4. Benang Merah Kembali Terputus

39.9K 1.9K 101
                                    

Mabuk.

Hanya itu yang kulakukan nyaris disetiap malam demi malam setelah pernikahan itu terlaksana.

Kulakukan semuanya dikamarku. Sejak peristiwa pahit antara aku dan Gina aku melarang diri sendiri untuk mabuk ditempat umum.

Mungkin aku trauma, yang jelas aku benar-benar tidak lagi merasa diriku normal sejak hal itu terjadi.

Bersama banyak wanita, kencan, bermesraan bahkan bercinta, semuanya kulakukan tanpa hati dan rasa. Hanya sekedar untuk membuktikan aku masih seorang penakhluk wanita yang tangguh seperti dulu.

Aku melempar kaleng terakhir bir yang tersisa dari kulkas, tepat disaat itulah pintu depan apartemen terbuka dan dia, sahabatku –setidaknya yang masih menganggapku begitu- muncul dengan mata menatap dingin kepadaku.

“Aku lebih suka kenyataan melihat kau pagi ini ada diatas ranjang dengan setengah lusin teman kencanmu dari pada mabuk-mabukan begini.”

Aku mendengus mendengar gerutuan Bia “Saat kau melihat aku seperti itu, kau pasti akan mengatakan kalau kau lebih suka melihat aku mabuk.”

Dengan ujung stiletto merah yang dikenakannya dia menendang tumpukan kaleng bir entah kemana, yang tersisa hanyalah bunyi berisik kaleng-kaleng itu.

Kugaruk pelipisku melihat kelakuan Bia. Jas putih yang dikenakannya terlihat jadi lebih dramatis dengan hijau yang dikenakannya.

“Kau harus bangkit Yo, sampai kapan kau mau seperti ini terus”

“Entahlah” aku menjawabnya nelangsa.

“Jadilah seperti dulu Yo, Gina enggak mungkin kembali lagi padamu”

Mataku menyipit mendengar nama itu disebutnya, tawaku terdengar lemah “Aku tahu, kan aku sendiri yang membuangnya dari hidupku.”

“Karena itu jangan sesali keadaan ini lagi, masih banyak yang bisa kau kerjakan, dua hari lagi tim dokter rumah sakit kita akan berangkat ke Gunung Kidul untuk melakukan bakti sosial kau harus ikut.”

Aku hanya mampu terdiam membisu. Mungkin Bia benar, aku harus tetap hidup walau alasan untuk itu sudah tidak ada lagi.

“Aku akan ikut.”

Bisa kulihat senyum lega Bia terukir diwajah rupawannya. Andai saja dirinyalah yang memenuhi pikiran dan hati ini, aku yakin hidupku pasti akan jadi lebih mudah.

*****

Flash Back

“Setelah kau selesaikan kuliahmu kita akan bercerai” dingin sekali suaraku saat mengatakan itu padanya. Padahal ini adalah malam pertama kami.

Tak kudengar sahutan darinya, dan aku anggap itu sebagai persetujuan. Tapi keheningan dikamarku terasa aneh, aku menoleh untuk melihat apa yang sedang dilakukannya. Terkejut setengah mati melihatnya duduk sambil berusaha menguraikan rambutnya yang digelung dengan sanggul ala putri-putri Eropa sampai bebas tergerai kepunggung.

Cantik.

Aku hanya bisa terpaku menatap segala bentuk keindahan yang tersedia didepan mataku sekarang.  Haruskah aku menyesali keadaan ini? Kehadirannya bukanlah sebuah kutukan seperti yang kuanggap selama ini, dia ... anugerah.


Andai saja kecenderungan hatiku bisa lebih dengan mudahnya berpindah dari kesetiaan terhadap sahabat kepada kesetiaan seorang lelaki pada seorang wanita, suami untuk istrinya tentu akan kusambut malam ini dengan penuh sukacita.

Tidak.

Itu tidak boleh. Bagaimana bisa aku memikirkan diriku sendiri disaat sahabat baikku terbaring koma dirumah sakit, cukup sekali aku menyakiti hatinya dan aku berjanji tak akan terulang lagi.

Playboy Monarki The Series - Lust In loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang