kåra

174 27 25
                                    


kåra

Sinar Abadi Bladium

Benturan masif dari peperangan membuat perbatasan antara Dimensi Langit Galdalium dengan Dimensi Tanah Bladium tidak lagi memiliki aturan gamblang keluar-masuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Benturan masif dari peperangan membuat perbatasan antara Dimensi Langit Galdalium dengan Dimensi Tanah Bladium tidak lagi memiliki aturan gamblang keluar-masuk. Bahkan kedua dimensi itu sudah tak berperawakan gagah. Panorama awan beserta ngarai subur telah carut-marut. Meski mereka tidak dihadang oleh penjaga perbatasan, sehingga harus membeberkan perihal kedatangan saat memasuki Bladium, tak lantas membuat cepat sampai ke tujuan.

Lebih-lebih Sagni tidak menduga bahwa perjalanan menuju Danau Ratirta Putih cukup menguras energi. Kaki boroknya harus menempuh jembatan angin berliku-liku yang menghubungkan antarpulau melayang. Ia nyaris tidak biasa berada di tempat itu. Mau tidak mau, ia terus mengekori Os.

"Cepatlah, Bongsor! Kita tidak punya banyak waktu!" cibir Os mendapati Sagni berjarak sepuluh langkah di belakangnya.

"Aku tahu, aku tahu!" Sagni selalu mengeluhkan arah angin yang terus menerjangnya untuk mundur. "Kautahu, kita tidak seharusnya di sini!? Angin-angin ini tampak memperingatkan kita untuk kembali!"

Os hanya mengibaskan tangan enggan, sedangkan kakinya tetap melaju.

Jalan setapak sempit. Curam. Berkabut pekat. Tidak ada bantuan berupa tunggangan yang lewat. Apalagi tidak tersedianya peta jalur sihir perpindahan ruang-waktu secara efisien. Padahal mereka masih harus menghemat tenaga untuk mewujudkan keinginannya.

Daripada itu, sekarang mereka disambut sesuatu yang lebih mengejutkan.

Kini alis Sagni berkedut. Sorot mata merah lelahnya makin keruh. Bahkan wajah kuyunya yang sudah seperti mayat makin memucat.

"Kau pasti bercanda."

Di tengah pusaran Danau Ratirta Putih, tornado air pasang melanda. Terdapat ikan raksasa dengan patil panjang di kanan dan kiri kepala gepengnya. Hewan magis itu sedang bertarung dengan monster belut berbulu kemerahan yang diyakini dari Langit Merah. Tubuhnya mencuat dan patilnya menebas monster itu habis-habisan. Gelombang air danau yang tumpah ke dataran lembap, kontan membuat Sagni dan Os kembali memasuki rerimbun Pinus Putih. Lalu lekas bersembunyi di balik perdu berdaun lebar.

"Kita hanya berdua," sahut Os dengan nada suara sedikit bergetar.

"Ya, aku tahu."

"Maksudku, kita hanya berdua. Tidak begitu mencolok untuk berenang memasuki pusat danau itu. Setelah menyelam sebentar, kita akan menemukan gua. Banyak energi kehidupan yang akan membantu kita mengikat roh-roh itu menjadi satu kesatuan dalam tubuh hidup," urai Os dengan tatapan datar, tetapi ia tampak kesulitan menelan ludahnya.

Mata sayu Sagni terbeliak.

"Lupakan! Aku cari Syaman lain di perbatasan maya berkabut ini." Sagni mendengkus. Ia lekas berbalik menjauhi perdu yang menutupi eksistensinya dari dua makhluk raksasa itu yang masih saling gigit dan membanting.

ASPHALTUM: Ğolđ 'ęn BlødTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang