2. Dentang Lonceng Dihari Kelabu

49.3K 1.9K 47
                                    

“Kau yakin?” Bianca menatapku ragu.
Kuanggukkan kepalaku dengan mantap “Berikan saja suntikan penghilang rasa sakitnya.”
Dia tertawa kecil sambil menepuk lenganku “Aku tak yakin ada obat bius yang mampu menghilangkan sakitnya patah hati.”

“Kalau begitu temukan, setelah kau patenkan kujamin kau pasti akan kaya raya dan bisa lebih cepat pensiun dari profesi kita.”
Kali ini dia tidak menanggapi candaanku dengan tawa seperti yang dilakukannya tadi.

“Aku yakin aku tetap bisa keluar dari sana dalam keadaan hidup Bia” kukatakan itu untuk memberinya keyakinan.
“Hidup!” ulangnya berseru heran “Aku sudah lama tidak melihat tanda-tanda kehidupan darimu Yo, sejak...” dia tidak melanjutkan kalimatnya.

Aku mengalihkan pandangan pada menara lonceng gereja yang menjulang tinggi. Warna catnya putih gading yang indah.
 Sewarna dengan gaun yang akan dipakainya dalam upacara pemberkatan nanti.

“Lebih baik kita masuk dan menemui mereka sebelum mama terlanjur berpikir kalau aku hendak kabur dari janji.”
Tanpa banyak bicara Bianca hanya mengangguk dan kemudian menyelipkan jari jemarinya ditangan kiriku, kutatap wajahnya, dan dia tersenyum menenangkan.
Kubalas senyumnya dan kamipun melangkah bersama menuju ke Gereja, tempat dimana bekas sahabat baikku akan menikah dengan mantan istriku.

*****

“Hai” kusapa pria yang duduk manis dibarisan kursi terdepan didalam Gereja tua ini.
Dia menoleh dan tersenyum padaku, senyum yang lama tidak pernah diberikannya lagi padaku sampai hari ini tiba.
“Apa aku terlihat gugup?” tanyanya penasaran.
Kuanggukkan kepalaku “Tenanglah dia tak mungkin lari darimu.”
“Begitukah?”
Aku hanya mengangguk perlahan.

Bagaimana mungkin Gina bisa melakukan itu, dulu saja saat menikah denganku dia tidak lari dan menghadapinya dengan ketenangan luar biasa.

Leon mengeluarkan sesuatu dari balik jas putih yang dikenakannya, menaruh benda itu dilutut kananku.
“Jadilah bestman ku?” pintanya sambil menatap lurus kemataku.
Aku tersenyum dingin “Apa kau tak punya orang lain untuk dimintai pertolongan?”
Dia menggeleng “Tidak ada yang sebaik...”
“Dan sebrengsek aku” potongku cepat.
Tawanya mengalun dirumah Tuhan ini.

“Tanpa alasan yang tepat, aku tidak mau jadi bestmanmu.”
“Aku punya alasannya” dia menyahuti datar.
“Oh ya!”
“Kau teman terbaik, yang rela melepaskan kebahagiaanmu sendiri demi sahabatmu.”

Aku terdiam ditempatku duduk. Benakku membatinkan kemungkinan-kemungkinan irasional tentang alasan dibalik kata-katanya itu. Apa mungkin dia tau soal .....

Aku tidak yakin.
Kuraih kotak kecil itu dari lututku “aku tidak paham apa maksudmu, tapi mengingat betapa sedikitnya sahabat yang kau miliki, maka aku bersedia melakukannya.”
“Terimakasih.”
Kusahuti kalimat itu dengan satu senyum datar.

*****

Walau pada awalnya aku menolak untuk menemui Gina di ruang tunggu, karena mama dan Bia memaksa maka aku melakukannya juga.
Dan aku terpaksa harus mengubur penyesalanku didalam keangkuhan sikap yang terbiasa kulakonkan dihadapannya.

Begitu pintu kubuka, mata kami bertemu pandang.

Matanya yang sendu selalu menyiksa aku dalam rasa sakit akibat begitu banyak penyesalan mendalam akan perbuatanku padanya.

“Aku heran! Bagaimana mungkin ada wanita yang tetap tidak terlihat istimewa walau sudah dua kali memakai gaun pengantin seindah dan semahal yang kau kenakan itu” sindirku sinis.

Ketidak ramahan adalah satu kepastian yang kuberikan untuknya, dan seperti biasa, untuk setiap kalimat jahatku dia menghadiahkan hal yang paling tidak layak kuterima, senyum bidadarinya.

Hatiku,
Seketika mengutuk atas kebodohan kebodohan terbesar karena telah melepaskan bidadari ini.

“Mas..”
Dia bahkan selalu memanggilku dengan penuh rasa hormat dan sopan.
“Apa??”
“Bantu aku berdiri, gaun ini berat sekali.”

Sambil berdecak kesal aku melakukan segala permintaannya itu “Sudah tahu kalau tubuhmu kecil kenapa harus memakai gaun sebesar dan seberat ini” aku menggerutu sendiri.

“Leon yang minta aku pakai” sahutnya pelan “aku melakukannya agar dia senang.”

Jawaban itu membungkam kalimat kasar yang ingin kutumpahkan padanya, atas ketidak relaan untuk melepasnya pada pria lain.
“Ya. Jadi istri memang harus seperti itu ... kau harus selalu membuatnya senang.”
“Mas?”
“Apalagi?”
“Apa mas senang sekarang?”

Kutegakkan punggungku untuk menatapnya “Apa maksudmu?”
“Sejak kita bercerai, apa mas merasa lebih senang?”
“Tentu” dustaku.
Regina tersenyum lebar “Kalau begitu aku tidak akan pernah menyesal karna melepaskanmu.”

Apa maksudnya?
Apa dia.....
Tidak.
Tidak mungkin.

“Tutup mulutmu, dan cepat taruh tanganmu disini” perintahku sambil menunjuk lenganku sendiri.
Dalam diam, diapun melakukannya.
Aku melangkah bersamanya menuju pintu yang menghubungkan ruang tunggu dengan kapel utama gereja.

Tegak bersamanya didepan pintu yang masih tertutup ini mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Setelah hari ini, Regina Alysa akan terbang jauh dari hidupku, namun tidak dari ingatanku.

“Gina?”
“Ya?”
“Aku titip sahabatku untuk kau bahagiakan.”
Dan pintu itu terbuka, menghentikan suaranya saat hendak menjawab permintaanku itu.

*****

Aku harus kuat.
Yah! Hanya itu yang bisa kulakukan sekarang.
Dengan sisa-sisa kekuatan kuserahkan tangan Gina pada tangan Leon yang telah menantinya, kuguratkan senyum hambar saat keduanya saling bertukar senyum dan tatap.

Mereka berdiri berdampingan didepan altar, dihadapan Tuhan yang akan menjadi saksi pengikatan ini.
Pengikatan yang dengan congkaknya telah kuingkari dulu.

Maafkan aku.
Kukatakan itu sambil memejamkan mata.
Semuanya bukan mauku, aku terpaksa melakukannya.

Mereka mengucapkan janji sehidup semati itu dengan tenang dan penuh kesakralan.
Beginilah pernikahan yang sesungguhnya, aku membatin dalam hati.
Rasa perih dilambung menyiksaku dalam kesakitan, kulirik Bia sekilas, dan dia yang sedari tadi telah menanti-nanti reaksiku dengan cepat mendekat.

Kurebahkan kepalaku yang pusing kepuncak kepalanya.
“Obat maag ku mana Bi?”
“Disini” diangkatnya clutch perak yang dibawanya.
“Berikan padaku.”
“Sekarang? Kau gila! Ini masih puncak acara.”
“Aku enggak tahan lagi”
Mata coklat Bia menatapku prihatin, dengan perlahan dia menyelipkan salah satu lengannya kepinggangku, menyangga tubuh yang rasanya sudah semakin kehilangan tenaga.
Kukubur wajahku kepuncak kepala wanita yang setia menemani aku sebagai sahabatnya selama ini, sebutir air mata lolos dari mataku.

Perih.
Itulah yang kurasakan saat mendengar pendeta memberkati ikatan antara mereka.

*****

Flash Back.

Foto-foto itu dilemparkan papa tepat didepan wajahku.
Wajah kalapnya melontarkan tuduhan-tuduhan tak terkatakan akan bukti-bukti kebejatan tingkah laku putra tunggalnya.
“Papa kecewa sama kamu Yo!” kata-katanya terucap lirih.

Kutundukkan kepalaku dalam-dalam.
Aku bahkan lebih kecewa pada diriku sendiri, batinku dalam hati.
Disaat yang sama ingatan akan dirinya terputar jelas dipikiranku.
Menyiksa dengan semacam rasa bersalah akan peristiwa terakhir yang kuingat dari kejadian satu minggu yang lalu.

*****

Kucoba untuk merapikan pakaianku dengan jari-jemari yang masih bergetar.
Dibalik punggung aku masih bisa mendengar suara tangisnya.
Perlahan kulepaskan kemejaku, dan melemparkan benda itu padanya tanpa menoleh sama sekali.

“Pakai itu” suruhku dingin.
Perlahan aku mendengar suara gemerisik dari arah belakangku.
Kudongakkan kepalaku untuk menatap langit-langit ruangan dengan perasaan letih yang mendera, bingung apa yang harus kulakukan setelah ini terjadi.

“Gadis itu ingin menjebakmu”
Suaranya menyadarkan aku pada kenyataan yang ingin kuanggap sebagai mimpi buruk belaka.

“Apa?” aku bertanya bingung.
“Gadis yang kau buntuti itu..” kalimatnya menggantung “aku mendengarnya berbicara ditelepon dengan seseorang kalau dia telah merencanakan untuk menjebakmu dengan foto-foto saat kau dan dia…”
Kalimat itu tak selesai karena aku keburu berbalik dan menatapnya lurus-lurus,
Mengintimidasi.

“APA MAKSUDMU?” bentakku kasar.
Dia terkesiap dengan wajahnya yang pias.
“M-mereka…ingin uangmu”
“Dan apa yang kau lakukan? Kau berniat menolongku dengan melakukan ini?” kutatap dia sengit dan menuduh.

Matanya menyiratkan luka tak tertahankan akibat dari kejam kalimat itu.
Kulihat kepalanya tertunduk layu “Aku sudah mengalihkannya keruang yang lain” suaranya lebih menyerupai bisikan “aku kesini untuk membaca buku.”

“Alasan yang bagus” sahutku dingin.

Kepalanya terangkat, mata sendunya membalas tatapku, terhina, itu yang kulihat ada disana.
“Kau tidak perlu menyesali ini” dia kembali berbicara “aku akan melupakannya” tertatih dia berbalik menghadap pintu bermaksud meninggalkan aku sendirian ditempat ini.

Tak kutahan kehendaknya , aku  sudah terlalu penat memikirkan semuanya, butuh menenangkan pikiran sebelum mengambil tindakan yang tepat menyangkut gadis yang dimalam ini kesuciannya kurenggut paksa.

Mengingat semuanya membuat rasa mual hinggap diperutku.
Berselang beberapa menit kemudian akupun ikut keluar dari dalam Private room itu.
Yang tidak aku tahu adalah kenyataan kalau ada seseorang yang dengan sengaja telah menyaksikan semuanya dan mengabadikan kekhilafan ku dimalam yang sama.

*****

“Ini alamat rumahnya” papa menyodorkan selembar kertas putih padaku “jemput dia dan bawa kesini dengan cara apapun sebelum skandalmu terlanjur diketahui publik”

“Pa! ini enggak perlu.”

“Papa hanya ingin melindungimu Yo! Pemeras itu menjadikan foto-fotomu sebagai alat untuk melemahkan kita, mereka menolak memberikan negatifnya bahkan seteah papa menawarkan uang dalam jumlah yang sangat besar”

Aku hanya diam mendengarkan.

“Papa sudah menyelidiki latar belakang gadis ini, dan papa rasa apa yang terjadi diantara kalian hanya karena dia terjebak dalam keadaan dan situasi yang tidak tepat”
 
Perlahan tapi pasti kuanggukkan kepalaku.
Aku memang harus menemui gadis itu lagi, bukan sebagai bukti penyesalan dan tanggung jawab atas kejadian itu, melainkan sebagai bentuk usaha untuk melindungi diriku serta apa saja yang menjadi hakku kelak dikemudian hari.
Perusahaan.
Nama baik.
Dan juga hidup yang normal.

*****

“Apa-apaan ini Yo?” Leon melempar benda itu dengan kasar kepadaku, wajahnya memerah menahan amarah mengerikan yang jujur saja membuat aku sedikit merasa gentar karena sepanjang masa pertemanan kami belum pernah dia terlihat semarah ini.

“Kau bisa lihat sendirikan itu apa.”
 Sahutku tak acuh.

“Yang kubahas bukan benda itu Yo, tapi apa maksudnya dengan kau akan menikahi Gina?”

Kuhembusakan nafas sesaat sebelum balas menatap kematanya secara langsung “Maaf” sahutku sambil memamerkan senyum aroganku “tapi begitulah yang terjadi, Gina akan menikah denganku”

Mata elangnya menatapku menyelidik dan menilai “Terjadi sesuatu padanya kan? Apa yang kau lakukan padanya Theo? JAWAB AKU?”

Kudenguskan nafas dengan gaya meremehkan “Kau kenapa sih? Terima kenyataan dong kalau Gina itu calon istriku, lagi pula apa kau sudah pernah mengatakan cintamu padanya?”

Leon menatapku dalam sikap diamnya yang beku, sinar dimatanya menunjukkan kekalahan yang menyedihkan.
Kualihkan tatap mataku kearah lain, berusaha untuk tetap bisa memainkan peran brengsek ini dengan baik sampai akhir.
Lega kurasakan ketika akhirnya Leon tanpa bicara apa-apa lagi melangkah pergi dari hadapanku.

Namun itu hanya sesaat.
Dihari yang sama dengan pernikahanku dengan Gina, aku menerima kabar kalau Leon mengalami kecelakaan yang menyebabkannya mengalami koma selama lebih dari 3 hari.

Dan yang bisa kurasakan diatas semuanya hanyalah menyesal.

Menyesali suratan takdir kelam yang kutoreh pada sahabat baikku sendiri dan juga pada wanita asing yang terikat padaku karena kesalahan yang kubuat.

Yang kuyakini hanyalah bahwa hatiku tidak akan pernah lagi disentuh oleh cahaya kebahagiaan sejak dentang lonceng mengiringi langkahku dan wanita yang telah sah menjadi istriku keluar dari depan kapel kecil tempat penikahan kami dilakukan dengan sangat sederhana

Hari itu mendung dan kelabu.
Identik dengan suasana batinku yang tenggelam dalam nestapa menyakitkan atas elegi perkawinan tanpa cinta dengan gadis secantik bidadari bernama Regina Alyssa.

Flash Back End
*****
TBC

Playboy Monarki The Series - Lust In loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang