Xtra Part (Perfect Love Perfect Life)

69.3K 2.7K 180
                                    

Apa yang sanggup menghentikan seorang Theodorean Veince Rumpoy sekarang?

Pertanyaan itu hinggap dibenakku, membuat aku tersenyum sendiri menyadari satu hal, kalau tak ada yang sanggup untuk menghentikan aku untuk melakukan kegilaan terbesar dalam hidupku.

Kegilaan yang kubuat karena restu yang tidak kuperoleh dari mama untuk menikah dengan bekas menantu yang mereka sangat sayangi. Sampai-sampai membuat meraka mengesampingkan fakta bahwa kebahagiaanku -anak kandung mereka- hanya ada ditangan bekas menantu kesayangannya, Regina Alyssa.

Kuteguk Beer terakhir dari gelasku, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku mantel yang kupakai untuk membayar apa yang kuminum. Aku beranjak dari pub itu dengan sedikit terhuyung, kurasa aku memang agak sedikit mabuk sekarang tapi kalau untuk sekedar pulang kerumah kurasa aku masih sanggup.

Lalu lintas kota tidak lagi padat dimalam hari. Hanya ada sedikit orang saja yang masih keluyuran dijalanan kota Vancouver diawal bulan Desember yang dingin membekukan seperti ini. Kurasa tahun ini akan jadi Natal terburuk di Kanada.

Kutengadahkan kepalaku kelangit, tak ada bintang hanya langit gelap khas musim dingin yang disertai hembusan angin kencang, aku yakin esok atau lusa salju pasti sudah turun . Uhhhh…hanya satu yang kuinginkan yaitu pulang ke-Indonesia dan menyerap panas matahari sebanyak-banyaknya.

Kubenamkan telapak tanganku dalam-dalam kesaku mantel yang kupakai. Mempercepat langkah untuk segera sampai kerumah. Aku berbelok menuju jalanan kearah rumahku. Melangkah cepat-cepat dengan kepala tertunduk, tujuanku cuma satu, segera sampai kerumah.

Kuseberangi jalanan sekali lagi dan dari kejauhan aku sudah bisa melihat pintu rumah yang berwarna hijau natal, namun satu pemandangan yang kutangkap dari sekilas kerjapan mata membuatku menghentikan langkah di trotoar jalanan yang memisahkan antara tangga rumah dan jalan raya.

Aku terpaku ditempatku berdiri, menahan nafas menatapnya.

Nyawaku  –kalau boleh aku menyebutnya begitu- orang yang paling aku rindu untuk kujumpai, duduk sambil mendekap lutut dengan kepala tertunduk di anak tangga teratas didepan pintu rumah..

Setelah terpaku selama beberapa detik kupaksakan kaki melangkah kedepan pintu rumah. dianak tangga terbawah aku berdiri menatapnya lurus-lurus. Mungkin karena mendengar suara langkahku dia mengangkat kepalanya dan menatapku.

“Rasa-rasanya aku pernah mengatakan padamu untuk tidak menghabiskan waktu dengan menunggu orang lain lebih dari tigapuluh menit” kataku datar tanpa berkedip menatapnya.

Gina tersenyum datar, pancaran matanya terasa hangat sampai ke jantungku “dengan yang barusan sudah tigapuluh satu kali Mas mengatakannya padaku” jawabnya pelan.

Aku memutar mataku “jadi! Kapan kau akan belajar mendengarkan kata-kataku” sambungku “bagaimana kalau aku nggak pulang malam ini, bagaimana kalau aku keluyuran sampai pagi atau terlalu mabuk untuk sampai kerumah?”

“Sejak peristiwa kita dulu, mas kan nggak pernah mabuk sampai hilang kesadaran” bantahnya cerdik “dan kalau mas ingin mabuk maka mas akan melakukannya dikamar mas sendiri” timpalnya lagi.

Aku menghela nafas sekilas “dasar kau ini” gumamku

Ekspresi wajahnya langsung berubah cemberut “berhenti memarahiku mas, aku kedinginan nih” protesnya sambil menatapku dengan tatapan minta dikasihani.

Aku melangkah menaiki undakan tangga melewatinya untuk membukakan pintu rumah, begitu pintu terbuka aku menunduk kearahnya yang masih duduk di muka pintu sambil menatapku.

“Kenapa?” tanyaku bingung melihat ekspresinya itu.

“Lututku kaku” gumamnya “nggak bisa berdiri”

Playboy Monarki The Series - Lust In loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang