Mbah Ni memang panutan kami.
Beliau mengajarkan banyak hal, terlebih tentang kesetiaan. Paling utama, kesetiaan terhadap Tuhan. Hingga usia rentanya, beliau tidak pernah meninggalkan gereja. Meski terkadang dia tidak betah duduk lama, namun dia menahannya. Jelas Tuhan adalah yang utama, bagaimanapun keadaannya. Selasa, 18 Desember 2018 dia di minyak suci. Dengan lantang dia lafalkan doa andalannya, Sembah Bekti dan Rama Kawula. Hari itu adalah empat hari sebelum kepulangannya. Dia masih teguh akan kepercayaan yang dia imani.
Setelah diminyak suci, tubuhnya kian melemah. Namun kembali lagi dia buktikan kesetiaannya. Kesetiaan kepada kami cucu-cucunya. Beberapa hari sebelum kepulangnnya, beliau selalu menanyakan kapan kami pulang. Dengan ibu beliau mengatakan “Nak Ning, aku arep mati”. Ibu mengatakan sebentar lagi kami pulang. (Mungkin) yang Mbah Ni lakukan saat itu adalah melakukan tawar menawar dengan Tuhan. Nyatanya, Tuhan masih mengizinkan satu pertemuan.
Jumat, 21 Desember 2018 pagi, aku tiba di rumah. Pertama kali kulihat tubuh renta Mbah Ni hatiku begitu pedih. Mbah Ni terlihat berbeda, jauh lebih tua dari biasanya, hampa, dan tak bercahaya. Ku pegang tangannya, kubisikkan ditelinganya. Mbah, aku datang, ada Janitra (anakku). Simbah menjawab dengan sangat lirih, sampai-sampai hampir tak terdengar olehku. Dia menanyakan wiwin (adikku) dan Janitra (anakku). Janitra mendekat dan dia cium pipi uyutnya. Wajah Mbah Ni terlihat lebih segar sekarang. Sore hari Bapak mengajak Simbah berdoa. Kembali, Salam Maria dan Bapa Kami yang menjadi anadalannya, tentunya dengan bahasa jawa, Sembah Bekti dan Rama Kawula. Pukul 7 malam wiwin tiba. Malam itu dia menemani Mbah Ni. Hampir semalaman dia tidak tidur. Dia tatap nafas Mbah Ni lekat-lekat. Tangannya terus dia pegang.
Hari itu kami masih bimbang. Melepas atau menahan. Pada akhirnya, kami merelakan. Sudah banyak hal yang Mbah Ni lakukan buat kami. Anak, menantu, ponakan, dan cucu. Perjuangan dan pengorbanannya sudah cukup. Saatnya beliau beristirahat. Berkali-kali kami tanyakan, Mbah Ni pengen apa? Hanya gelengan yang kami dapat. Yang sakit mana mbah? Kembali lagi, hanya gelengan. Setengah berbisik beliau mengatakan “aku pengen ngaso”. Kami benar-benar harus merelakan, sepenuhnya, bukan separuh hati.
Malam itu, Sabtu 22 Desember 2018mendekati pukul 22.00 lampu mati. Kami ganti baju Mbah, kain dan yang lain. Sebentar hujan kemudian reda dan lampu nyala. Nafas Mbah tersengal, mulai melambat, dan kian jauh. Kami, anak, menantu, ponakan, 3 cucu, 2 cucu mantu, dan 2 buyut semua berada di situ. Kami bisikkan, tidak perlu takut mbah, nderek Ibu Maria. Lantunan lagu Nderek Dewi Maria masih tersisa. Nafas Mbah menghembus dengan sangat pelan, lalu menghilang.
Selamat jalan Mbah Ni. Jalanmu lapang, pulangmu tenang.
Dari kami yang akan terus mengenangmu.