Berlin. Germany ㅡ 2O17
daerah kecil di ujung kota berlin begitu padat memamerkan langit malamnya yang akan segera datang. orang-orang berhamburan memenuhi persimpangan jalan raya. tempatnya orang berekreasi, tempatnya orang memantaskan diri, terperanjat akan kegembiraan dan kesedihan. mereka dengan perasaannya, mereka dengan watak serta segala sifat, bersama tujuan yang sama dengan mereka semua yang berbeda-beda, bahkan untuk hidup tentram di dunia ciptaan yang mulia tentu mereka lakukan dengan ribuan caraㅡ dunianya sebagian manusia yang membusuk secara merona.
selasa jauh dari ekspektasi, manusia-manusia munafik melangkah pulang tak beraturan memijaki jalanan trotoar secara berhamburan kesana kemari, tidak sabaran.
entah yang berseragam rapi, berdasi, atau yang masa bodoh terhadap apa profesinya dan apa pakaiannya. mereka memasang beragam raut wajah, masih menampakkan kepribadian kedua, merias diri, menyembunyikan sifat asli.
senyum terpaksa, senyuman biasa saja, dan senyuman manis bersahaja. siapa yang tahu mayoritas orang berhati ganda?
tidak padan jauh dari mereka, manusia yang tidak tahu diri pada sesamaㅡrupanya cuaca pun sering sekali menipu jua. jadi, ini hanya mendung saja atau bagaimana? awan di atas sana terlalu memamerkan warna abu, memang dibaliknya dunia sedang mendukung bumi raya supaya suasana selasa dibuat murung mengakhiri hari.
klakson kendaraan terus terdengar saut menyaut satu sama lain, bertengkar, tidak mau mengalah. hiruk pikuk suara orang tergesa-gesa yang luar biasa berisiknya, mengganggu telinga, selalu terjadi, terjadi setiap hari. tapi untuk hari ini, mereka takut kehujanan. mereka bungkam. tidak terdengar orang mengobrol sama sekali, hanya suara ketukan alas kaki. banyak yang berlarian bersiap mencapai tempat meneduh atau berniat untuk menobros hujan nanti. ini masih pukul setengah lima sore, usaha yang didapat cuma harap-harap cemas supaya tidak basah kuyup ketika sampai di rumah, semoga.
melongok ke atas, mereka pasrah, kelabu sekali. sebab mengumpat pada tuhan pun tiada guna cuma menambah dosa. menerima, bahwa hujan yang renyai katanya adalah sebuah berkah.
"WOI ANJING!" menyela keramaian orang dewasa dengan gaya sok sibuknya di jalan kota besar, sedang disisi lain di jalanan kota kecil beberapa siswa kini tengah berboros suara meneriaki remaja seumurannya begitu ricuh sampai berlarian terlalu jauh mengejarnya.
ia belum minat menyerah, padahal nafasnya telah memburu menandakannya sudah terengah-engah.
yang dikejarnya, bukan remaja tampan rupawan hidung mancung idaman wanita. bukan laki-laki berbalut kaos gradakan dengan jeans hitam robek preman muda. bukan pula pria nelangsa dengan segala hutang-hutangnya.
melainkan seorang laki-laki berpakaian hoodie abu tua dengan nametag di atas dada sambil menggendong tas penuh buku-buku dan sejenisnya. ia terhitung masih sangat cepat dalam berlari menghindari kejaran, tungkai lihai yang lincah menabraki pejalan lain, berlari melawan arah sembari mencari tempat sembunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
under the moon
Ficción General. . .˚ ft. 최연준 malam sabit dunia menyapa tengok gadis jelita disana dengan segala kemestaannya yang nyata ©JUSTOURPLACE, 2019