Bab 6. Curhat Colongan

114 15 3
                                    

Alfa dan Mada telah tiba di kedai kopi langganan. Gadis itu selalu suka berada di sana. Baru tiba di pelatarannya saja aroma biji kopi robusta telah menyeruak. Alfa yakin pasti tidak hanya dirinya yang terhipnotis untuk singgah saat berlalu di dekatnya.

Meskipun kafein yang dikandung biji kopi robusta lebih tinggi dari biji kopi arabika, perbedaan keduanya tak membuat Alfa terjaga saat malam setelah mengonsumsinya. Jadi, tak masalah bagi Alfa mengonsumsi jenis kopi apa pun.

Dari balik meja barista, Bang Iwan tengah menyiapkan dua gelas kopi pesanan mereka. Pemuda tigapuluh lima tahun itu tampak telaten menyiapkan kopi. Tatapan serius dan tangan terampilnya membuat Alfa yakin kalau kecintaan Bang Iwan pada kopi bukan hanya mengikuti trend atau mengambil peluang bisnis semata.

Sedikit informasi yang Alfa tahu, Bang Iwan tidak ingin hanya dianggap sebagai pemilik kedai, pemuda itu lebih senang meracik pesanan pengunjung. Alfa bisa melihatnya dari raut wajah Bang Iwan yang selalu tampak puas ketika usai meracik kopi. Selain itu, Bang Iwan memiliki perkebunan kopi di kampung halamannya. Dibantu oleh orang-orang ayahnya, kebun kopi milik Bang Iwan bersama ayahnya sudah dikenal oleh pebisnis kopi selama hampir delapan tahun. Satu hal yang Alfa kagumi dari sosok Bang Iwan, pemuda tiga puluh lima tahun itu selalu bersemangat menjalani hari-hari bersama kedai pun juga keluarganya. Harmonisasi kehidupan Bang Iwan terkadang membuat Alfa merasa iri, hingga Alfa bertekad akan dewasa dengan menjalani hidup seperti Bang Iwan.

"Dia galau itu!" Seolah tahu kalau dirinya tengah diperhatikan Alfa, pemuda tiga puluh lima tahun itu berseru pada Mada dari balik meja barista.

"Kamu putus sama Elian?" tanya Mada seolah tak percaya karena sedikit meninggikan nada bicaranya. Belum sempat Alfa menjawab, pemuda itu sudah berkata, "Alhamdulillah."

Saat ini keinginan terbesar Alfa adalah bisa meremas wajah pemuda tengil itu sampai tak lagi berwujud. Namun, gadis itu bukanlah Alfa kalau tidak punya segudang ide. Ia pun menyisikan hidung pada selembar tisu, kemudian meremas dan melemparnya ke Mada. "Kudoakan semoga kamu cepat putus sama Sevila!" ujar Alfa seraya menyesap kopi pesanannya.

Sialnya, pemuda itu berhasil menghindar. Jadilah tisu berlendir itu jatuh tepat di pangkuan Mada. "Ya ... ya. Aku gak heran kalau cowok-cowok pada ninggalin kamu. Kamu 'kan bukan cewek," ucapnya sembari menguncang-uncangkan kakinya di bawah meja.

"Sembarangan! Gini-gini aku bisa dandan! Cuma ya malas aja," tukas gadis berlesung pipi itu seraya menggamit potongan terakhir roti bakar yang ada di piring. "Anda kurang beruntung, Kisanak!" serunya sembari menggelengkan kepala dan memamerkan betapa nikmat roti bakar itu.

Pemuda berlesung pipi itu berdecih, "Rese banget kamu, Al! Aku pacarin nih!" serunya yang tentu saja langsung dibalas oleh si gadis dengan semburan air kopi dari sedotan.

Siapa juga yang mau jadi pacar pemalas itu? Aku sih yakin pacarnya itu gak tahu kerjaan Mada kalau di rumah. Biar kukasih tahu. Kebiasaan pemuda cerewet itu kalau weekend tiba; pertama, dia baru akan tidur jam delapan pagi dan bangun jam lima sore. Sepanjang larut malam dihabiskan untuk nonton AKB 48 di youtube. Hebat, kan?. Kedua, dia baru akan mandi kalau ibunya menyiramkan segentong air untuk membangunkannya. Kamarnya banjir? Iya! Maka itu Bik Sulas sering ngeluh dan curhat ke aku kalau aku datang ke sana. Nyusahin banget 'kan hidupnya Mada?. Terakhir, pemuda tengil sok ganteng itu diam-diam sering nelponin banyak cewek tiap malam minggu. Buktinya? Wah, aku yakin banget Sevila bakalan tanpa pikir panjang buat mutusin Mada kalau tau itu semua, gumam Alfa dalam hati sembari menikmati minuman favoritnya—es cappucino dan mengabaikan Mada yang sedang berceloteh dari kursinya. Kini pemuda itu telah kembali ke posisi semula.

PERLINA [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang