Waktu selalu berputar pada porosnya. Seperti jarum jam yang selalu berputar ke kanan, dan tak sekalipun kembali mundur. Dua tahun pun telah berlalu. Si gadis telah dinyatakan lulus dengan peringkat terbaik ketujuh di sekolah. Senyumnya merekah memandang impian akan di genggamnya sebentar lagi. Hatinya membuncah. Bu, ini untuk ibu. Semoga ibu bahagia melihat aku akan berhasil.
Berbagai acara perayaan kelulusan telah selesai. Lapangan sekolah penuh dengan potongan kertas warna-warni yang berhamburan. Beberapa siswa mewarnai seragam putihnya, beberapa yang lain tetap menjadi siswa baik yang menjaga kebersihan seragamnya. Seperti Alfa dan Rani saat ini. Keduanya tengah berbincang di sisi lapangan.
“Ran, setelah hari ini kita bakal susah ketemu. Semenjak Mada pergi, aku bener-bener sepi. Aku bersyukur masih ada kamu, ya ... walaupun sosok Mada tetap gak bisa kamu gantiin. Kamu udah berusaha bangkitin aku, dan kamu berhasil.” Gadis itu mengembuskan napas berat. “Kamu juga pergi ya, Ran. Aku harus gimana?” Alfa menatap Rani dengan tatapan nanar.
“Setiap kita yang berpisah jarak, masih bisa terus bersilaturahim, Al. Kamu bisa hubungi Mada kalau kangen sama dia, gitu juga aku. Kamu gak bisa egois berharap semuanya tetap tinggal di sisimu. Dunia ini bukan milik kita, Al.” Rani menatap Alfa sembari merangkul gadis itu dan menepuk-nepuk pundaknya.
Alfa tetap bergeming. “Kamu jadi lanjut ke SMU (Singapore Management of University)?”
“Begitulah.” Rani tersenyum sembari menaikan bahunya. Tatapannya lurus memandang ke angkasa biru. “Otakku gak sebagus kamu, Al. Jadi aku milih ngelanjutin di sana.”
“Sarkas banget, Ran.” Alfa melirik sembari menjauhkan tubuhnya dari Rani.
Rani menyeringai.
“Aku benar-benar sendirian, nih,” ujar Alfa setelah beberapa detik juga memandang angkasa biru.
“Kamu bisa ngejalanin semua ini, Al. Kamu harus yakin. Kamu harus tunjukin ke ayahmu, kalau kamu benar-benar jadi anak yang mandiri bahkan bisa dibanggakan. Aku yakin kamu juga bakal lolos USYD (University of Sydney). TOEFL kita sama-sama jelek kok,” celetuk Rani mencairkan suasana. Lalu ia tertawa sekeras yang ia mampu hingga membuat seluruh siswa yang berada di sekitarnya menoleh ke arah mereka berdua.
“Kapan kamu berangkat?”
“Besok malam,” jawab Rani serak seolah tak rela berpisah dengan teman baiknya itu. “Tapi aku masih bakal bolak-balik kok. Ngurus berkas, ijazah ‘kan belum jadi, Al.”
Alfa hanya melirik ke arah Rani.
“Kenapa?” tanya Rani bingung.
“Aku geli dengar kamu ngomong bijak mulu dari tadi.”
“Asem kamu!”
Keduanya tertawa, kemudian saling berkejaran karena Alfa telah jahil mengacak rambut panjang lurus milik Rani. Mereka bergelut di tengah lapangan; saling merangkul. Hari itu, Alfa menitihkan air mata untuk perpisahan dengan teman baiknya di SMA.
***
Sorenya langit mengingatkan Alfa pada pertemuannya dengan Bagas dua tahun silam, sebelum pemuda itu pergi ke kota Malang untuk meneruskan pendidikannya.
Di tepi pantai, semilir angin berembus lembut. Gemuruh ombak terdengar lamat-lamat nan sejuk. Sembari menatap senja yang akan meninggalkan langit petang, keduanya duduk bersisian. Saling menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi. Dalam hati, Alfa menduga Bagas akan memberi tahu kabar tentang Elian. Di sisi hati yang lain, Bagas menyusun momen yang tepat kapan ia harus berkata.
Tamparan air laut pada batu di pesisir pantai pun mejadi ucapan yang ia katakan pertama kali dalam keheningan itu.
“Al, lo tau kenapa batu di pesisir pantai gak pernah ngeluh, padahal setiap saat terkikis terpaan ombak?” Bagas menunggu Alfa menjawab. Namun, gadis itu tetap diam. “Karena mereka ikhlas dengan takdirnya dan percaya kalau embusan angin selalu menyejukkan diri mereka yang kedinginan,” jelas Bagas sembari menatap senja yang sebentar lagi akan meninggalkan langit sore.
Pemuda itu berkata lagi. “Gak perlu noleh ke masa lalu. Biarin semua berjalan seperti yang seharusnya terjadi. Lepas semua yang harus pergi. Raih semua yang pantas diperjuangkan. Menangis kalau hati merasa terluka. Lalu bahagia, karena setiap hati berhak untuk merasa bahagia. Gue datang saat ini, nemenin lo, bukan sebagai penyembuh luka. Karena gue juga akan pergi. Tapi lo harus ingat, kepergian seseorang ke kota lain masih lebih baik daripada kepergian seseorang ke alam lain. Itulah perpisahan yang hakiki. Lo harus kuat. Gue yakin dan percaya lo bisa.”
Alfa memperhatikan raut wajah si pemuda berkulit cokelat yang kini duduk bersisian dengannya. Kumis dan jambangnya begitu tegas. Alisnya tebal, rambutnya rapi disisir ke kiri. Penampilannya nampak lengkap sederhana dengan kaos oblong abu-abu, celana jeans biru sepanjang betis dan sepasang sandal karet berwarna putih.
Suasana kembali lengang. Gadis itu belum mengatakan apa pun. Pandangannya kembali ke arah senja. Bagas memberikan sepucuk surat yang Elian titipkan padanya.
“Elian pernah titipin ini ke Mada, tapi dia gak enak hati buat kasih langsung karena lo marah saat tau dia pamit pergi. Jadi, hari itu dia titipin ini ke gue.”
Alfa menerima sepucuk surat bersampul biru cokelat itu. Dibacanya perlahan. Hatinya mengeja tiap kata yang tersirat.
Alfa Samudra Pasai,
Gadis akustik yang saya cintai, apa kabar? Maaf karena lama gak memberimu kabar. Saat kamu membaca surat ini, mungkin saya tidak akan pernah kembali lagi. Bersama surat ini, saya kirimkan foto-foto saat melakukan penelitian di Yogyakarta. Saya juga menyelipkan foto seorang teman yang pernah menjawab panggilan selulermu. Namanya Lena.Alfa, saya minta maaf. Kamu pasti terkejut, tapi jalan ini gak bisa saya hindari. Saya sakit. Bahkan sebelum kenal kamu. Karena itu saya pergi. Nggak ada jalan lain. Pada foto terakhir, saya mengirimkan hasil pemeriksaan darah. Di sana kamu bisa membaca hasil pemeriksaan darah saya. Hebat ya, akhirnya saya juara!
Alfa, teruslah berkarya bersama akustikmu. Saya menunggu karya-karyamu, saya akan selalu menunggu kabar baik darimu. Kejarlah impianmu, saya yakin kamu mampu menjadi atlet pelatnas suatu hari nanti, dan tetaplah jadi dirimu sendiri. Saya percaya, kamu akan mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik. I’m happy to you, and I hope you’ll be happy, always.
Dari yang pernah mencintaimu dan selalu menyayangimu,
Elian Panca Mahendra.
Tepat saat ‘Elian Panca Mahendra’ dilafalkan hatinya, angin pun berembus kencang. Ombak mulai surut. Air mata gadis itu mendobrak benteng yang telah ia bangun sejak kepergian Mada. Rinai air mata yang tak mampu dibendung lagi jatuh tak berkesudahan. Mereka berjatuhan begitu deras. Dengan sebelah tangannya, Bagas memeluk gadis itu. Membebaskan Alfa menumpahkan segala kelam yang menutupi warna dirinya. Hari itu, semua beban terasa sirna begitu saja.
“Maaf gue gak kasih tau lebih awal soal keadaan Elian.”
Gadis itu menggeleng. “Sekarang dia di mana?”
Bagas mengangkat bahunya sembari mendangakkan pandangannya dan menarik napas panjang. “Entahlah, kami sekeluarga gak ada yang tau keberadaannya.”
Gadis di sisinya masih menekuri surat di genggamannya. Air matanya belum berhenti menetes.
“Besok gue berangkat ke Malang. Jaga diri baik-baik, Al.”
Bersamaan dengan senja yang kian tertutup dengan langit malam, Bagas meninggalkan gadis itu di tepi pantai. Alfa hanya memperhatikan si pemuda yang makin menjauh darinya tanpa menoleh barang satu kali.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
PERLINA [COMPLETE]
Teen FictionBertemu lagi dengan Elian menjadi misi Alfa selama beberapa minggu ini. Gadis itu menunggu kabar Elian yang hilang selama enam bulan ini bak ditelan bumi. Namun, bukannya mendapatkan hasil, Alfa justru bertemu dengan Aljabar yang total abis menggang...