Bagian 20

4.2K 312 11
                                    

Kamar yang biasanya rapi kini berantakkan karena ulah sang pemilik kamar. Semua barang - barang berserakan. Serpihan vas kini telah berhamburan dilantai. Pria yang tidak lain Ali itu begitu kacau untuk dilihat penampilannya. Rambutnya acak - acakkan karena keseringan diremas frustasi. Ini semua karena gadisnya menghilang setelah pergi meninggalkan di Grunewald waktu itu.

Kini Ali sudah pulang ke Indonesia. Dia tetap memutuskan pulang walau tanpa Prilly. Bagaimanapun pekerjaan dikantornya yang ada masalah harus segala ditangani, walau dia harus mendengar luapan kemarahan saudara - saudaranya.

"Kamu benar - benar gila! Prilly hilang kamu tetap melakukan penerbangan ke Indo. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya kamu pikirin sih Li? Prilly itu menghilang tanpa kabar dan kini dia belum pulang. Kamu malah balik, dan milih pekerjaan kamu itu." Maki Nadia yang sudah tersulut emosi dengan adiknya itu.

"Tapi aku harus pulang kak." Guman Ali, dirinya juga bingung apa yang harus dia lakukan. Tetap tinggal untuk mencari Prilly, atau pulang karena dikantor juga sedang mengalami kekacauan.

"Gue tahu lo bukan pria yang tidak bertanggung jawab. Apa yang membuat lo kekeuh tetap ingin pulang ke Indo?" Tanya Kevin berusaha bersikap dewasa, dia cukup tahu sikap adiknya itu walau mereka tidak tinggal bersama.

"Ada masalah dikantor. Jika tidak ditangani segera maka perusahaan yang aku bangun dengan jerih payahku sendiri bisa saja mengalami kehancuran dengan sekejap." Sahut Ali dengan wajah sulit terbaca. Dia harus kembali ke Indonesia walau tanpa Prilly. Untuk Prilly dia bisa mengirim pengawalnya untuk mencari Prilly yang menghilang itu.

"Ali. Maafin kakak yang sudah langsung menuduh kamu. Kenapa tidak dijelaskan dari awal? Apa kamu juga tidak memberi tahu Prilly jadi dia sampai marah dengan kamu begini?" Nadia menyesal telah mengatakan adiknya yang tidak - tidak.

Ali menggeleng. "Biar ini urusanku. Prilly yang menghilang biar nanti aku yang menyuruh para pengawalku untuk mencarinya."

"Seharusnya kamu terbuka sama istri kamu, apalagi ini bukan masalah kecil. Bahkan kamu menambah masalah dengan hilangnya Prilly" gumam Nadia, matanya menatap lurus ke depan. Pikirannya tertuju pada adik iparnya yang menghilang begitu saja.

Ali memejamkan matanya lelah. Dia beranjak dari duduknya menuju balkon kamarnya. Tanpa terasa buliran air mata itu kembali mengalir membasahi pipinya. Selama ini Ali tidak pernah menunjukkan rasa kesedihan dengan air mata, tapi kehilangan sosok Prilly mampu membuatnya menangis. Ali sadar, Prilly begitu berarti di hidupnya.

Ali kembali membalikkan badannya menuju kasur. Duduk ditepi ranjang, dan tangannya terulur meraih ponsel pintarnya yang berada di atas nakas. Menghubungi nomor seseorang disana.

"Hallo, Ali. Kenapa?" Suara Dafina terdengar dari seberang sana. Dia kini menghubungi Dafina untuk memberi kabar bahwa putrinya kini tengah menghilang. Ali tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya mama mertuanya itu saat mengetahui putrinya itu menghilang.
"Hallo mi" mulut Ali terasa kaku untuk berbicara, setiap kata yang keluar dari kerongkongannya seperti tertahan oleh sesuatu hingga kesulitan berbicara.

"Ali, kenapa kamu telepon mami? Ada masalah yah?" Tebak Dafina karena Ali tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Prilly hilang mi" akhirnya kalimat itu keluar juga walau harus susah mengeluarkan kata - kata itu. Ali siap menerima amarah mertuanya karena dia tidak mampu menjaga Prilly dengan baik. Seharusnya dia menyusul Prilly pergi karena dia tahu Prilly tidak pernah ke Berlin. Dan bisa saja gadis itu tersesat ditengah kota Berlin yang cukup asing oleh Prilly.

"Apa! Kamu bercanda kan Li?" Mulut Dafina tercekat saat berucap memastikan itu semua itu benar. Badannya terasa kaku ditempat dia berdiri menerima telepon dari menantunya itu. Kamil yang duduk dikursi kejayaannya menghampiri istrinya yang sedang beteleponan dengan seseorang sambil berdiri menghadap kaca kantor.

"Prilly menghilang diBerlin." Jelas Ali membuat Dafina makin membeku ditempatnya. Jadi benar putrinya itu menghilang, dan hilang dinegeri orang. Tanpa terasa butiran air mata itu menetes dari balik pelupuk matanya yang sempat tertahan.

"Terus bagaimana?" Bibir Dafina bergetar, apa yang dia tanyakan itu pastinya tidak bisa dijawab oleh menantunya.

"Kenapa Prilly bisa hilang?" Tanya Dafina lagi, buliran air mata yang jatuh dari pipinya semakin banyak. Membuat pipi wanita yang mirip dengan Putrinya itu dibanjiri oleh air mata. Ketakutan semakin menjadi saat ini. Dia sangat takut kehilangan Prilly. Dimana kini putri satu - satunya yang dia punya?

Suara terisak diseberang sana semakin membuat Dafina takut. "Maafkan aku ma, aku tidak bisa menjaga Prilly dengan baik."

Ali memejamkan matanya saat suara sambungan itu terputus. Mama mertuanya itu pasti sangat kecewa karena tidak menjaga putrinya dengan baik. Padahal dia sangat diandalkan untuk menjaga putri kesayangan Wijaya. Tapi dia malah membuat kesalahan. Bisa saja mertuanya tidak memaafkan kekhilafannya itu.

Dafina dibawa Kamil dalam pelukkannya. Menenangkan Dafina yang ketakutan untuk kehilangan putrinya yang kedua kalinya. Istrinya kini sangat terpukul. Dia sudah mendengarkan pembicaraan Dafina dengan Ali lewat telepon. Bertanya apa yang membuat putrinya itu menghilang sepertinya bukan waktu yang tepat. Istrinya memerlukan hiburan darinya walau dirinya kini juga sangat mengkhawatirkan putri kesayangannya itu.

"Prilly mas" racau Dafina dipelukkan suaminya.

"Iya kamu yang tenang. Prilly pasti ketemu." Guman Kamil yakin bahwa putrinya pasti kembali kedalam pelukkan mereka.

"Prilly hilang di Berlin." Dafina masih meracau. Tentu saja, Dafina seorang ibu. Takut kehilangan seorang putri itu sangat wajar. Apalagi Prilly belasan tahun tidak hidup bersamanya. Tumbuh dan berkembang dalam bimbingan keluarga lain.

"Tidak ada yang mustahil." Kamil tidak tahu lagi mengucapkan kata apa yang membuat istrinya tenang. Tapi setidaknya Dafina mengangguk mengiyakan. Benar kata suaminya. Anak buah suami dan menantunya itu begitu banyak, tentu saja bisa diandalkan. Harapan Dafina kini, semoga putrinya itu baik - baik saja dimanapun dia berada.

Lisa memasuki mansion dengan tergesa - gesa. Dia baru saja pulang dari Paris bersama suaminya. Mendengar menantunya menghilang di Berlin dari Kevin dan Ali kembali pulang tanpa Prilly membuat dia khawatir dengan keadaannya putranya itu. Diperjalanan menuju mansion dia menerima kabar dari salah satu pelayan bahwa tuan mudanya itu menghancurkan barang - barang dikamarnya. Suara vas bunga yang dia buang sembarang itu membuat pelayan yang bekerja melewati kamar Ali terkejut dan langsung melaporkan kejadian itu pada nyonya besar dirumah itu.

"Ali, buka pintunya. Mama mohon jangan nyakitin diri kamu sendiri." Lisa mengetuk - ngetuk pintu kamar Ali. Berharap putranya itu segera keluar dari kamarnya.

"Son. Jangan bertindak bodoh, Prilly pasti marah kalau kamu ngelakuin hal yang tidak - tidak."

"Prilly pasti ketemu. Dia pasti baik - baik saja." Lisa menghela nafas lelah saat putra itu tidak juga membuka kan pintu ataupun menyahut.

"Biarkan Ali tenang dulu." Suara Blenda membuat Lisa menoleh pada suaminya yang berdiri tepat dibelakangnya. Lisa mengangguk mengiyakan. Sepertinya Ali perlu waktu sendiri. Mungkin menyalahi diri sendiri tidak berarti, tapi setidaknya membiarkan Ali sendiri bisa membuat Ali berpikir dewasa. Saatnya bukan menyalahkan diri sendiri, tapi berusaha untuk mencari jejak keberadaan Prilly sekarang.

***
Tbc

Binuang, 18 Januari 2019

Terima kasih partipasi untuk vomentnya untuk part sebelumnya😘😘

Part ini semoga suka, maaf kalau banyak typo😉

Nextnya tergantung voment yahh!!!

Buka work aku yukk,,,aku mau publish cerita baru lho. Judulnya "Friends and Love" silahkan periksa yahhh,,,kalau sudah tinggalkan jejaknya.

Kalau part ini kurang memuaskan, tolong dimaafkan. Silahkan beri komen biar aku dapat memperbaiki ceritaku. Fungsi kolom komentar untuk mengomentar dan mengasih pendapat tapi bukan untuk menjudge yahh

Forced Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang