3

10.9K 296 6
                                    

Pagi menjelang, sebelum matahari terbit Andin selalu bangun lebih awal. Membuat bubur untuk sarapan, memasak air untuk ibunya, membuat teh dan merapikan kamar. Sementara ayahnya menyapu dan mengepel agar ibunya sedikit terbantu karena debu yang tak bertebaran.

Andin hanya menatap miris pada kondisi ibunya. Kalau dulu ia hanya flu atau demam biasa saja orang tuanya akan membawanya ke dokter di rumah sakit terbaik. Kini saat ibunya sakit parah begini hanya bisa di beri obat penahan sakit saja, itupun di beli hanya berdasarkan resep dokter yang lama dan di apotek biasa.

"Bu, obatnya ibu habis. Nanti ke dokter yuk habis Andin gajian. Biar obatnya ganti gak itu-itu terus." Ucap Andin sambil memijit kaki ibunya.

"Gak usah, ibu dah sehat. Besok juga dah bisa di ajak joging... " Tolak bu Tuti halus lalu terbatuk pelan.

"Gapapa Bu, cek up aja. Aku ada uang ini."

"Eh, ibu liat di koran minggunya ayah ada film baru, Snow Wite. Kamu gak nonton itu? Ajakin pacarmu Bram, apa Salma sana nonton. Kamu dah lama gak nonton kan? "

Bram jadian sama Salma, Bu. Begitu tau kita bangkrut gini, temenku juga dah hilang semua. Tinggal ibu sama ayah aja temenku, batin Andin sambil menatap ibunya.

"Kamu gak kerja? " Tanya pak Trisno begitu melihat putrinya belum siap-siap.

"Ini mau siap-siap, nanti cuma ngelesin anak SD doang. Santai... " Jawab Andin lalu bangun dan keluar dari kamar orang tuanya.

Pak Trisno dan istrinya hanya diam sampai Andin berangkat. Sembari menunggu bu Tuti memakan sarapannya dan obatnya, obat yang tak mungkin menyembuhkannya. Bagaimana mau sembuh bila itu hanya penambah darah dan aspirin, maklum bu Tuti kerap merasa dingin kadang menggigil.

"Bu, Andin kerja dulu ya... " pamit Andin lalu di antar ayahnya sampai depan. "Kerja dulu ya Yah... " pamitnya lagi.

"Hati-hati ya Nak... "

Pak Trisno terus menatap Andin dan motor secondnya yang jauh ketinggalan jaman bahkan perlu di genjot untuk menghidupkannya. Tiap kali pak Trisno melihat putrinya yang banting tulang dan harus berpura-pura ceria dan bahagia tiap kali membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga, membuat hatinya miris dan sedih. Putrinya yang selalu pergi dengan mobil bahkan bisa memilih mobil mana yang ingin ia pakai, kini jangankan mobil. Motor matic saja tak bisa di beli, hingga hanya memakai motor bebek yang dulu di pakai para tukang kebun di pabriknya. Karena memang itu yang tersisa.

"Semalam aku telfon sama Hendro. Temenku waktu susah dulu itu loh, ingat kan? " Bu Tuti langsung mengangguk menunggu suaminya melanjutkan ceritanya. "Aku minta bantuan, katanya dia mau kesini dulu nanti. Kayaknya mau, kita do'a saja biar nanti ada sesuatu. Biar kita bisa bayar utang. Setidaknya kita gak di kejar pegawai bank lagi..." Bu Tuti kembali mengangguk lalu tersenyum lembut. "Utang kita dah hampir setengah miliar, kalo cuma ngandalin yang ada sekarang gak nutup. Aku gak tega liat kamu sakit gini, Andin juga jadi kerja kasar gitu... "

"Aku gapapa, gak usah khawatir. Yang penting Andin gak kerja pontang-panting sana-sini aku dah seneng... " ucap bu Tuti lalu meletakkan mangkuk buburnya di atas meja kecil di sampingnya.

"Terimakasih, kamu mau temenin saya terus. Ada buat saya, gak ninggalin saya waktu kere begini... " Pak Trisno menggenggam tangan bu Tuti sambil menangis, tak menyangka bila istrinya akan seikhlas ini menerima keadaanya.

●●●

"Pa, kita jadi bantu si Trisno? Aku lama gak ketemu sama istrinya. Ku kira usahanya baik-baik saja, gak taunya kolaps begini... " ucap bu Alin sambil mengambilkan sarapan untuk suaminya.

"Katanya istrinya kena TBC juga. Aku nanti mau nengokin. Tapi ya jelas ku bantu... Kan jelas dia sudah kayak sodaraku. Dulu aku ingat banget waktu masih mulai dari bawah, sikat gigi loh bagi dua sama dia. Gantian! " Pak Hendro sampai geleng-geleng kepala mengingat masa mudanya dulu yang baru memulai bisnis.

"Hueek... Huek... Huek! " suara Silvia yang muntah-muntah terdengar cukup keras apalagi ia muntah di kamar mandi luar bukan yang di kamarnya.

Bimo yang baru sampai dan baru saja menyentuh piring langsung meletakkan piringnya kembali. Nafsu makannya langsung hilang begitu mendengar Silvia muntah-muntah. Hanya orang tuanya yang bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa dan masih melanjutkan obrolan soal masa lalunya. Bimo memang bukan pengidap OCD seperti penulis lain yang mudah jijik. Bimo bahkan masih bisa makan saat ayahnya kentut dengan baunya yang begitu menyengat atau hal yang lebih menjijikkan lainnya. Tapi saat ia tau bila adiknya muntah-muntah karena hubungan di luar nikah dan hanya ia yang tau, rasanya benar-benar menjijikkan.

"Gak jadi makan Kak? " Tanya pak Hendro yang hanya di jawab dengan gelengan oleh Bimo dan langsung kembali ke kamarnya.

"Adek masuk angin? " tanya bu Alin khawatir pada putrinya.

Silvia hanya mengangguk lalu mencari jeruk lemonnya. "Kak Bimo suruh cepet nikah dong Ma, Pa. Aku sama Aldo mau nikah, aku mau cepet nikah! " Ucap Silvia meminta bantuan orang tuanya untuk memaksa kakaknya.


Young Money [+17] End (Repost) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang