ruđira

300 36 14
                                    


ruđira

Darah Galdalium

Ceceran darah yang bersinar di tengah hujan abu sisa peperangan memancing seluruh perhatian para burung pemangsa jiwa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ceceran darah yang bersinar di tengah hujan abu sisa peperangan memancing seluruh perhatian para burung pemangsa jiwa. Dengan sayap pendek, terbang lincah ke sana kemari mencari roh tersesat.

Bulu-bulu halus yang menyelimuti seluruh tubuh mereka seputih batu kapur. Hanya sebesar kacang badam, membuatnya tidak mudah ditemui. Cengkeraman cakarnya seramping lidi. Tidak terlihat seperti makhluk sihir yang memiliki perawakan mengancam kematian. Namun, ketika paruh-paruh bengkok mereka terbuka, terdapat deretan taring yang menjulurkan lidah sangat panjang. Dengan cekatan, lidah mereka meliuk-liuk elastis seperti sulur tanaman merambat. Meski tidak bertulang, tetapi kuat menjala semua roh dari tubuh yang terbujur kaku. Mereka sedang berburu; mengisi perut. Membersihkan mayat sekaligus membantu mempercepat regenerasi pupuk alam.

Para burung kelaparan itu tak bisa bersantai-santai. Di sisi lain, posisi mereka terancam oleh kedatangan titik-titik cahaya kehijauan yang beterbangan rendah ke latar bersimbah darah dan tulang belulang. Mereka berpesta pora sekaligus berebut roh tersesat dengan dua Syaman Nekromansi.

Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan, selagi peperangan sempat mereda.

Dataran subur yang semula dipenuhi kelopak mungil bunga liar warna-warni dengan hamparan rumput hijau basah, kini teraduk rata oleh bongkahan bangkai kereta perang. Pedang, panah, tombak, cemeti berduri, dan rongsokan logam tajam lainnya siap menjadi ranjau bilamana salah melangkah. Banyak anggota badan sudah tak lagi menyatu. Serta isi perut terburai ke mana-mana mengotori zirah perkasa mereka yang sempat dipenuhi kilau kebanggaan diri sebagai laskar Galdalium Bladium. Lereng tubir hancur oleh serangan sihir yang bertubi-tubi meninju apa pun.

Gersang. Tengik. Amis. Lengket.

Hidung bangir Sagni mengendusi butiran kerikil lembut yang ia genggam. Ia tabur kembali pasir ke udara dan mengatupkan kedua tangan ke dada. Berdoa agar semuanya cepat berakhir. Kakinya meminggirkan jasad berbaju besi itu perlahan. Lalu muncul segumpal asap kelabu pekat.

"Hitam." Sagni menarik pelan roh yang masih terjepit di sela tubuh yang tertusuk tombak itu. "Lima puluh tujuh lagi, Roh Hitam genap sembilan puluh sembilan."

Pemuda bergincu ungu itu mengembuskan napas berat. Sesekali ia mendongak, menatap nanar pada langit merah kelabu. Waktu sudah tak lagi jelas, apakah pagi bercahaya atau sudah gelap sewajarnya malam kelam.

"Sudah seabad Galdalium ... masih juga mereka saling membantai, meski raga Ayah dari bayi itu telah mati. Bayi yang malang. Dia bahkan belum tahu takdir warisnya bagaimana, kira-kira seperti apa wujudnya sekarang ...."

Sagni mendengkus panjang. Jubah cokelat lusuhnya menyapu semua bangkai yang ia pijak. Genangan darah turut terserap ke serat kain rajutan bulu domba itu.

"Peperangan konyol. Tidak tahu siapa yang musuh sebenarnya, mana kawan. Seluruh umat manusia akan benar-benar musnah dari Galdalium Bladium." Sebuah suara parau menyeruak dari belakang Nekromansi Sagni.

Sagni menoleh sejenak dan menatap sayu rekan Nekromansinya yang baru saja berganti wujud sebagai manusia berusia lima belas tahun Galdalium. Kemudian tangan kanan kurusnya merentang, sementara tangan kirinya yang mendekap kendi siap membuka kain penutup. Bibirnya bergetar, melafalkan kalimat gaib.

"Aŕ Îwæri khé ywalium Ruđira Kåra hzùrżavkøx E' ntoz ūn farg uşköw!"

Begitu mantra terucap, angin berembus kencang membawa mega mendung. Berputar-putar di satu titik di atas angkasa. Pendar cahaya satu per satu muncul dari jasad. Semua bergumul bersama awan kelabu, lalu terisap ke dalam kendi gerabah. Sesekali terdengar raungan isak tangis disertai jeritan serak. Lama-lama menyusut seiring isi kendi itu penuh. Segera Sagni mengikat tali penutup seusai roh-roh di atas dataran tinggi itu tidak terendus lagi eksistensinya.

"Cepat atau lambat, giliran kita yang binasa oleh kebengisan mereka," imbuh laki-laki pendek itu setelah melihat atraksi Sagni dalam pengumpulan roh secara massal. Ia membuka tudung merahnya hingga memperlihatkan netra putih. Mata besarnya menyapu pandang sekitar sembari melangkahkan kaki telanjang hati-hati. Tanpa sadar tangannya mengepal.

"Kita akan bangkit berkali-kali dengan raga baru." Salah satu sudut bibir tipis Sagni tertarik ke atas pada sosok bocah laki-laki bersurai segelap arang itu.

"Lebih dari itu kita butuh benda padat untuk mengunci roh-roh tangkapanmu secara permanen." Sembari berjongkok, ia angkat salah satu mayat prajurit yang masih utuh. "Seperti ini."

Sagni pun mengusap-usap bibir bawahnya. Ia berbalik, melihat apa ditarik dan seret bocah Nekromansi itu. "Kita juga butuh kekuatan penyegel sempurna. Hanya kita berdua tidak cukup."

Giliran si bocah memilih diam sejenak. Ia masih memikirkan rencana sembari memegangi bangkai prajurit.

"Jatuhkan mayat itu, Os. Aku tidak suka tubuhnya." Sagni lekas menjauhi latar bekas pertumpahan darah itu.

"Kenapa?" Bocah laki-laki yang dipanggil Os memiringkan kepala.

"Tidakkah kaulihat di balik zirah besi itu? Perutnya yang menganga dikerumuni banyak belatung. Tubuhnya sudah rusak. Kita butuh tubuh yang baru, yang lebih kuat," paparnya tanpa memandang lawan bicara. Tapak kakinya terus menginjak jasad busuk para laskar. "Apa kau melihat Syaman lainnya, yang masih hidup?"

"Kita tidak perlu bantuan Syaman lainnya, tapi aku tahu tempat apa yang cocok untuk penyegelan roh-roh itu. Bahkan kita bisa membuatkan tubuh baru untuk mereka."

Sagni bergeming. Ia menoleh dan mata berkantung hitamnya melirik tajam pada Os.

"Di mana?"

"Danau Ratirta Putih."

Tiba-tiba ledakan besar bergemuruh di atas lapisan langit merah kelam. Halilintar mencabik-cabik awan, seiring memunculkan auman beringas, terlihat siluet raksasa yang menampakkan diri. Tubuh makhluk itu bergerak memanjang seperti monster ular laut. Di sekitarnya turut keluar benda-benda hitam tak beraturan yang tersebar ke segala arah.

"Berengsek! Mereka masih mau menjarah jiwa mana lagi sekarang!?" Os memandang sengit makhluk magis pemburu jiwa milik Kekaisaran Langit Merah. "Kita harus cepat, sebelum seluruh Galdalium hancur lebur!"

Lantas Sagni dan Os buru-buru meninggalkan dataran lapang itu.

Namun, satu mayat yang tergolek dan terjepit roda kereta perang sempat menggulirkan sesuatu dari dalam rongga tengkorak. Meskipun sudah tidak berbiji mata, sesuatu yang mengisi seolah menatap nyalang ke arah dua Nekromansi itu.





ASPHALTUM: Ğolđ 'ęn BlødTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang