5

24 4 0
                                    

Sudah mungkin lebih dari 25 menit Arin berjalan mondar mandir di area gedung sekolah. Arin bahkan sudah mencari hampir ke seluruh wilayah sekolah.

Perasaan nyari adiknya gak sesusah ini, kenapa juga kakaknya butuh waktu hampir setengah jam sendiri!?

-begitulah kira kira batin Arin berbicara.

Dengan kotak bekal berwarna merah di tangannya Arin terus berjalan menyusuri koridor kelas 12. Tujuannya sekarang hanya satu, taman belakang sekolah. Cuma itu tempat yang belum Arin lewati. Arin bahkan sudah merasa dongkol pasalnya kakinya benar benar sudah lelah. Bagaimana tidak!? SMA Pelangi Nusa yang terdiri dari siswa siswa berprestasi memiliki lahan yang begitu luas. Dan sekarang Arin harus mengorbankan kaki yang tidak terlalu panjang itu untuk terus melangkah. Untung saja siswa Pelangi Nusa sedang mendapat rejeki, karena para guru akan rapat paling tidak hingga jam istirahat kedua. Setidaknya itu membuat Arin sedikit tenang.

Arin melihat sosok yang lumayan familiar disana. Badan tegap itu duduk bersandar di bawah pohon mangga milik SMA Pelangi Nusa dengan kedua telinga yang tersumpal earphone dan mata terpejam serta mulut bersenandung pelan -nyaris tidak terdengar.

Arin menghampirinya dengan langkah pasti. Berhenti setelah badannya telah berada di depan tubuh pemuda itu. Membuat pemuda tadi membuka mata perlahan karena merasa terganggu akan kehadiran seseorang.

"Nih!" Kotak bekal berwarna merah tersebut berada di depan wajah pemuda tadi. Masih dengan tangan Arin yang memegangnya dan kepala pemuda tadi mendongak menatap Arin dengan raut muka bingung.

Satu alis terangkat. Itu membuktikan bahwa pemuda tadi bingung akan maksud Arin.

"Ini ambil!" Kata Arin sedikit geregetan

"Ngapain?"

Arin menghela nafasnya kesal. "Gini ya kak Vano yang baik hati. Ini sebagai tanda terima kasih gue buat yang waktu itu. Udah terima aja. Ini gak ada racunnya kok."

"Duduk."

"Hah?" Arin menampilkan raut bingungnya. Namun saat Vano terus menatapnya dengan pandangan yang susah diartikan ia pun menurut. Ia ikut duduk dengan posisi bersila di hadapan Vano.

Kemudian salah satu tangan Vano terangkat untuk mengambil kotak bekal yang dibawakan Arin dan satunya lagi melepas earphone yang menyumpal telinganya.

"Gue gak mau makan sendiri." Vano berucap sembari membuka kotak bekal yang berisikan 2 potong sandwich dengan ukuran cukup besar.

Ini bukan seperti apa yang dibayangkan Arin dalam benaknya. Rencananya ia hanya akan memberikan kotak bekal tersebut kemudian pergi untuk kembali ke kelas dan melanjutkan kegiatannya. Lalu mengapa pemuda dengan surai hitam legam dan bola mata coklat tua ini mengacaukannya? -ralat. Sepertinya salah pertanyaan. Seharusnya Arin bertanya kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Mengapa ia mau menuruti permintaan kakak kelasnya ini?

"Woy!" Arin terkejut akan perkataan yang keluar dari mulut yang lebih tua. Arin menatap penuh tanya saat melihat satu potong sandwich tadi terulur ke arahnya.

"Ini makan!"

"Ngapain?" Sepertinya perempuan yang satu ini sedikit lemot. Tidakkah ia tau bahwa Vano sangat malas untuk menjelaskan maksudnya dengan panjang lebar padahal seharusnya semuanya bisa dimengerti hanya dengan 1 kata saja!?

"Ambil, terus makan. Temenin gue." Arin hanya memandang Vano penuh arti.

"Gue tau lo belum makan."

"Sok tau." Arin mengelak.

"Dateng 5 menit sebelum gerbang ditutup. Udah sarapan emang?"

"Ck. Yaudah sini." Arin menerima sandwich tadi.

Real FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang