Sudah sebulan sejak Gina diperbolehkan keluar dari rumah sakit.
Ia masih harus menggunakan kruk untuk berjalan karena kaki kanannya yang patah masih belum pulih benar.
Karenanya mamaku kembali membawanya pulang kerumah keluarga kami agar bisa memberikan perawatan yang lebih baik ketimbang membiarkannya tinggal sendirian dirumahnya yang lama.
Lagi pula apa yang diharapkan dengan rumah itu.
Sejak kematian Leon, orangtuanya menyalahkan semuanya pada Gina.
Bahkan Gina sama sekali tidak diijinkan untuk menghadiri upacara pemakaman suaminya sendiri.
Mereka juga menyalahkan aku karena telah membawa seorang ‘gadis terkutuk’ kedalam keluarga mereka, begitulah mereka menyebut Gina didepanku.
Sedih rasanya melihat orangtua dari sahabatku yang kuanggap sama seperti orangtuaku mengatakan hal itu pada wanita yang kucintai.
Tapi kesedihanku tidak ada artinya dibandingkan dengan kesedihan Gina.
Sejak kematian Leon yang paling kutakutkan keadaan mentalnya, dan ternyata semuanya terbukti dengan jelas.
Tak ada yang lebih mengerikan dibandingkan dirinya yang sekarang.
Gadis polos dan lembut didalam dirinya terlihat bagai telah mati, diminggu-minggu awal pasca dia sadar dari koma, aku sering kali melihat matanya hanya menatap kosong pada satu titik selama berjam-jam.
Dia tidak akan bicara sedikitpun kecuali pada mama.
Lebih parahnya setiap kali aku yang mendekat kepadanya dia hanya akan memandangi aku sambil menangis tanpa suara, seakan-akan ada sesuatu yang ingin dikatakannya padaku namun tak bisa.
Aku benar-benar tak berdaya saat mendapati wanita yang kucinta tenggelam dalam depresi seperti itu.
“Mungkin Gina butuh suasana baru Yo” mama mengatakan itu saat puncak toleransiku akan sikapnya hampir mendekati titik jenuh, dimana aku dengan terang-terangan marah padanya karena memergokinya menangis sepanjang malam.
“Jadi apa yang harus kita lakukan, Ma?” tanyaku separuh bingung dan separuh lagi merasa lelah dengan keadaan Gina.
“Bawa dia ikut bersamamu ke Dieng.”
Kutatap mama dengan bingung “Yang bener aja ma! Dieng itu jauh...lagi pula Gina belum pulih benar.”
“Percayalah! Itu satu-satunya jalan yang bagus menurut mama”
Aku terdiam sesaat mencoba berpikir dengan lebih jernih tentang baik dan buruk dari tindakan mengajak Gina pergi bersamaku ketempat dimana aku membaktikan diri selama hampir setahun ini salah satu desa terpencil dikabupaten Wonosobo tepatnya disalah satu desa dikecamatan Kejajar.
Aku berdecak sendiri sambil kemudian menganggukkan kepalaku.
“Akan aku tanyakan dulu pada Gina” sahutku datar.
*****
Meski aku sempat meragukan usul mama untuk membawa Gina ikut bersamaku, pada kenyataannya Gina dengan mudahnya menganggukkan kepala saat aku menanyakan kesediaannya untuk ikut.
“Dieng itu hampir sama kayak Temanggung kan mas?” itu adalah kalimat pertama yang dikatakannya padaku, kalimat yang jelas menunjukkan kalau dia masih memiliki pikiran yang cukup sehat walau selama ini aku sudah meragukannya, terutama sejak Gina menarik diri dari setiap pergaulan normalnya dilingkungan keluargaku.