2

13.3K 349 4
                                    

"Pak Trisno, ini minggu depan sudah jatuh tempo loh utangnya... " ucap pegawai bank dengan cukup sopan pada pak Trisno.

"Pabriknya kan buat jaminan. Di sita saja gapapa. Cuma itu yang saya punya... " Pak Trisno hanya bisa menghela nafasnya dengan berat.

Usahanya yang begitu maju dan berkembang kini malah merugi sampai pailit begini. Asetnya juga sudah habis untuk membayar hutang-hutangnya. Istrinya yang sakit-sakitan juga perlu banyak biaya untuk berobat.

"Assalamualaikum... " Salam Andin begitu memasuki gerbang rumahnya yang lebih kecil dari rumahnya dulu.

"Wa'alaikumsalam... " Jawab pak Trisno dan pegawai bank secara bersamaan.

"Bikinin teh." Perintah pak Trisno pada Andin.

"Gak usah mbak, pak. Saya mau langsung saja. Permisi, assalamualaikum... " Pamit si pegawai bank yang langsung pergi.

Andin hanya diam sambil menatap pegawai bank yang pergi berlalu dan ayahnya yang terlihat murung. Tak lama mata Andin tertuju pada amplop-amplop tagihan di meja, Andin hanya bisa menghela nafasnya dengan sangat berat. Sedih bukan main, ia yang dulu hidup bagai putri. Sekarang harus bekerja keras sebagai pelayan dan guru privat membaca anak-anak TK. Ia yang biasa menghabiskan uang beberapa juta hanya untuk membeli tas atau sepatu, kini harus mengais-ngais hanya untuk sekedar makan dan membeli obat untuk ibunya.

"Udah di tagih ya Yah? " Tanya Andin yang sudah jelas jawabannya.

"Kamu gak usah ikut mikir. Nanti makin kurus." Jawab pak Trisno sambil tersenyum, berusaha menghilang kekhawatiran putri semata wayangnya. "Kamu pakek aja uangmu buat jajan, beli paketan, ke salon. Ayah sama ibumu gapapa. Jangan khawatir. " Sambungnya lalu merapikan amplop-amplop di meja.

"Kapan tenggangnya Yah? "

"Eh alah kamu ini, di bilang gak usah ikut mikir kok malah banyak tanya... "

Andin hanya bisa mendengus dan masuk ke kamarnya. Suara ibunya yang terus batuk sudah menjadi hal biasa baginya saat ini. Atau melihat tikus yang lewat di atas lemarinya, juga cicak bahkan tokek yang kini menghiasi plafon kamarnya. Tak hanya kamarnya, semua juga bisa gitu. Andin yang awalnya jijik kini terbiasa tinggal di rumah sempit tipe 36, setelah rumahnya di lelang untuk menutup hutang bank yang terus mencekik. Bila awalnya Andin mengira hutang keluarganya sudah lunas saat itu, ia salah. Karena sekarang gantian bunga dari hutang itu yang mencekik keluarganya.

Andin tau bila ini adalah resiko seorang pengusaha seperti ayahnya. Hampir tiap hari sejak ia masih TK sampai sekarang orang tuanya terus mengucapkannya. Bahkan saat ia terlihat putus asa, ayahnya masih mengucapkan hal yang sama padanya. Tentu saja itu tidak menghiburnya sama sekali tapi kembali ke ucapan ayahnya yang lain "...hidup tidak selamanya manis dan menyenangkan, makannya di sebut kehidupan. Kalo seneng terus nanti kamu lupa bersyukur lagi... " kurang lebih begitulah ucapannya.

"Bu, tadi waktu aku ngajar ibunya muritku ngasih ini. Ayam ragi, kasih banyak. Yaudah aku bawa pulang aja. Abis gak sempet makan disana." Dusta Andin sambil mengambilkan makanan untuk ibunya yang duduk lesehan di samping ayahnya.

"Baik ya orang tua muridmu... " Komentar bu Tuti lembut dan sedikit serak.

"Iya, orangnya kalo masak suka banyak Bu. Kadang anak tetangganya juga dia kasih makan. Badannya juga ya Bu, heh! Segini! " Andin meletakkan piring untuk ibunya lalu melebarkan tangannya mengkira-kira tubuh wali muridnya, tentu saja ia hanya berdusta agar ibunya tertawa.

"Heh gak boleh gitu! " Andin langsung meletakkan piring ibunya dan beralih mengambilkan nasi untuk ayahnya.

"Hihihi... Ibu harus sehat, nanti Andin ajak ketemu. Pasti ibu bakal ketawa." Andin masih berusaha membuat ibunya tertawa meskipun ia tau, ia tak bisa mencari bahan candaan yang menyenangkan. "Tv nya di nyalain ya? " Tanya Andin meminta izin.

"Jangan, belum beli pulsa listrik. Nanti mati lampu. Warung depan mati. Besok aja nonton nya... " Cegah pak Trisno. "Lagian mau makan apa nonton sih? " Sambungnya lagi lalu mulai memakan ayam jatahnya.

Kayak ayam yang biasanya dulu. Kira-kira begitulah yang di batin orang tua Andin begitu memakan suapan pertamanya dan saling tatap.

"Kamu makan yang banyak! Nasinya tambahin, badan dah sampe balung entut gitu!"

Andin hanya menatap ayahnya sambil tersenyum lalu menambahkan secentong nasi lagi kepiringnya. Andin tau bila ia makan banyak besok pagi ibunya tak bisa makan. Andin juga tau bila ia menyalakan TV, ayahnya belum bisa membeli pulsa listrik. Sementara orang tua Andin jelas tau bila putrinya pasti bekerja sangat keras untuk membeli ayam goreng ragi yang sekarang tengah mereka santap.

"Ibu kenyang Yah... " Ucap bu Tuti yang sengaja menyisakan banyak ayamnya agar besok tak perlu mencari lauk lagi begitu pula dengan Andin dan ayahnya.

"Ayamnya ke asinan, buat besok lagi aja... " ucap Andin yang merapikan meja makan sementara ayahnya mengurus ibunya yang sakit-sakitan.

Andin tau ayam yang ia beli rasanya pas dan sangat lezat. Harganya cukup mahal baginya saat ini yang hanya berpenghasilan kurang dari dua juta dengan dua pekerjaannya, tiga puluh ribu sepotongnya. Sama seperti uang beras keluarganya tiga hari.

"Andin, tolong belikan pulsa. Lima ribu aja ya,  ini uangnya... " Pak Trisno langsung mengeluarkan uang recehan lima ratus bahkan ada yang seratus dan dua ratusan.

"Andin jual pulsa Yah, gak usah beli." Jawab Andin lalu mengirim pulsa pada ayahnya.

"Yaudah, ini ayah tetep bayar pulsa ke kamu... "

"Andin isiin listriknya ya Yah... "

"Gak usah, kalo kita ada listrik nanti di tagih sama bank lagi gimana? Nanti di tanya, bisa beli listrik kok gak bayar di bayar-bayar? Hayo gimana? "

Andin hanya mengangguk pelan lalu menyalakan obat nyamuk bakar tang sudah patah, sengaja agar lebih irit.

"Dah kamu tidur, besok ayah coba hubungi teman ayah. Siapa tau mau bantuin kita... " Ucap pak Trisno lalu keluar dari kamar putrinya yang hanya di tutul pintu triplek yang bolong di gigit tikus.


Young Money [+17] End (Repost) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang