Red's Map

108 11 34
                                    

Hidup mengajarkan banyak pilihan
kita bisa memilih jalan manapun yang kita mau. Berada di zona nyaman atau keluar dari zona nyaman. Dan aku, memilih keluar untuk berjuang.

🌼🌼🌼

Terlewat sudah satu hari ia menjadi seorang pengangguran.

Hari ini adalah hari bahagianya para pekerja karena esok tak perlu membuka mata di tengah sejuknya udara subuh yang menusuk tulang dan harus melewati kemacetan sepanjang perjalanan. Karena hari ini adalah hari terakhir pekerja bagi yang bekerja lima hari dalam sepekan.

Namun, lain halnya dengan pengangguran yang  begitu berwalang hati dengan segala pengharapan. Meskipun besar kemungkinan hari ini akan sepi lowongan seperti kata temannya namun tak menghalanginya untuk terus berusaha melangkah ke tempat tersebut.

“Erin … Erin ....”

Merasa dipanggil ia menghentikan langkahnya sejenak. Sepertinya  suara tersebut berasal dari  arah belakang, ia putar kepalanya dan membalikkan badan ternyata benar orang itu memanggilnya.

“Loh, Mba!!!” katanya setelah mengetahui ternyata yang memanggilnya adalah Febi.

“Mba kok lari-larian gitu, kenapa?”

“Huft … ad … huft … ada …huft … Lo … huft ….”

“Udah Mba, Mba tenang dulu, tarik napas dulu,” ia mengintruksikan Febi untuk menenangkan diri, setelah merasa baikan barulah menanyakan kembali.

“Udah, Mba mau ngomong apa tadi?”

“Kita udah telat.”

“Maksudnya?”

“Hari ini ada lowongan di CC, PT. Flextronics buka.”

“Ha, beneran Mba?”

“Udah, cepetan lari,” katanya dengan menarik lengan Erin untuk mengikutinya berlari.

Sampai disana mereka temukan orang-orang yang berdesakan sambil menyodorkan map merah bahkan ada juga yang berlarian memperpendek jarak ke tempat tersebut seperti yang sedang mereka lakukan saat ini.

Ada beberapa map ditangan para pengambil lamaran tersebut. Saat Erinka dan Febi hendak menyodorkan lamaran ditangannya seketika bapak yang memegang toa mengatakan.

“Sudah, sudah, lowongan hari ini kami tutup.”

Huuuuu ...
sorakan gemuruh para pengunjung CC.

Erinka dan Febi saling memandang tanpa kata dengan mimik manik di pelupuk mata menatap kosong ke arah para kerumunan tersebut. Ada guratan kecewa yang tidak bisa mereka sembunyikan.
Bapak yang mengambil lamaran melenggang begitu saja dari area tersebut, membuat para pengunjung CC harus menempelkan kembali pantatnya di tempat mereka masing-masing.

Erinka dan Febi memilih meluruskan urat kakinya di pojokan jalanan di bawah pohon rindang dengan angin sepoi-sepoi sambil menikmati hijaunya pemandangan di depan mereka saat ini. Terdapat sebuah lapangan sepak bola di depannya.

Disanalah mereka mengambil tempat ternyamannya, seenggaknya angin bisa menerbangkan rasa kekecewaan bersamaan dengan dedaunan yang luruh dari tangkainya dan muncul sejuta harapan baru seperti pucuk daun yang baru tumbuh melalui proses panjang tentunya dengan kerja keras dan bersabar dalam menjalaninya.

“Mba, udah sepi, gada lagi yang datang kesini Mba!!!”

“Kita tunggu aja sampe siang Rin, mana tau ada,” balas Febi dengan nada pelan sedikit lemas.

ErinkaWhere stories live. Discover now