Beradaptasi memang tidak pernah mudah. Kurasa itu hal yang tidak kusukai melebihi olahraga. Karena aku payah di keduanya. Namun selama seminggu terakhir ini, dua hal itu menjadi rutinitasku.
Kaki bergerak terus-menerus, mata mempelajari tiap penduduk Kerajaan Matahari baik yang berada di sekitar kediaman Klan Oriane, hingga kegiatan yang terjadi di kastil Kerajaan Matahari. Kaki dan mataku dipaksa untuk bergerak terus, dan itu melelahkan.
Dan selama satu minggu itu pula, aku belum mendapat kabar apapun tentang Ayah maupun Ibu, dan hanya Nenek yang menyadari kecemasanku, kemungkinan karena hanya Nenek yang paling banyak berkomunikasi denganku.
Sebenarnya, bukan hanya Nenek saja. Sekitar tiga hari yang lalu, cucu Nenek yang lain pulang. Kupikir itu tidak akan banyak membantu, dan aku belum terbiasa berkomunikasi dengan anggota Klan Oriane lainnya. Tapi yang ini berbeda. Di malam itu tiga ketukan pintu terdengar, dan dia berdiri di depan pintu dengan kue dan sesuatu beraroma cokelat di dalam gelas.
“Hai, Sepupu. Bisa bantu aku menghabiskan ini semua?”
Dan setelah itu, kami lebih sering menghabiskan waktu ketimbang sekadar menghabiskan kue dan cokelat hangat di malam hari. Aku tidak mengerti kenapa kami bisa jadi akrab, tapi mungkin itu karena sifatnya yang memang terbuka dengan orang lain.
Namanya Jehemia Sunniva, tapi orang-orang memanggilnya Jimin. Awalnya aku tidak mengerti kenapa namanya bisa lucu begitu, sementara sebelumnya Nenek mengenalkanku bahwa dia merupakan salah satu teknisi ahli di kerajaan. Tapi hanya dalam beberapa jam setelah bicara dengannya, aku mengerti.
Jimin itu banyak bicara, bawel, dan asik. Kurasa “Jehemia” terlalu keren untuk jadi panggilannya.
Hari ini, Jimin membawaku untuk keluar dari rumah.
Sebenarnya, dia memaksa sih. Dia bilang mendapat tiket dari kerajaan, dan dia ingin mengajakku. Jimin juga tahu dari mana asalku—yah, hampir seluruh anggota keluarga tahu. Dan mungkin itu juga yang membuat mereka tidak ingin terlalu banyak berinteraksi denganku, seorang penduduk Kerajaan Bulan. Tapi Jimin memperlakukanku sebagaimana Nenek. Dan karena mereka sama, Nenek justru menyuruhku untuk menerima tawaran Jimin.
Karena itulah aku ada di sini, mengekori Jimin dari belakang, masuk ke dalam koloseum yang begitu besar. Sangat. Di Kerajaan Bulan juga arena seperti ini ada, tapi di sini koloseumnya dibagi menjadi beberapa boks yang disusun seperti anak tangga. Jimin dapat tiket di boks paling atas karena statusnya sebagai pekerja kerajaan.
“Kita benar-benar harus ke sini, nih?” tanyaku sebelum duduk, sementara Jimin sudah duduk begitu sampai.
Mata Jimin memandangiku dengan kening yang mengernyit. “Tentu saja. Semua orang selalu ingin menonton pertandingan langsung di arena. Dan hari ini finalnya. Kau harus menonton.”
Aku mengulum bibir, merasa tidak yakin, namun Jimin menarik tanganku tiba-tiba, membuatku duduk di sampingnya. Arena di bawah, lapangan untuk bertarung sudah mulai diwarnai dengan beberapa orang yang lalu-lalang dengan berbagai baju dan kostum perang, serta pedang, tombak, busur, dan lain-lain. Kerajaan Matahari nampaknya suka membuat ajang yang barbar.
Acara dibuka dengan unjuk kekuatan, mulai dari air yang dikendalikan dan diubah menjadi rintik-rintik yang menghujani seisi koloseum, boks-boks yang bergetar dan melayang, hingga bunyi suara-suara merdu.
Dalam seminggu aku sudah cukup banyak melihat kekuatan-kekuatan—penduduk Kerajaan Matahari menggunakannya bahkan di jalanan dan tempat umum. Punya teman bicara seperti Jimin juga membuatku mengetahui beberapa hal, seperti kekuatan para penduduk yang ada berdasarkan klan.
Sama seperti Kerajaan Bulan, Kerajaan Matahari juga punya 15 klan. Semuanya memiliki sumber tersendiri, yang kemudian menghasilkan kekuatan yang bervariasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECLIPSE DIARY (✓)
FantasyPINDAH TAYANG KE DREAME/INNOVEL Kerajaan Matahari dan Kerajaan Bulan sudah terpisah sejak berabad-abad yang lalu, mengikat janji untuk tidak pernah menyentuh teritorial satu sama lain. Di sinilah Alrisha, gadis dari Kerajaan Bulan yang tidak tahu du...