Airmatanya menetes tanpa sebab.
Membuat aku terkesiap dan langsung merasa bersalah.
Apa yang telah aku lakukan tanpa sengaja? Yang kulakukan hanyalah terdiam sambil menatapnya.
“Aku sudah tak punya tujuan lagi...” desahnya diantara isak tangis.
“Karena Leon sudah tidak ada?” tanyaku lirih, ketika dia mengangguk perlahan rasa cemburu mendadak menyiksa aku dengan pemikiran itu. Tentang seberapa banyak Leon telah membawa pergi bagian jiwa Gina.
Apa yang dia sisakan dari tubuh itu sekarang?
Apa yang masih bisa kumiliki...
Jemariku terulur untuk membelai pipinya yang lembab oleh tangis yang dia tahan dengan mati-matian.
“Seumur hidup, apa kau memilih akan terus menangis seperti ini?” tanyaku pelan “Tidak adakah yang bisa kulakukan untuk membuatmu cepat pulih dan menjadi dirimu yang dulu?”
Dia menggeleng perlahan sambil balas menatapku dengan kedua bola matanya yang sendu bagai sepasang mata kelinci kecil yang tak berdaya.
Kuhela nafas panjang dan kembali menariknya dalam dekapanku.
“Ini semua salahku” lirihku bersuara menyatakan penyesalan terdalam yang kurasakan sejak kabar kematian Leon sampai ditelingaku “andai dulu aku tidak pernah melepaskanmu, andai dulu aku tidak pernah menyetujui perceraian itu.”
Kepalanya menggeleng didalam dekapku, menyatakan kalau dia tidak sependapat dengan itu.
Kupererat pelukanku dibahunya “Bisakah kita berpura-pura saja kalau semuanya tidak terjadi?” aku kembali bersuara berusaha menekan emosi yang menusuk jantungku dengan rasa bersalah pada wanita didalam pelukanku “Aku tidak tahan melihatmu terus seperti ini.”
“Mungkin ini takdir” jawabnya pelan “aku ditakdirkan untuk kehilangan orang yang kucinta dan juga menangis sepanjang sisa usiaku.”
Kudorong tubuhnya dari dekapanku “Kalau begitu gantikan dia Gina...gantikan Leon dengan aku, kumohon padamu ... cintai aku saja.”
Tangisnya semakin menjadi, dia menatapku seperti dihari-hari pertama dia terbangun dari komanya, seakan kalimat-kalimatku adalah sembilu yang menyayat-nyayat hatinya.
Aku berdecak sebal melihat tingkahnya itu.