Bagaimana perasaanmu jika dirimu berada diantara 3 laki-laki yang memiliki paras yang begitu tampan? Bak seekor kelinci ditengah sekawanan harimau. Bak seorang sandera ditengah segerumbulan penculik. Diam, cemas, tegang. Begitulah kira kira perasaan Arin sekarang. Lagi lagi Arin harus menyalahkan kakak laki lakinya itu. Ya walaupun pada kenyataannya dirinyalah yang memulai semua ini. Tidak seperti dugaannya, mengajak kakaknya pergi ke mall hari itu merupakan satu kesalahan.
Tapi dibanding tegang Arin sekarang lebih merasa kesal. Awalnya Arin dan Geri hanya berjalan jalan ke mall karena mereka berdua juga begitu bosan jika harus seharian berada di rumah. Namun bagaimana bisa disaat tengah enak enaknya melihat lihat sepatu untuk kakak laki lakinya, tiba tiba seseorang dengan paras yang sudah tidak asing di mata Arin menepuk bahu kakaknya itu.
"Bang geri?" Ya kira kira seperti itu perkataan dari kakak kelas sekaligus tutornya yang menyapa kakak laki lakinya. Dan bisa Arin lihat dibelakangnya nampak seorang laki laki dengan paras yang sama seperti tutornya itu. Siapa lagi kalau bukan kakak kembarnya.
Dan yang membuat Arin kesal adalah kenyataan bahwa Geri dan Varo berjalan di depannya sambil mengobrol ria. Terlihat begitu akrab -mengingat mereka dulu menjalin hubungan tutor dan murid- hingga Arin merasa terabaikan dalam kondisi ini. Namun saat satu kenyataan lagi yang membuktikan bahwa Vano berjalan di sampingnya membuat rasanya lebih mengesalkan lagi. Benar benar canggung. Ingin mengajak bicara tapi bingung apa yang harus dibicarakan.
"Rin mau makan apa?" Seuntaian kalimat dari mulut Geri menyadarkan Arin dari lamunannya.
"Hah?" Bagus! Semakin terlihat bodoh saja Arin disini.
Sekarang 3 pasang obsidian menatap Arin dengan pandangan yang berbeda satu sama lain. Dan Arin rasanya ingin mengubur diri dalam dalam saat melihat Varo menatapnya geli. Malu tentu saja.
Lalu bagaimana dengan Vano? Ah Arin tidak begitu peduli dengan orang itu. Dan harusnya kalian sudah bisa menebak bahwa Vano pasti mengeluarkan pandangan datarnya. Dia kan tidak pernah berekspresi.
"Mau makan apa?" Kali ini Varo yang bersuara.
"Ah gue ngikut kalian aja." Jawab Arin sedikit kaku. Ngomong ngomong Arin baru sadar bahwa ini sudah masuk jam makan malam. Berarti ia sudah berjalan jalan sekitar 3 jam di mall ini.
"Kalo gitu makan sate padang yuk!-"
"AYO!" Bagus part dua! Sekarang Vano yang tadi hanya memandang datar ikut memandang Arin penuh keterkejutan, sama seperti Varo dan Geri di depannya.
"Duh maap ye.. nih anak emang mulutnya suka ga kekontrol." Geri memandang Vano Varo bergantian.
"Hahaha gapapa bang." Jawab Varo sambil tertawa.
.
.
.
"Bang satenya 4 porsi ya!" Kata Geri kepada sang penjual sate dengan 4 jari teracung di tangan kanannya."Bang, lo kok gak pernah bilang kalo punya adek?" Tanya Varo saat Geri sudah selesai memesan.
"Ya ngapain juga gue bilang bilang ke elo." Kata Geri dengan nada bercanda.
"Kan kalo gue tau bisa.." Varo melanjutkan kalimatnya dengab membuat gestur dua jari telunjuk yang saling didekatkan.
"Ngarep lo!" Bukan, ini bukan suara Geri. Bukan juga suara Arin. Namun sang kakak kembarlah yang menjawab.
Arin sedikit terkejut dengan Vano. Pasalnya sedari tadi cowok tersebut lebih memilih diam ketimbang berbicara dengan Geri dan Varo.
"Wisiss gue kira lo lupa cara bicara." Kata Varo menggoda kakak kembarnya itu.
"Lo kira gue patung!?" Balas Vano tidak senang.
"Eh iya kata arin lo jadi tutornya dia sekarang?" Tanya Geri kepada Varo.

KAMU SEDANG MEMBACA
Real Feeling
Novela JuvenilCinta yang belum dewasa mengatakan "Aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu." Sedangakan cinta yang dewasa mengatakan "Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu." -Erich Fromm- *** Masa putih abu-abu memanglah sangat unggul dalam lika liku percinta...