Elian duduk dengan santai di sofa ruang tamu. Raut wajahnya begitu cerah setelah melihat kedatangan Alfa. Hatinya berdebar, rindunya menguar bebas sampai-sampai rona merah menghiasi pipinya. Ingin sekali ia memeluk sang pujaan hati yang sudah lama tak di sampingnya. Namun, belum sampai kaki kanannya mendekat, si gadis justru berjalan ke arahnya dan berdiri di seberang. Kini meja tamu menjadi pembatas mereka. Apa dia menghindari saya? Tanya pemuda itu dalam hati.
“Kamu....”
Ucapan Alfa terhenti. Gadis itu merasa lidahnya kelu walau untuk basa-basi. Hatinya ingin sekali berlari dan jatuh di pelukan Elian, pacar pertamanya. Sayangnya, hasrat si gadis berhasil dikalahkan dengan logika. Berbagai pertanyaan pun bermunculan dalam benaknya yang membuat dirinya sakit kepala beberapa hari ini. Belum lagi penampakan wujud Elian yang berbeda drastis.
Elian persis mayat hidup saat ini. Raut wajahnya bahkan terlihat sangat kacau meski pakaian yang dikenakan cukup rapi dan menarik—kaos kelabu polos dan celana jins dongker yang menutup kakinya. Alfa masih ingat dengan setelan itu. Saat pemuda itu mengatakan cinta ketiga kali, pakaian itulah yang dipakainya. Namun, detik selanjutnya gadis itu menyipitkan mata. Ia seolah tahu ada yang salah dengan pakaian itu. Entah berat badan pemuda itu yang berkurang drastis atau pakaiannya yang memang longgar, Alfa tidak tahu. Hanya saja, saat ini tubuh Elian tampak tenggelam oleh pakaiannya sendiri. Selain itu, kini pipi pemuda itu tampak lebih tirus.
Dari ambang pintu Mada masih berdiri termangu memperhatikan drama yang akan dimainkan oleh si gadis berlesung pipi. Sementara itu otaknya tak berhenti berpikir. Si Alfa lagi datang bulan kali ya? Dari pas di kedai Bang Iwan tadi, sensitif bener. Wah, kalau iya bisa wassalam tuh nasib Elian. Masa bodo ah, pikirnya.
“Aku pulang,” ucap Mada menghamburkan sorot mata Alfa pada Elian dan sebaliknya. Menit berikutnya, ia telah meninggalkan halaman rumah Alfa. Gadis itu mengabaikan kepergiannya.
“Dari kapan kamu di sini?” tanya si gadis sembari memandang ke arah lain, seolah tak acuh dengan kedatangan Elian.
Suasana canggung seperti ini bukan harapan pemuda itu. Ia benar-benar ingin tahu bagaimana kabar gadisnya. Ia ingin sekali mendekapnya erat, tetapi ia pun sadar bahwa kembali dirinya hanya untuk menuntaskan misi yang telah disusun matang-matang sebelum keberangkatannya menuju Jakarta.
“Saya udah di sini waktu telepon kamu,” katanya. Pemuda itu menghapus jarak antara dirinya dengan Alfa. Kini mereka telah berdiri bersisian.
Gadis itu menoleh memandang wajah pujaan hatinya masih dengan tatapan datar. Sementara pemuda itu menelisik ke dalam bola mata si gadis, mencari arti dari tatapan itu. Namun, yang ditemukannya adalah tatapan luka dan keraguan.
Pemuda itu pun tersenyum. “Kamu gak kangen saya?” tanya Elian membuka kedua tangannya lebar, berharap si gadis akan memeluknya.
Namun, usahanya cukup sia-sia. Alfa justru mengerutkan dahi melihat tingkah pacarnya itu seolah tampak tak merasa bersalah. Sial! Gimana bisa dia gak ngerasa bersalah? Gumamnya. Gadis itu pun mengalihkan pandangannya. Ia memilih duduk di sofa. Hatinya komat-kamit membacakan mantra agar seseorang—siapapun itu—datang di antara mereka. Ia tidak ingin berlama-lama dalam suasana canggung seperti ini.
Kalau ditanya seberapa besar Alfa merindukan Elian, gadis itu dengan sukarela akan menjawab sangat merindukannya. Sampai-sampai hampir gila karena di setiap malam sebelum tidur, ia selalu membaca ulang kembali chat whatsapp dari pacarnya itu. Hanya saja, kali ini kejengkelan lebih memenangkan hatinya dari rasa rindu. Gara-gara fenomena telepon tempo hari yang belum menemukan jawaban. Ah, mana mau ngaku dia. Palingan jawaban dia sama kayak jawaban cewek di telepon itu, gumam Alfa.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERLINA [COMPLETE]
Teen FictionBertemu lagi dengan Elian menjadi misi Alfa selama beberapa minggu ini. Gadis itu menunggu kabar Elian yang hilang selama enam bulan ini bak ditelan bumi. Namun, bukannya mendapatkan hasil, Alfa justru bertemu dengan Aljabar yang total abis menggang...