Gina POV
Kulangkahkan kaki telanjangku diatas rerumputan halus di taman belakang kamar tunggu tempat aku menghabiskan waktu sendirian sebelum akhirnya penantian ini akan berakhir dengan satu ikatan yang lain.
Ikatan yang dibentuk atas pengorbanannya dan rasa bersalahku.
Empat tahun yang lalu, aku juga pernah menunggunya.
Dilorong panjang itu kulangkahkan kaki menuju padanya yang menunggu didepan altar suci untuk menikahi aku.
Masih kuingat jelas nuansa sakral yang membaur dalam tatap pedih matanya.
Dingin ekpresi diwajah sempurna yang bagai malaikat itu saat menatap kedatanganku terasa menusuk.
Setiap langkah kaki yang membawaku mendekat mengingatkan pada malam kelam dimana takdir pahit itu mengaitkan benang hidupku padanya.
Andai saja aku waktu itu aku bisa menahan gejolak hati, kuyakin pasti bisa menghalangi pernikahan kami terjadi.
*****
Flash Back
“Dia siapa?” tanyaku setelah sekian lama menatap wajah milik sang malaikat yang berdiri dikelilingi para gadis, tersenyum memikat mereka semua dalam pesona wajahnya yang natural.
“Masa kau tidak kenal, dia Theo Rumpoy” Elena, temanku sesama pekerja di Nightclub memberitaku aku.
“Theo Rumpoy?”
Dia kemudian menyebutkan salah satu jaringan rumah sakit Internasional yang punya banyak cabang di beberapa kota besar di Indonesia.
“Dia pewarisnya, dia mahasiswa kedokteran sama seperti kamu.”
Senyumku terkembang samar, entah kenapa rasanya senang sekali menyadari kalau kami punya sedikit kesamaan, sama-sama mahasiswa kedokteran.
Aku yakin, kalau dia jadi dokter akan banyak sekali pasien yang langsung sembuh dari sakitnya hanya dengan memandangi kesempurnaan wajah yang dianugerahkan Tuhan.
“Kamu tertarik?” Elena bertanya lagi.
Aku menggeleng “Enggak lah! Lihat saja bagaimana gadis-gadis itu mengelilinginya, dia cowok yang berada diluar jangkauan kita.”
Elena tertawa sekilas mendengar kalimatku “Andai kamu mau dandan sama kayak cewek-cewek itu, aku yakin dia pasti akan menoleh juga kepadamu.”
“Ah! Stop bermimpi jadi cinderella, ayo kita kerja lagi” kataku berusaha mengalihkan pembicaraan kami dimalam itu.
*****
Aku hendak membuang sampah lewat pintu belakang Nightclub saat mendapatinya tengah duduk di tangga yang sama dengan yang akan kulewati, dipangkuannya seekor anak kucing meringkuk tertidur, jari-jemarinya yang pajang membelai lembut kepala sikucing kecil.
Aku hanya bisa diam menatap dalam keterpesonaan pada pemandangan langka ini.
Seakan sadar kalau ada orang lain yang sedang mengawasinya dia mendongakkan kepala, aku bisa merasakan pipiku memanas saat matanya bertemu pandang dengan mataku.
“Apa aku menghalangi jalanmu?” tanyanya datar.
Dan aku hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban.
“Maaf, tapi aku tidak mau membangunkannya” dia menatap kucing kecil itu lagi.
Aku tersenyum sekilas “Tak apa, aku tetap bisa lewat, tapi sampah yang kubawa bau, jadi mungkin mas harus menutup hidung ya” kuperingatkan dia.
Tawa merdunya mengalun dalam sepi lorong belakang yang gelap “lewat saja” suruhnya kemudian, dan dengan ragu-ragu kulangkahkan kaki lewat disisinya tanpa menoleh, melewatinya dengan gugup menuju tempat pembuangan sampah disudut lorong.
Biasanya aku takut kalau harus membuang sampah malam-malam ditempat ini, tapi sekarang aku justru merasa aman karena hadirnya sang malaikat didekatku. Kutepuk-tepuk tanganku untuk membersihkan sisa-sisa sampah yang mungkin lengket ditangan.
Sengaja kulambatkan langkah agar bisa menikmati atmosfer malam lebih lama ditempat ini, bersamanya. Kaget saat menyadari dia ternyata tidak lagi sedang duduk ditangga melainkan berdiri melangkah tepat kearahku.
Langkahku terhenti menyadari tatap matanya tertuju lurus untukku.
“Apa kau sudah mau pulang?” tanyanya.
“Ya” kusahuti singkat sapaannya.
“Bisa aku minta tolong?”
Kutatap dia dalam diam.
“Bisa kau antar kucing ini kealamat ini?” dia menyodorkan selembar kartu nama berwarna merah muda yang harum kepadaku, ketika kuterima aku melihat namanyalah yang terukir disana.
“Aku terlanjur membuat janji dengan temanku malam ini, dia alergi kucing jadi aku tidak bisa membawa mahluk lucu ini bersama kami, kalau kau tidak keberatan tolong antarkan saja dia kerumahku.”
Kudongakkan wajahku untuk menatapnya yang memang jauh lebih tinggi dariku “Ini sudah malam ...” tolakku “Aku harus cepat pulang.”
Helaan nafasnya menggelitik pendengaran.
“Aku tau” jawabnya “yang kumaksud adalah besok, kalau kau tidak keberatan.”
Kutatap mahluk lemah yang bermanja ditangannya kuulurkan kedua lenganku untuk menerima kucing kecil belang tiga itu, bisa kudengar desah lega yang keluar dari bibir si malaikat.
“Aku menunggumu besok pagi dirumahku” katanya sambil untuk yang terakhir kalinya membelai kucing kecil yang meringkuk nyaman dalam pelukanku.
Kuangguki pelan kata-katanya sebagai suatu bentuk persetujuanku.
“Siapa namamu?”
“Gina” aku menjawab pelan “Regina.”
Gelak tawanya mengagetkan aku, bingung akan kelakuannya kutatap dia dengan dahi berkerut.
“Kenapa bisa kebetulan begini ya, baru saja aku menamai kucing ini dengan nama yang sama... Regina” dia mengulang menyebut namaku.
“Padahal tadinya aku cuma ingin agar namanya bisa serasi dengan kucing peliharaanku yang lain, Rechter”
Kualihkan pandanganku pada kucing kecil yang sedang menjilat-jilat ujung jari-jari tanganku, beruntung sekali mahluk ini mendapatkan majikan baru sebaik dia.
“Akan kuantarkan dia besok” sambungku “Sekarang lebih baik kucarikan dia tempat sambil menunggu aku bersiap pulang” dan kemudian aku berlalu dari hadapannya tanpa bicara apa-apa lagi.
*****
Rumahnya besar bagai istana.
Dan sepertinya dia sudah menunggu-nunggu kehadiranku sejak pagi sekali, karena saat aku datang dia langsung menghampiri dan membuka sendiri pintu pagarnya untukku.
“Kau datang”
“Aku sudah menyanggupinya, jadi aku pasti datang”
Senyumnya terkembang, membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.
Kuulurkan kardus kecil yang kubawa, tempat dimana si kucing kecil tertidur nyenyak.
“Ini” kataku.
“Thanks” dia menerima kardus itu dengan wajah benar-benar terlihat senang sekali.
Aku tersenyum untuk yang terakhir kalinya sambil menatap kucing kecil yang sudah kembali pindah kedalam pelukannya.
“Aku harus pergi.”
Dia menatapku “Kenapa tidak mampir dulu.”
“Maaf, aku ada kuliah pagi ...”
“Oh!” serunya “mau kuantar?”
“Eh!”
“Tunggu sebentar” belum sempat aku menolak kehendaknya dia sudah berbalik menghampiri pos satpam dan menghubungi entah siapa lewat telepon, beberapa detik kemudian dia kembali lagi kedekatku “Tunggu sebentar saja ya, sopirku akan segera datang”
Aku terlalu bingung mau mengatakan apa padanya, godaan keinginan untuk bisa ada didekatnya lebih lama terus saja meracuni hatiku, disisi lain aku sadar kalau ini hanyalah sekedar ucapan rasa terima kasihnya padaku, tidak lebih, dia bahkan tidak pernah menanyakan siapa namaku.
Tak berapa lama sebuah Pajero Sport datang menghampiri dan dia dengan entengnya menarikku bersamanya untuk masuk kedalam mobil itu.
*****
Kuhela nafas pelan sambil menatap pada uang gaji yang kuterima, meski sudah lembur sampai dini hari tetap saja uang yang kuterima tidak mencukupi bagiku untuk membayar uang semester kuliahku.
Kumasukkan uang itu kembali dalam amplop coklat.
“Masih kurang berapa?” Elena yang sedari tadi melihat tingkah lakuku menatap dari balik kaca toilet yang sedang dibersihkannya.
“Dua juta lagi.”
“Itu banyak sekali.”
“Aku tahu.”
“Mungkin kau perlu kasbon dengan Pak Marshal.”
“Enggak ah” cepat kusahuti suruhannya itu, merinding sendiri kalau ingat betapa genitnya manager kami yang satu itu, aku ogah ada didekatnya.
Saat itulah aku melihatnya melintas didepan lorong toilet, dua gadis cantik menggelayuti lengannya yang padat berisi. Aku tersenyum kecut saat menyadari kalau dia sama sekali tidak melihat kearahku. Sejak hari dimana dia dengan ramahnya memperlakukan aku yang mengantarkan kucing untuknya kami nyaris tidak pernah bertegur sapa lagi.
Aku sadar dengan posisiku.
Hanya saja sukar bagiku untuk menghentikan hati yang selalu berharap banyak pada harapan kosong supaya malaikat itu kembali melihat kepadaku.
“Dasar Playboy “ Elena yang sudah berdiri disebelahku ikut menatapnya sambil geleng-geleng kepala “wajahnya bak malaikat tapi kau tahu enggak kalau aslinya kelakuan Theo Rumpoy lebih menyerupai iblis haus seks.”
Aku menatap Elena dengan kaget “Apa maksudmu?”
“Dua hari yang lalu mbak Esther memergokinya tengah melakukan ‘itu’ dengan salah satu cewek di toilet.”
Astaga! Benarkah dia sebejat itu.
“Ini bukan kali pertama dia melakukannya disini, beberapa bulan yang lalu satpam memergoki dia sedang berthreesome ria dengan dengan dua cewek di dalam mobilnya”
“Kalau saja bar ini bukan milik pamannya sudah bisa dipastikan kalau dia tak pernah bisa diterima lagi disini.”
Aku kembali tersenyum sekilas pada sahabat baikku itu “Sudahlah, mungkin memang itu sudah jadi kebiasaan anak-anak orang kaya macam mereka” datar aku mengomentari Elena “Lagi pula itu bukan urusan kitakan?”
Sekilas Elena mengangguk padaku.
Dalam diam, kalimat-kalimat yang baru saja dikatakan oleh Elena tadi terngiang-ngiang ditelingaku.
*****
Aku terpekik kecil saat menyadari kalau ada orang lain yang berdiri didepan pintu keluar belakang night club yang kubuka.
“Maaf” katanya.
Dalam gelap aku bisa dengan mudahnya mengenali suara itu.
Dia berdiri bersandar disamping pintu yang terbuka, ditangannya ada sebatang sigaret putih yang menyala.
“Kenapa mas bisa sering ada disini?” tanyaku.
Bibirnya membentuk satu senyuman samar yang terlihat oleh mataku, dia tidak langsung menjawab pertanyaan itu, melainkan membuang sisa sigaretnya kelantai dan menginjaknya untuk mematikan apinya.
“Kadang kita butuh tempat sepi untuk merenung, bukan!” jawabnya santai, tatapan matanya teralih pada dua kantung besar berwarna hitam yang kubawa “Sepertinya berat juga ya? Apa sih isinya?”
Aku tertawa kecil “tentu saja sampah.”
Dia ikut tertawa “Sampah apa yang bisa terlihat seberat itu disini?”
“Banyak” sahutku “Sampah makanan ringan, kaleng soft drink kira-kira seperti itulah.”
“Oh!” sahutku “sini biar kubantu”
Dan tanpa kuminta dia telah mengambil alih salah satu kantung plastik itu dari tanganku, Aku bisa mendengarkan nyanyian hati, saat kami berjalan bersisian menuju ketempat sampah bersama.
Dengan cekatan –seakan sudah terbiasa- dia memasukkan kantung-kantung hitam itu kedalam kotak besi penampungan sampah.
“Kalau harga diri bisa dibuang, apa menurutmu kantung hitam sebesar ini cukup untuk menampungnya?”
Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan mengejutkan.
Kuselipkan telapak tanganku kesaku miniskirt yang jadi seragam klub ini “Maksud mas apa?”
Dia tersenyum hambar.
“Bukan apa-apa, lupakan saja.”
Terdiam aku karena bingung harus mengatakan apa lagi.
“Kamu mahasiswi kedokteran juga kan?”
Kepalaku mengangguk perlahan.
“Tau siapa Hippokrates?”
Tawaku lepas dengan mudahnya mendengar pertanyaannya itu.
Hippokrates, katanya?
Konyol kalau itu ditanyakan pada seorang mahasiswa kedokteran.
“Kau hafal sumpahnya?”
Aku tertawa lagi, namun kali ini kutahan dengan menggigit bibirku sendiri.
“Haruskah mas menanyakan itu padaku?” aku balik bertanya “apa yang mas ingin buktikan? apa mas meragukan kalau ada pelayan bar yang bisa kuliah kedokteran?”
“Aku tidak mengatakan itu, tapi aku menantangmu untuk menunjukkan apa benar kalau kau memang bersungguh-sungguh belajar untuk menjadi dokter.”
Aku menatap lelaki dihadapanku ini dengan geram, panas rasanya kalau ada orang yang meragukan cita-cita yang kuraih dengan susah payah itu.
“Apa untungnya bagiku kalau aku memberitahumu aku hafal seluruh isi sumpah Hippokrates?”
“Aku mempertaruhkan uang saku mingguanku untukmu kalau kau hafal isi Hippocrates Oath”
Nafasku terhenti.
Benakku memikirkan itu sebagai cara untuk dapat memenuhi kebutuhanku akan uang.
“Apa uang saku sebanyak lima juta seminggu masih kurang menurutmu?”
Kutelan ludahku kelu, lima juta dia bilang!.
“Atau kau takut?”
Entah kenapa keraguannya membuatku jadi sebal dan merasa tertantang.
Aku mendengus pelan “Baiklah”
Dia tersenyum lagi “Kau harus tahu satu hal..” kata-katanya terhenti sesaat “aku hafal sumpah itu sejak usiaku tujuh tahun, jadi aku bisa tahu sekecil apapun kesalahan yang kau buat.”
“Aku yakin aku tidak akan salah” bantahku keras kepala.
Dia mencondongkan kepalanya kedekatku, seketika aku merasa tubuhku terkena Hipotermia, dingin dengan tiba-tiba.
“Buktikan” tantangnya datar, sebelum mendorong bahuku menuju kearah tangga pintu belakang itu.
*****
“Lima juta” dia menaruh amplop coklat tebal dan berat itu langsung ketanganku.
“Aaa...ini terlalu banyak” kataku.
“Janji tetap janji, aku benci kalau mengingkari janji.”
Aku terdiam sambil terus memandangi amplop itu, kehilangan kesempatan untuk berterimakasih karena ketika kuangkat kepalaku dia sudah berlalu pergi dari hadapanku.
*****
Apapun kata orang, bagiku dirinya adalah malaikat yang selalu tahu waktu yang tepat untuk datang dan pergi dalam hidupku.
Aku tersenyum sendiri sambil berterima kasih padanya dalam hati, berkat dia aku bisa tetap melanjutkan kuliahku dan bahkan membeli buku-buku baru.
Oh ya! Ngomong soal buku baru, mumpung malam ini pengunjung Night club tidak terlalu ramai, sepertinya aku bisa membaca bukunya sekarang juga.
“Kita pasti mendapatkannya, dia sudah termakan rayuanku”
Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara wanita yang melewati aku dilorong gelap itu tanpa menoleh sama sekali.
“Kau sudah siap kan sayang? Selamat bekerja keras malam ini, cuma malam ini saja kok, karena besok-besok kita akan menikmati uang yang diberikan oleh keluarga Rumpoy pada kita.”
Deg!
Kuangkat kepalaku kaget demi nama yang sangat familiar itu disebut-sebut olehnya.
Apa yang sedang direncanakan oleh wanita itu sebenarnya? Dan otakku sama sekali tidak menemukan kesulitan untuk menyimpulkannya.
Nafasku turun naik dalam getar ketakutan teramat sangat akan keselamatan simalaikat.
Samar-samar aku bisa mendengar suara langkah kaki dibelakangku.
Itu dia, aku yakin itu.
Tuhan, kenapa dia mudah sekali tertarik pada wanita.
Pertanyaan itu lebih menyerupai penyesalan tak terungkap karena aku tahu pasti kalimat yang cocok untuk dipadankan dengan kalimat itu.
Dan kenapa dia tidak tertarik padaku?
Wanita dihadapanku terlihat kebingungan memandangi deretan kamar-kamar yang ada disana.
“Ada yang bisa saya bantu mbak?’ kutanyakan itu padanya.
“Dimana Room nomor sebelas.”
Tanganku terangkat cepat menunjuk pada pintu disisi kananku “Itu mbak.”
Dengan dingin dia berbalik arah dan masuk ketempat yang kutunjukkan, kuhela nafas lega saat dia sudah masuk kedalamnya, kamar nomor 12.
Langkah kaki itu mendekat, membuatku tersadar untuk segera menyembunyikan diriku tanpa berpikir panjang aku masuk keruangan disebelah kananku. Berharap dia tidak melihat apa yang kulakukan.
Namun aku salah.
Jantungku berdenyut-denyut sakit saat melihat pintu terbuka dan bayangan tinggi itu masuk kedalam, berdiri tepat disebelahku.
Apa yang harus kulakukan, apa yang harus kukatakan padanya.
Belum sempat melakukan apapun kurasakan dia mencondongkan wajahnya kearahku.
Aku berkelit saat mencium aroma tajam menyengat dari tubuhnya, Vodka yang terbaur dalam aroma kayu-kayuan hangat yang menguar dari tubuh atletisnya.
"Ku-rasa a-anda salah orang.." suaraku terdengar sumbang karena rasa takut yang mendadak timbul.
Suara tawanya mengambang diudara ruangan yang panas.
"Aku yang kau undang tadi, manis" suaranya terdengar lembut "jangan berlagak bagai cewek perawan, setelah kau dengan nakalnya menggoda aku."
Bisikannya ditelingaku membuat darahku berdesir halus, aku terpukau akan kedekatan kami. Dalam posisiku yang berada didalam kurungan lengan kokohnya membuatku tak bisa berkutik lagi.
Tiba-tiba saja bibirnya mendarat dileherku, aku terkesiap kaget.. belum sempat aku mengelak tiba-tiba saja sesuatu yang liat dan kasar menyentuh bibirku, menahan setiap kata-kata yang ingin keluar dari bibir.
Kehangatannya membabi buta merasuk kedalam aliran darah, memompanya dengan keras menuju kekepala, seketika membuatku mabuk akan ciuman pertama yang dicurinya dariku.
Ketika dia memberi jeda untukku bernafas, dalam kalut akibat kehendak akal dan hati yang saling berkhianat kuucapkan permohonanku “Jangan....”
Dan tawanyalah yang menyambut permohonan itu, tawa yang melegakan hati sekaligus melumpuhkan akal pikiranku sendiri “manis sekali” itulah yang diucapkannya sebelum kembali mengangkat daguku dan mencium dengan panas, liar dan penuh nafsu.
Kewalahan aku mengikuti alur yang dibangun gerak lidahnya.
Bukannya memberontak dari dekapnya aku malah sempurna mematung, terbius oleh apa yang dilakukannya.
Hasrat alami yang selama ini tertidur didalam diriku terbangun, dan itu sama sekali tidak dapat membantuku dalam situasi berbahaya ini.
Sedetik kemudian dia melepaskan bibirnya dari bibirku, tangannya bergerak meraih kancing teratas kemeja yang kukenakan, terlambat kesadaran datang padaku dan terlalu cepat gerak tangannya menarik paksa atasan yang kukenakan sampai kancing-kancingnya jatuh berhamburan dilantai yang gelap.
“TIDAK” lolongan itu bukanlah suatu penolakan melainkan ketidakpercayaan.
“DIAM” suaranya yang biasa selalu terdengar lembut berubah kasar dan beriak saat memberi respon itu, dengan kasar dia menarik tubuhku sampai menempel ketat pada tubuhnya, nafasku naik turun, ciumannya kembali mengombang-ambingkanku dalam keterpesonaan sekaligus gairah tak terbendung yang terpendam terhadap dirinya.
Tak bisa lagi kukuasai diri.
Dirinyalah yang berkuasa atasku.
Jijik rasanya mendengar desahku sendiri yang lepas setiap kali jemarinya membelai bagian-bagian tubuh yang mampu merespon dengan dahsyat.
Tubuhku menggigil menginginkannya,
Hatiku menyetujui kehendaknya,
Namun otakku mengingkarinya dalam ketidakberdayaannya yang merintih-rintih terkungkung sekarat karena racun bernama birahi yang diberikannya.
Siksaan bertubi-tubi akibat ketidak sinkronan itu membuat isakku muncul diantara desah dan hasrat yang menggelora.
Suara cabikan kain kembali terdengar ditelingaku, tak mampu lagi aku memikirkan penutup tubuh yang mana lagi sekiranya disibak oleh tangan-tangan kokohnya.
Tubuh Theo bergerak lembut mendorong punggungku sampai menempel kedinding pintu dan sesuatu menahan bagian dibelakang lututku, membuat pahaku terangkat mengapit erat dipinggangnya dan kurasakan jemarinya membelai tempat yang sama dengan intensitas menyiksa.
Tekanan tubuhnya tertuju pada satu titik sentral ditubuhku.
Ini gila dan salah.
Tapi sentuhan pada bagian itu lebih membuat terlena dibandingkan sentuhan ditempat lainnya.
Bibirnya mencari-cari bibirku.
Pahit dan manis rasa yang kuterima saat dia memperdalam ciumannya sambil meraba-raba kulit punggung dan perutku.
Hujaman itu datang semakin kuat namun tak dapat kuteriakkan rasa sakitnya akibat kebungkaman yang diakibatkan eksistensi bibirnya.
Sesuatu bagai terkoyak dibawah sana, membuat mataku melebar seksama.
Pedih sekali rasa bagian itu.
Lebih pedih lagi saat kurasakan tubuhnya merespon dengan diam membeku.
Air mata meleleh dari sudut-sudut mata, rintihan kesakitan tak dapat kubendung lagi begitu bibir kami terpisah dan seakan tersadar dia menanyakan hal terpenting yang telah dihilangkannya dariku.
“Kau...perawan?”
Tidak lagi.
Aku bukan perawan lagi,
Karenamu.
Dan itu tidak kusesali.
*****
End Of The Flash Back
TBC