Bagian 3

2.2K 452 94
                                    


Kepalaku terasa nyeri, berdenyut begitu kuat. Jantungku berdebar dan rasanya bisa berhenti berdetak kapan saja. Butuh perjuangan keras untuk membuka mata, membiarkan cahaya masuk.

Oh, tapi rasanya ini lebih baik. Kurasa mimpiku begitu buruk sampai-sampai efeknya sebegini dahsyat begitu bangun.

“Ah, akhirnya kau sadar. Syukurlah.”

Seorang wanita tua dengan rambut putih—ah, bukan, itu warna perak—berdiri dari kursi yang ada di dekat tempatku tidur kemudian tersenyum ramah. Dia mengambil mangkuk kecil di meja yang berisikan air, membawanya dan menyodorkannya ke arahku.

“Minumlah dulu. Ini akan membantu penyembuhan kakimu yang lecet.”

Banyak pertanyaan yang membuncah di kepalaku, ingin segera meletus melalui bibir. Namun aku tidak melakukannya. Pikiranku menuntunku untuk tidak banyak bicara. Memperhatikan sekitar akan lebih berguna ketimbang melakukan hal gegabah yang tidak terencana.

Kerajaan Bulan selalu mengajarkan penduduknya untuk bertindak berdasarkan rencana. Kira-kira yang terjadi sekarang termasuk rencana Ayah dan Ibu bukan, ya?

Agak sulit sekarang untuk membayangkan Ayah sebagai penduduk Kerajaan Bulan. Sangat. Segala hal yang terpapar dalam ingatanku justru mengenyahkan hal-hal yang sebelumnya kukira sebagai ciri penduduk Kerajaan Bulan bagi Ayah.

Ayah itu penduduk Kerajaan Matahari. Setidaknya begitu hipotesis yang bisa kuambil.

Aku memandangi wanita tua yang membantuku untuk minum. Dia terlihat baik, terlihat tua dengan kerutan di wajah yang alami, dan mata biru gelapnya mirip terasa familier. Mata Ayah. Mataku.

“Kau aman kok. Tenang saja,” dia bersuara dengan lembut, menjawab pertanyaan yang belum kutanyakan, “kemarin sore seorang warga mengantarmu dan bilang dia menemukanmu pingsan di seberang Sungai Gerhana.”

Kuharap laki-laki itu juga cerita alasan kenapa aku pingsan. Meski tidak sepenuhnya, tapi api yang dia hasilkan jelas menjadi salah satu faktornya.

Siapa namanya, ya? Taehyung?

“Aku Eleanor Oriane. Tapi kurasa kau bisa memanggilku ‘Nenek’.” Kalimat itu menjawab pertanyaanku yang lain. Wah. Aku curiga jangan-jangan dia bisa baca pikiran. Kalau begitu aku tidak bisa merasa begitu aman. “Aku yakin namamu Alrisha. Theo berjanji akan menamai anaknya begitu.”

Aku tahu panggilan itu. nama panggilan Ayah. Ketika Eleanor—oke, Nenek—menyebutkan namanya, aku bisa merasakan panggilan itu tertuju pada anak laki-laki yang jahil yang suka berpetualang.

Dan Nenek merindukannya. Aku pun begitu. Aku sangat merindukannya. Aku ingin melihat Ayah sekarang.

“Kau pasti lapar. Tunggu di sini, makanan akan datang sebentar lagi,” kata Nenek. Tangannya bergerak untuk menyentuh tanganku, terasa lembut dan hangat.

Sebelum Nenek keluar dari kamar, aku akhirnya mengeluarkan suara. “Nek.”

Nenek langsung berbalik. “Ya?”

“Apa ini di Kerajaan Matahari?” Suaraku nampaknya bergetar, namun Nenek kelihatannya tidak begitu menghiraukannya, masih tersenyum.

Tidak ada jawaban ya atau tidak yang keluar dari mulutnya. Tapi senyumnya melebar, seakan mencoba meyakinkanku akan sesuatu yang dia ucapkan.

“Nenek janji, kau akan aman, Alrisha. Sekarang ini rumahmu.” Kemudian Nenek pergi, menutup pintu kamar dan meninggalkanku sendiri.

Ini memang rumah. Ini rumah Nenek. Nenekku. Seorang penduduk Kerajaan Matahari. Meski berbahaya, aku rasa aku bisa aman. Yang Nenek ucapkan memperoleh kepercayaanku, walaupun aku tidak bisa percaya sepenuhnya.

ECLIPSE DIARY (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang