Part 4

17 3 0
                                    


“Satu, dua, tiga, empat, lima. Kayaknya cukup.” Setelah sudah cukup menghitung dan mengambil kerikil Aqilla berdiri.
Kini gadis itu sedang berada di belakang perpustakaan untuk mencari senjata balas dendam, kerikil.

Aqilla mulai melangkah meninggalkan halaman belakang perpustakaan. Saat Aqilla melewati pohon beringin besar yang berada di belakang perpustakaan Aqilla mendengar suara isak tangis di balik pohon, pikirannya kini bercampur aduk antara cepat-cepat meninggalkan tempat ini atau menghampiri suara tersebut. Setahu dirinya tidak ada orang di sini, tapi kenapa tiba-tiba ada suara isak tangis? itu tanda tanya besar bagi Aqilla.

Akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri suara tersebut,
Masa bodoh kalaupun itu setan, ini siang mana mungkin ada setan, pikirnya.

Aqilla berjalan sangat pelan menghampiri pohon beringin besar itu, dia menengok ke belakang pohon, dugaannya benar suara tangis itu berasal dari seorang manusia bukan dari sesosok makhluk halus, buktinya saja kakinya napak ke tanah.

Aqilla bernapas lega sejujurnya dia sedikit takut, dia menghampiri orang tersebut dan ikut duduk disampingnya. Aqilla menatap miris orang yang sedang memeluk dirinya sendiri dan meneggelamkan kepalanya dilututnya, apa dia tidak mempunyai teman sampai memeluk dirinya sendiri?

“Hallo, kamu kenapa nangis?” tanya Aqilla.

Orang itu tidak menjawab pertanyaan Aqilla, mungkin dia tidak mendengarnya. Kedatangan Aqilla pun sepertinya dia tidak mengetahui, apakah orang yang sedang menangis mendadak menjadi budek?

Aqilla menarik napas untuk mengeluarkan suara cemreng nya. “KAMU KENAPA NANGIS DISINI?” teriaknya gemas.

Terkejut, kata yang pas untuk menggambarkan ekspresi orang tersebut, bagaimana tidak terkejut? Ia terjungkal kaget saat mendengar suara cempreng Aqilla, untung saja di belakang terdapat pohon kalau tidak mungkin ia akan jatuh terlentang.

“Kalo nanya yang sopan. Bisa?!” Zahra menghapus air mata yang membanjiri pipinya.

“Loh, kamu kan...?”

“Siapa? Cewek yang tidak tahu diri yang dengan terang terangan nembak cowok di depan umum, maksud lo?” Potong Zahra, bagi Zahra lebih baik ngomong apa adanya, toh dia emang cewek yang tidak tahu diri, seluruh sekolah pun sudah tahu termasuk Aqilla yang menyaksikannya langsung.

“Iyak, tapi justru kamu ini keren tau,” ujar Aqilla jujur.

“Keren? Apa maksud lo?” Ketus Zahra.

“Izzz kamu ini galak banget sih, kamu ini keren tahu nembak cowok duluan, di depan umum lagi.” Ujarnya bangga pada Zahra.

“Keren? Lo ngehina gue yak karena gue ditolak?”
Zahra menunduk. 

“Ngga, yahhh nangis lagi, kan aku jadi ikutan sedih,” ucap Aqilla, mengelus punggung Zahra.

“Gue ngga nangis.” Zahra nyengir, menutupi kesedihannya.

Zahra jadi merasa bersalah kepada Aqilla, dia sudah bersikap tidak ramah terhadap Aqilla padahal dia baik kelihatannya.

“Yakin ngga nangis?” tanya Aqilla memastikan.

“Ngga, ngomong-ngomong nama lo siapa?”

Aqilla menyodorkan tangannya yang langsung dibalas oleh Zahra.

“Aqilla, aku kelas 10. Kamu?”

“Gue Zahra. Eh, kok lo ngga panggil gue kaka sih? Gue ini kakak kelas loh.” Balasnya sewot sambil melepaskan tangannya.

Aqilla nyengir. “Abisnya aku ngga tau tuh,” Jawabnya jujur. “Kaka ngga takut disini sendirian?” lanjut Aqilla.

“Ngga, gue lagi sedih.”

Aqilla mengerutkan dahi. “Apa hubungannya dengan sedih? Biasanya orang sedih bakal cerita masalahnya sama orang yang dia percaya, tapi kok kaka malah kesini.” Aqilla mendongak, bergidig ngeri melihat pohon beringin ini.

“Kaka indigo yak? Kaka pasti lagi curhat sama makhluk halus disini, aku pernah denger kalo orang indigo bakal curhat ke temen dunia lainnya ketimbang sama temen dunia nyata.”

Zahra terkekeh mendengar pertanyaan konyol yang dilontarkan adik kelasnya ini.
“Lo denger dari mana kalau orang indigo lebih milih curhat sama temen makhluk astralnya? Alesannya apa?” tanya Zahra kepo.
“Aku denger dari tivi, alesannya mungkin temen dunia lainnya bisa lebih dipercaya kalau temen dunia nyata mulutnya kan kek ember.” Aqilla memonyongkan bibirnya 5 senti saat mengatakan kata"ember".

Zahra mengusap rambut Aqilla ”Pintar.”

Aqilla menepis halus tangan Zahra.
“Jadi kaka indigo?”

Zahra menggeleng dan tersenyum. Aqilla bernapas lega melihat Zahra yang tersenyum.

Sebenarnya dia sangat amat ingin bertanya kepada Zahra, tapi dia ingat ucapan sang mama 'kalau orang yang sedang sedih jangan langsung bertanya mengenai hal yang membuatnya sedih lebih baik buat dia tersenyum terlebih dahulu setelah sudah tenang dia pasti juga akan bercerita dengan sendirinya'.

“Ayok ikut aku ke kantin, pasti kaka belom makan kan?” ajak Aqilla.

Zahra mengangguk. Aqilla berdiri lalu mengulurkan tangan kepada Zahra yang langsung diterima oleh gadis berlesung pipit itu.

*****

Tidur di bawah pohon rindang sangat menyejukkan, walaupun hanya beralaskan kursi panjang yang berbahankan kayu itu tidak masalah bagi Rayen.

Justru tidurnya terllihat sangat nyaman.

PLAKKKK

Rayen terusik saat sesuatu terus-menerus mengenai kepala, dia terbangun dari tidurnya lalu terduduk. Rayen menegangi kepalanya yang terasa perih, dia menurunkan tangannya dan terdapat darah disana.

"Sialan." Umpat Rayen.

Rayen menunduk, dia melihat lima batu kerikil berukuran sedang, dia menggeram kesal.

Rayen menengok kanan-kiri. Kosong, tidak ada siapa-siapa di tempat ini, lalu siapa yang melakukan ini kepada Rayen?

Rayen mengepalkan tangannya kuat kuat, dia bangkit lalu berjalan meninggalkan taman sekolah dengan amarah yang memuncak.

Dia berjanji akan menemukan siapa pelakunya karena Rayen tidak suka tidurnya terganggu. Apalagi si pelaku sudah keterlaluan dengan melemparinya kerikil sampai dia berdarah.

Setelah kepergian Rayen, ternyata ada seseorang di balik pohon yang terlihat sangat puas karena aksinya telah berhasil.

“Yeayyy, berhasil.”

*****

Maap, up lama 😂

Tolong dikoreksi apabila ada kesalahan:*

      Terima kasih, semoga suka dengan cerita saya:*
           





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

 WajdiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang