib aku akan pergi ke luar buat nyari makan malam. Kali ini Nata mengajakku makan bersamanya.
"Jangan nolak ya! " Nata sepertinya sudah tau aku akan menolak ajakannya. Tapi aku benar benar tidak ingin pergi bersamanya. Bahkan udah kesekian kalinya aku tak mau pergi dan selalu menolak ajakan dia. Nata seolah olah tak pernah putus asa dengan penolakanku.
"Ya sudah kalau kamu ngga mau pergi, biar aku pergi sendirian saja" Nata berbicara dengan nada yang kecewa. Raut wajahnya menyimpan kekesalan dan kekecewaan yang tidak dapat dia ungkapkan kepadaku.
"Maaf ya, please!" aku memohon kepadanya dengan merapatkan kedua telapak tanganku.
"Iya deh" jawabnya singkat dan dia pun langsung pergi dari hadapanku, Menghilang dalam kegelapan.

Aku masih mematung di tempat berdiriku semula. Memandang Nata yang melangkah pergi dengan membawa kekecewaan akibat sikafku. Jujur aku tak merasa bersalah kepadanya. Aku malah merasa lega karena aku sedikit demi sedikit akan mencoba melepaskan diri dari hubungan yang telah kami ikrarkan sejak lama.

Setelah Nata berlalu dari kostanku, aku kembali ke kamarku. Ku putar radio mungil yang selalu setia menemaniku. Aku baru tau malam ini adalah malam minggu. Pantas saja Nata datang menjemputku.
"Seandainya yang datang malam ini dia" bisik hatiku. Iya dia yang selama ini selalu mempermainkan perasaanku. Dia yang sedikit sedikit telah mengikiskan perasaan sayangku terhadap Nata". Jadi seandainya hubunganku sama Nata jadi renggang, berarti semuanya salah dia. Salah laki laki itu.

Rasa laparku sudah tak bisa lagi aku tahan. Dengan rasa malas yang mendayu dayu aku memaksakan diri keluar untuk mencari makan malam. Tujuanku yaitu nasi goreng, warung nasi goreng yang nangkring di perempatan jalan itu memang sudah menjadi langgananku.
"Mas satu ya, dibungkus" aku segera memesan nasi goreng setelah sampai di warung.
"Pedes ngga mba? " tanya si mas nya.
"Sedang aja mas, jangan terlalu pedes" jawabku. Aku menunggu nasi goreng itu sambil duduk santai di warung yang masih sepi itu.
Tak sengaja aku bertemu dengan teman teman Diwa yang satu kostan dengannya. Mereka rupanya sama denganku mau membeli nasi goreng di warung itu.
"Hey! " satu orang menyapaku sambil tersenyum. Aku hanya menganggukan kepalaku dan tak lupa kulemparkan senyum manisku sebagai balasan kepadanya.
"Sama siapa? " tanya dia sambil menggeser tempat duduknya lebih dekat kepadaku.
"Sendirian ya? " tanyanya lagi.
"Iya" jawabanku singkat. Aku memang belum berani berakrab akrab ria kepada mereka karena aku belum terlalu mengenal mereka. Tapi aku sudah tau nama orang yang menyapaku ini yaitu Eric.
"Cuma bertiga? Diwanya mana? " huff aku langsung menutup mulutku. Gila, aku sudah keceplosan. Hadeuuh perempuan apa aku ini? Ngapain aku nanyain laki laki itu kepada mereka. Aku ini perempuan yang saat ini masih di tabu kan untuk agresif menyerang laki laki. Semoga saja mereka tak mendengar pertanyaanku itu.
"Waaah, si Diwa mah lagi ama pacarnya tuh!" jawab Eric. Hah pacar? apa aku ngga salah dengar. Jadi Diwa udah punya pacar?. Jantungku hampir berhenti berdetak, tubuhku menjadi lunglai. Aku tak bisa menggerakkan anggota tubuhku meskipun nasi goreng sudah di sodorkan oleh si mas nya.
"Mba ini nasgornya" si mas tukang nasgor menyadarkanku. Segera ku rogoh saku celanaku, ku ambil uang ribuan dan ku berikan padanya. Aku ngeloyor pergi dari warung itu, tak kupedulikan tatapan heran teman teman Diwa. Mereka mungkin berpikir kok ada ya perempuan yang datang tak di undang dan pergi pun tanpa pamitan.

Sesampainya di kamar kostan aku langsung menjatuhkan diri ke kasur yang ku gelar di lantai. Aku sampai lupa kalau cacing cacing di perutku ini sudah jingkrak jingkrak kelaparan. Aku masih terngiang ngiang ucapan Eric tadi.
"Diwa sedang sama pacarnya" itu informasi faktual yang ku dapatkan malam ini. Informasi yang seharusnya membuatku menyadari diri bahwa aku jangan terlalu berharap kepadanya.

Hari hari yang kulalui setelah aku mendapat kabar kalau Diwa sudah punya tambatan hati adalah kehampaan. Dunia ku terasa hampa, hanya kekosongan yang dapatkan. Aku bertekad akan menjauhkan diri dari Nata. Aku akan berjuang melawan egoku yang bersikukuh harus bisa mendapatkan Diwa.
"Diwa kamu gila!! " tulisku dalam buku harianku. Tapi semua ini bukan karena dia. Kesalahan terbesarku ada pada diriku sendiri. Mudah percaya dan jatuh cinta pada orang yang belum tentu mencintaiku.
"Hey, kamu Mely ya? "itulah awal pertama aku mengenal Diwa. Dia mengajakku kenalan dan dia pun sudah tau namaku duluan.
"Iya" jawabku singkat dan memang jawabanku selalu singkat. Setelah perkenalan itu tak ada sikafnya yang mengistimewakanku. Setiap bertemu, Diwa hanya menyapaku dengan senyuman manisnya. Terkadang lirikan matanya membuatku jatuh tersungkur berharap dia menyukaiku. Mungkin itulah kesalahanku yang menafsirkan sikaf Diwa seolah olah menyukaiku. Hiks...

"Mel, tadi aku ke sini. Tapi kamu ngga ada. Kamu kemana aja? " pesan yang dituliskan Nata di atas notebook yang kugantung di pintu kamarku berkali kali aku baca lalu ku sobek dan ku lempar ke tempat sampah. Nata sudah bolak balik menemuiku dan aku sengaja ingin menghindarinya. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kampus. Terkadang aku hanya diam di perpus atau duduk di taman kampus merenungi diri yang sudah ku buat sakit hati sendiri.

"Mel, ada titipan nih" Yani menyodorkan sebuah kotak yang di bungkus kertas kado berwarna ungu Warna kesukaanku.
"Dari siapa? " tanyaku penasaran.
"Cowok" jawabnya. Aku mengambil kotak itu dari tangan Yani lalu aku masuk kamar dan segera membuka kotak itu. Kotak yang berisi sebuah earphone yang memang tengah aku butuhkan. Di dalam kotak itu juga terselip selembar kertas yang berisi lirik lagu dari BIP Bintang Hidupku

Aku selalu menyanyi
Lagu yang engkau ciptakan
Kau nyanyikan

Dan aku selalu ikuti
Semua cerita tentangmu
Hari harimu

Kau jadi inspirasiku
Semangat hidupku
Di kala aku sedih
Di kala aku senang
Saat sendiri dan kesepian
Kau bintang dihatiku

Apapun yang kau lakukan
Baik dan buruk bagiku
Tetap indah

Tak satu pun alasan
Untuk melupakanmu
Meninggalkanmu

Aku selalu berdiri mendukungmu
Di kala engkau terbang

Happy Birth Day Mely....

Dari yang selalu menantikanmu

Nata

Bulir bulir air mataku berjatuhan membasahi kertas yang yang berisi tulisan tangan Nata. Aku sampai lupa kalau hari ini aku Ulang Tahun. Saat ini aku tak bahagia, aku hanya ingin menyampaikan terima kasih dan mohon maaf kepada Nata.

Bersambung























Surat BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang