malaįkäla

102 16 34
                                    


malaįkäla

Tangan-Tangan Universum

Bibir ungu itu pun mulai merapal mantra gaib

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bibir ungu itu pun mulai merapal mantra gaib.

"...."

Sinar keperakan muncul dari lubang kendi yang terbuka. Berdenyar penuh kilat dan menciptakan putaran angin kencang di tengah danau.

"... jve hârræ ýuq ... Ruđira Kåra hzùrżavkøx E' ntoz 'ęn blød!"

Belum sempat menujah Sagni, patil ikan raksasa itu retak dan pecah berhamburan. Air danau yang semula putih pucat, kini menggelap. Aroma anyir menguar hingga menusuk penghidu. Berekor-ekor pendar cahaya tercabut paksa dari dalam tubuh ikan koi. Semakin banyak yang keluar dan terserap ke dalam kendi. Makhluk itu meraung kesakitan, serangannya menjadi tidak terarah. Satu manuver patil yang entah disasarkan ke mana berakhir sia-sia dengan ambruknya tubuh raksasa itu, selamanya.

Namun, Sagni masih dapat mengapung statis meskipun badai mengguncangkan air danau sampai saling membentur tepi tubir.

Guyuran riak danau serta-merta membuat Os terpelanting menabrak batang pinus.

Dengan mata kepala sendiri, Os menyaksikan pencabutan roh secara binal. Ia baru kali pertama mengetahui Sagni mampu bertindak keji terhadap makhluk yang seharusnya masih bernapas. Malahan, terlalu cepat mengakhiri kematian seonggok makhluk hidup. Berbanding terbalik dengan kebiasaannya yang selalu memberi penghormatan; berdoa sebelum mengumpulkan roh-roh tersesat.

Selain itu, Os merasa yang ada di tengah danau bukanlah Sagni yang ia ketahui selama ini. Beraura beku dan kosong. Seolah tidak memiliki jiwa hidup. Ia tahu kenapa demikian. Bila dibiarkan, perlahan akumulasi ketakutan akan menimbulkan rasa lapar tak terbatas, menggerogoti tubuh untuk memangsa lebih banyak. Itu bisa terjadi pada semua Syaman Nekromansi, di kala tertentu.

"Jangan sampai kau mejadi Gergasi Blød!"

Jelas saja, penjaga danau itu seharusnya tetap masih hidup. Hal ini juga akan melenceng dari apa yang diharapkan Os. Begitu pula denyaran keperakan itu malah makin melingkupi tubuh Sagni.

"S-Sialan! SAGNIIIII!!!"

Sagni terperanjat. Namun, ia terlambat.

Os yang hendak mencebur untuk menarik Sagni keluar danau, terpental oleh kemunculan diagaram sihir di tengah danau.

Sagni terkurung. Putaran riak air danau kian deras. Tetesan air hujan beserta kilat mulai berjatuhan. Palang tak kasatmata serupa lapisan kabut mengurung pemuda itu saat dirinya berkecipak menuju daratan.

Kendi yang Sagni dekap, bergetar hebat. Seiring diagram sihir keperakan itu berdenyar, tiba-tiba seluruh ekor pendar roh memelesat keluar dari dalam kendi itu. Kontan saja, penampung jiwa yang selalu Sagni andalkan beratus-ratus tahun akhirnya pecah. Tidak lagi mampu menahan gejolak magi terlalu kuat. Roh tangkapannya melompat-lompat acak. Para roh kebingungan, pendarnya menghantam apa pun yang ada di depan. Sagni turut terlontar sekaligus tenggelam. Os yang berupaya memotong lapisan palang itu malah terlempar lagi hingga menabrak tubir lereng bukit di pinggir danau.

Sementara, air danau yang menghitam memunculkan sulur-sulur hidup. Sulur-sulur berair itu membelah, mencuat, dan memanjang tak beraturan bentuk. Entitas magi itu tentu saja tengah murka. Setiap Sagni akan keluar dari permukaan air, makhluk itu lekas membebat dan kembali membenamkannya. Tubuh Sagni pun dibentur-benturkan kencang pada dasar berlumpur danau. Syaman itu bersikeras menarik lilitan, tetapi sulur-sulur berair hitam melontarkan dirinya sampai menabrak palang berkabut. Mereka menggulung, membanting, dan kembali menenggelamkannya.

Os tak tinggal diam. Ia membutuhkan kemampuan Sagni untuk memanen roh dalam skala masif. Ia tidak boleh kehilangan rekannya. Kakinya yang nyut-nyutan saat menubruk gundukan batu, ia paksa berlari menerjang. Sebilah pisau sihir yang tersimpan di balik tudungnya ia gunakan untuk memotong palang kabut. Alih-alih berhasil memasukinya karena sempat robek, ia justru terbelit oleh gulungan air hitam. Os tak mampu melawan. Tubuhnya terkunci. Semakin ia meronta, cekikan pada leher juga kian menguat hingga tersedak.

Os menggeram terbatuk. Ia mencoba lagi dan lagi dengan menikam sulur itu. Namun, ia kembali dilempar lalu dibanting ke tanah. Tubuhnya remuk redam. Dirasa seluruh tulangnya mungkin sudah hancur. Ia tak sanggup lagi untuk bangkit.

"Payah ...." Bibir berdarah Os pun meluncurkan kekeh sumbang. Ia menertawakan dirinya. Teringat akan janji yang ia umbarkan pada Sagni.

Mau tidak mau, ia harus melakukan pembukaan segel gaib kunonya. Mau bagaimana lagi bila kini tiba waktunya menyetujui kontrak Sang Empu yang seharusnya tidak ia gunakan dahulu. Namun, hanya cara itu, yang bisa ia lakukan untuk mengeluarkan kekuatan terkuncinya.

Tasbih yang mengikat pergelangan tangannya, ia belitkan pada Batu Ruđira Kåra lalu digenggam erat. Bibirnya mulai komat-kamit merapal mantra.

"Rțûoq av Bã§kəttez Zořøijv ywëvb Kær!"

Os mengentakkan tangan ke tanah becek. Butiran tasbih lepas satu persatu membentuk batu bercahaya. Kristal tasbih terbang melayang. Seketika muncul titik-titik api biru. Kerikil beterbangan. Angin terkoyak bersama pedang sinar menyembul dari dalam dasar danau. Pedang sinar itu bergumul menjadi sosok besar penuh kilatan yang memeletek riuh.

Makhluk itu muncul. Seluruh raganya bersinar terang. Dengan posisi setengah jegang, ia duduk mengambang di atas lotus es.

"Lucu sekali. Setelah sekian lama makhluk angkuh sepertimu melenyapkan eksistensi diriku, kini kau semena-mena memaksaku muncul lagi, Pencuri Tengik." Wajah yang tertutupi helaian rambut hitam pekat itu mengeluarkan debasan serupa asap api. "Nekromansi terkutuk yang seharusnya mendekam ke dasar Neraka."

Makhluk yang sekujur tubuh dilingkupi denyar keemasan itu membelalakkan satu mata di keningnya. Tampak semburat iris mata sepekat rubin meronai mata ketiga makhluk itu.

"Katakan, apa maumu?" Tangan makhluk bercahaya terang benderang itu langsung mengoyak sulur air hitam yang mencoba membelitnya.

Os terdiam sejenak seraya mengamati sulur-sulur air hitam yang bergelayut di bawah lotus es itu.

"Aku, butuh kemampuan menyegel sebagai Syaman Nekromansi-ku kembali."

Makhluk itu berdesis mengeluarkan lidah api.

"Tidak masalah, tapi ...."

"Tapi apa?" Os tergugu-gugu mendengarnya.

"Serahkan inti sari jiwa murni-mu padaku, sebagai gantinya kebangkitan altar Kïrzi Ratirta Putih."

"Begitu, ya ...."

Os terkekeh-kekeh parau mendengar sang Pencipta-nya meminta balik ensensi hidupnya yang sudah lama rusak.

"Sayang sekali, jiwa murni-ku sudah mati bersama kebinasaan nurani para Galdalium itu."

Sejenak keheningan menyelimuti keduanya.

Makhluk bercahaya itu menguarkan asap pekat dari mulut hingga nyala api mulai membakar sulur-sulur hitam itu.

Os terkesiap ketika sebilah pedang sinar muncul dari balik sulur terbakar dan menujah tubuh Sagni yang mulai berwujud Gergasi Blød.

"Baiklah, apa pun yang ada di raga kalian akan kuambil kembali."





ASPHALTUM: Ğolđ 'ęn BlødTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang