Suasana hati seorang Aqilla seperti pohon yang sedang menari-nari ketika terkena angin.
Dia merasa senang akhirnya mendapat jurusan yang dia inginkan. Mendapat nilai terbaik di SMP nya menjadi modal percaya diri bahwa dia pasti akan mendapat apa yang dia inginkan.
Secara otak gadis bernama Aqilla bisa terbilang pintar. Namun, Aqilla terkadang cemas kalau ia sampai tidak bisa mendapat apa yang dia inginkan. Tapi bukankah setiap kegagalan akan ada titik cerah yang bernama keberhasilan?
"X IPA 1. Pasti ini kelasnya," gumam Aqilla mendongak melihat papan kayu terukir nama kelas.
Aqilla melangkah santai memasuki kelas, tidak ada sedikit pun rasa cemas yang
menghinggapi gadis itu, padahal dirinya telat, pelajaran pun sudah dimulai. Tapi yang ia rasakan hanya rasa senang. Sudah itu saja.Aqilla mulai melangkah masuk tanpa ragu, "Assalamualaikum," salam Aqilla.
Guru yang sedang mengajar terpaksa menghentikan kegiatan belajar-mengajar, dan menoleh memandang murid yang tidak tahu diri datang saat matahari sudah hampir di pucuk kepala.
"Maaf, Bu, aku telat."
Guru itu memandang Aqilla dari rambut hingga ujung sepatu, "Kenapa bisa telat? Kamu ini murid baru, kalau jadi murid lama bagaimana? Apa ingin telat setiap hari seperti ini?!!" bentak guru itu, nafasnya naik turun.
Aqilla menghela nafas. "Bu, aku bangun kesiangan, jadinya aku telat. Tapi kalau ngga kesiangan pasti ngga akan telat kok. Maaf, Bu, aku janji ngga akan telat lagi, kalau pun sudah jadi murid lama juga ngga akan telat lagi."
Guru itu menghela nafas kasar, pemaparan jujur dan panjang lebar berhasil membuat kepalanya hampir pecah.
“Ya sudah, karena kamu sudah janji tidak akan telat lagi saya akan memperingan hukuman kamu. Biasanya saya akan kasih hukuman, lari memutari lapangan sebanyak 3 kali, tapi untuk kamu yang sudah janji tanpa saya suruh berjanji kamu harus berdiri di sini sampai pelajaran selesai!!” Tegas guru itu tanpa pengecualian.
Aqilla memajukan bibirnya, ini sih bukan memperingan, tapi memberatkan! Lebih baik dirinya lari memutari lapangan sebanyak 3 kali daripada berdiri depan kelas sampai pelajaran selesai, selain kakinya akan terasa pegal dia juga merasa malu menjadi bahan tontonan anak-anak satu kelas.
Aqilla bersumpah akan meneror guru sialan ini dengan melempari kerikil setiap jam pulang sekolah tiba. Aqilla tersadar, menggeleng kencang. Tidak boleh, tidak boleh nanti kamu kualat!
"Baik, Bu," pasrah Aqilla
****
Waktu merdeka untuk para pelajar hanya dua jam istirahat, dan jam pulang.
Kini Aqilla berada di kantin untuk menikmati waktu merdekanya, sekaligus memerdekakan para cacing di perutnya yang sudah meronta sejak satu jam yang lalu.
Jangan bilang, anak baru tidak bisa punya teman, buktinya dia tidak sendirian, kali ini ada beberapa orang yang suka rela menjadi temannya seusai dirinya di hukum. Hukuman membawa berkah.
Di lihat dari cara berteman mereka yang tidak baper saat salah satu dari mereka di ejek, sepertinya para teman baru Aqilla yang bernama Bagas, Aryo, Seli, dan Meli sudah berteman sejak SMP.
Mungkin mereka mengajak Aqilla untuk berteman agar mendapati wajah baru dalam pertemanan mereka.
"Lo mau makan apa, Wad?"
Aqilla mengerutkan kening, merasa tidak yakin kalau Bagas bertanya pada dirinya. Namun, arah pandangnya mengarah ke Aqilla.
"Bagas, tanya sama siapa sih? Di sini, kan ngga ada yang namanya Wad, apa perlu kita kenalan lagi?" tanya Aqilla merasa bingung.
"Heh! Lo lupa sama nama kita, Gas? Lo ngga lupa ingatan kan?" Aryo menggoyangkan bahu Bagas, takut-takut Bagas merasakan sakit kepala hebat.
"Wajdi maksud gue, nama belakang lo, Wajdi kan?" tanya Bagas pada Aqilla.
Aqilla menghela nafas, lalu memukul kepala Bagas menggunakan sendok, Aqilla tidak suka dirinya di panggil Wajdi. Nama itu terlalu kuno bagi dirinya, entah lah kenapa orang tuanya memberikan nama itu untuk dirinya.
Bagas mengusap kepalanya yang terasa sedikit sakit, "Sakit! Lo pikir sendok nggak berat apa? Besi ini woy!" ringis Bagas.
Mereka langsung menyemburkan tawanya, melihat sahabat kesakitan itu tontonan terlucu.
Namanya juga sahabat, mereka akan tertawa ketika melihat sahabatnya terluka.Pandangan mereka langsung teralihkan ke arah di mana seorang perempuan yang sedang menyatakan cinta di depan umum.
Memang benar kata lagu yang terdapat lirik 'Zaman sudah edan'. Bagaimana tidak edan di zaman sekarang ini, buktinya saja seorang perempuan yang lebih dahulu menyatakan cinta pada lelaki.
"Ka, aku suka sama kaka, aku juga sayang sama, ka Rayen. Kaka mau jadi pacar aku?" Ujar perempuan itu malu-malu.
Tidak ada pergerakan dari Rayen. "Kalau kaka nggak mau jadi pacar aku, nggak apa-apa kok. Tapi tolong terima jam ini ya, aku sengaja nabung untuk beli jam itu, karena aku ngga mau ngasih jam yang tidak bermerk ke kaka," lanjut perempuan itu.
Gadis berlesung pipit itu masih tampak tersenyum walau wajah lelaki di hadapannya berbanding terbalik.
Gadis yang diketahui bernama Zahra itu mulai menyodorkan jam tangan itu ke Rayen dan langsung di terima begitu saja. Zahra tambah melebarkan senyumnya, tapi hanya dalam satu kali hentakan Rayen menginjak jam tangan itu hingga hancur, senyuman itu berganti dengan air mata.
Selama ini dia matia-matian menabung hanya untuk membeli barang tersebut. Tapi dengan teganya Rayen menghancurkannya hanya dalam hitungan detik.
Dia tahu bahwa Rayen orang kaya, jadi dia tidak berniat membeli jam asal-asalan. Itu adalah jam mahal yang dia dapatkan dari hasil jerih payahnya. Yah untuk membeli jam tersebut Zahra harus bekerja lebih dulu.
"Udah gue terima jamnya, tapi rusak, gimana dong? Beliin lagi aja ya, yang lebih mahal biar gue lebih kasian sama kaum lemah yang makin kurus demi nabung buat beli ini," tutur Rayen sarkas sambil menaik-turunkan alisnya.
Zahra langsung berlari setelah menerima penolakan dari Rayen, sedangkan Rayen dia lebih memilih melanjutkan makan ketimbang mengejar Zahra untuk sekedar minta maaf.
Teman Rayen yang menyaksikan hal itu hanya bisa mendengkus kasar, mereka sudah kehabisan materi untuk menceramahi sesosok Rayen Budiman, sangkin frustasinya, salah satu dari mereka secara gamblang mengatakan kalau Rayen butuh di ruqyah.
Aqilla yang melihat kejadian memalukan itu mendadak merasa panas, dia segera bangkit dari tempat duduknya.
"Lah, lo mau kemana?" Tanya Seli.
"Mau nyari kerikil buat senjata balas dendam, di sekolah ini banyak kerikil, kan?" tanya Aqilla, kemudian berlari tanpa menunggu jawaban dari Seli.
Aryo, Bagas, Meli, dan Seli saling pandang sepeninggal Aqilla, dan kompak mengendikkan bahu.
"Mungkin Belanda masih menjajah Indonesia, jadi hanya orang yang kebanyakan micin yang bisa nyerang pakai senjata yang bernama kerikil," celetuk Bagas ngaco.
####
Apabila kalian menyukai part ini vote dan kalau tidak menyukai part ini bisa coment:)
Terima kasih untuk AnggiNr07 yang sudah membantu saya ketika saya kehilangan kata²:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wajdi
Teen FictionIni kisah dua sejoli yang bertemu bukan untuk saling berteman, melainkan ditakdirkan untuk menjadi musuh. Azka Aqilla Kirani Wajdi yang selalu membawa senjata berupa kerikil di dalam tasnya, tujuannya hanya satu, untuk membalas dendam pada orang gan...