Jangan. Lihat. Pizza. Itu. Tata.
Memang jahanam banget deh Pilar ini. Tahu saja kalau aku lagi diet. Akibat makan cheese burger tiga hari saja, skirt pencil dari LovellySaly-ku tidak bisa kukancingkan. Gimana kalau ditambah sebundar pizza ini? Ugh. Bisa-bisa gaun yang dibelikan Pilar tidak mampu menampung lemak akibat junkfood ini. Coba lihat bagaimana Pilar seperti kesurupan kuda lumping saat menarik sepotong pizzanya? Lelehan keju mozarella yang banyak banget langsung ikut tertarik menggiurkan. Mana dagingnya penuh banget lagi. Cuping hidungku tidak bisa diajak kompromi. Aromanya yang lezat seketika mengeroncongkan perutku. Lambung kosongku sedari pagi langsung berteriak-teriak: 'come to Mama, Pizza. Come to Mama.'
"Terus, rencana lo habis ini apa? Lo mau mencari Tian?" Sambil mengunyah dalam gigitan besar pizza tidak tahu diri itu, Pilar main menjilat-jilati jemarinya. Lalu, desahan pedas akibat saus sambal keluar dari bibir kehitamannya.
Ya ampun, aku tidak boleh lemah iman. Aku tidak boleh tergiur makanan jahat itu.
Alihkan pikiran, Ta. Alihkan pikiran. "Ya iya, lah, pasti. Kami kan belum sepakat putus." Pembahasan tentang trauma pernikahan Ibu itu sepakat kami tutup sebelum Pilar membawaku ke Plaza Indonesia. Selain kami tidak punya bukti apa-apa selain isak tangis, kami pun tidak tahu, harus ke mana kami mencari tahu. Dan, apa benar, jika aku tahu siapa Bokap setelahnya, aku bisa menyegerakan pernikahan? Ini masih abu-abu sih. Jadi, oke, mending tutup saja pembahasannya. "Hubungan kami cuma ditentang Ibu. Tapi kalau Tian mau gue ajak buat berjuang di hadapan Ibu sih, gue mau bergerak maju dengannya. Maksud gue, come on, kami bahkan sudah menjalani hubungan ini selama setahun kan, masa iya sih harus putus gitu saja karena Ibu? Mana kami udah bikin rencana perkawinan pun. Kan sayang banget, bikin sakit hati banget kalau mimpi itu harus gagal, Lar."
Necklace white gold dengan taburan diamond di gerai Bvlgari tadi amazing banget. Bagus banget. Mewah, elegan. Cocok kalau dipakai untuk acara-acara kantor. Malam penghargaan karyawan terbaik, misalnya. Bentuknya love, jadi simple gitu. Tidak kayak ibu-ibu pejabat yang bentuknya aneh-aneh. Sempat minta ke Pilar sih, tapi boro-boro aku menyampaikan maksud hatiku, mata sipitnya sudah keburu melotot kayak balon kebanyakan gas. Aku sampai takut bola mata sehitam arang miliknya bisa meletus beneran—pikiranku kusibukkan dengan hal lain agar aku tidak tergiur Pizza menggiurkan yang sedang disantap oleh Pilar.
"Kalau dia nggak mau lo ajak untuk berjuang?" Sialan Pilar, dia sekarang main menjilat-jilati mulut. Kemudian mendesah kepedesan lagi. Pasti enak banget.
"Nggak mungkin lah." Aku menukasnya tanpa berpikir dulu. "Apa artinya cinta kita kalau dari setahun ini aku seperti orang gila yang kesurupan setan saat gandrung dengannya?"
"Yah, bisa saja, kan, Blis. Maksud hati siapa yang tahu, coba?"
"Maksud lo?" Sekarang Pilar mencomot potongan pizza kedua? Dan tinggal dua pizza di loyang ini? Masa dia mau melahap semuanya, sih? Aku tidak dibagi gitu? Itu kan jahat.
"Ya siapa tahu Tian orangnya sepengecut itu buat memperjuangkan cinta kalian. Sekarang gini, kalau dia cinta sama lo, dia nggak mungkin main ninggalin lo tanpa kabar kayak gini, Blis. Ibu lo pasti nentang kalian dengan bahasa lembut, kan? Yah, lembut-lembut sarkas khas ibu lo aja gimana. Masa digituin saja dia langsung keok? Kalau dia cinta sih nggak mungkin main menyerah. Bahkan sampai memutus hubungan dengan lo."
"Nomor teleponnya hanya nggak aktif, itu saja. Main memutus hubungan dari mana, sih?"
"Tapi lo nggak bisa mengontaknya, kan?"
"Siapa tahu batrainya habis? Siapa tahu ponselnya mati?"
"Apa iya selama ini? Sampai ganti hari, Tata? Gue tahu, Tian orangnya pendiam. Tapi dia bukan orang katrok yang nggak tahu apa gunanya powerbank. Dia juga tinggal di Jakarta, bukan di hutan belantara yang nggak ada individu lain untuk dipinjami charger, misalnya kalau memang batrai ponselnya habis. Akan ada banyak cara. Kalau dia cinta sama lo, Blis, semati apa pun ponselnya, dia akan cari cara untuk menghubungi lo. Mencari cara untuk memberi kabar buat lo, dan nggak membiarkan lo terkatung-katung kayak gini. Itu kalau dia cinta. Kalau dia nggak cinta, gue nggak tahu lagi deh. Lagian, gue dari awal memang nggak suka sih lo jalan sama dia. Dari pengamatan gue, dia kayak yang cuma ngebuat lo pelampiasan aja. Nggak lebih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kebelet Kawin
General FictionBagi perempuan lain, pernikahan adalah sebuah impian, cita-cita untuk membangun rumah tangga dengan laki-laki yang dicintai dan mencintainya. Memiliki anak-anak menggemaskan untuk meneruskan garis keturunan. Tapi, tidak dengan Semesta. Bagi perempua...