Begitu si Tanpa Mahkota berhasil memetik buah itu, lautan tiba-tiba laksana air mendidih. Buih menyembur di sekeliling kami. Pintu portal menuju Klan Komet Minor kapan pun siap terbuka. Dan kami hanya bisa menonton si Tanpa Mahkota, terikat jaring perak, tidak bisa melakukan apa pun, tidak bisa mencegahnya.
"Dasar penipu!" Ali meraung marah sekali.
Seli terisak menangis. Aku juga ikut menangis.
Sungguh kisah ini seperti roda. Sesaat kami berada di atas, sesaat kemudian kami berada di bawah, tergilas ke jalanan. Sesaat lalu kami dipenuhi semangat petualangan yang menggebu-gebu—akhirnya berhasil menemukan pulau dengan tumbuhan aneh itu—sesaat kemudian posisi kami terbanting jatuh dalam sekali. Portal menuju Klan Komet Minor tak tergapai oleh tangan.
Petualangan ini sama sekali belum berakhir. Dan harus menunggu lagi....
Bersambung ke KOMET MINOR
Setelah kalimat di atas tertulis, seketika kami semua membeku. Bukan membeku dalam artian menjadi es, tetapi membeku dalam artian tidak bisa bergerak. Semua mendadak diam, bahkan hembusan angin dan ombak laut pun ikut diam. Waktu seakan terhenti.
Air mataku dan Seli terhenti, tidak jadi menyentuh tanah. Ali yang berusaha membebaskan diri dari jaring perak juga terhenti, tidak bisa bergerak. Bahkan tangan si Tanpa Mahkota yang habis memetik buah itu pun terhenti.
Hanya bagian wajahku saja yang masih bisa bergerak—bekedip, melirik, bernapas, dan berbicara. Sepertinya, Seli, Ali, dan si Tanpa Mahkota juga begitu.
"Mengapa kita tidak bisa bergerak?" Seli bertanya, tidak mengerti.
"Karena penulis sudah menghentikan cerita di sini." Ali menjawab. Aku melirik Ali, wajahnya sudah terlihat lebih santai.
"Sampai kapan kita hanya bisa diam seperti ini?" Seli terus bertanya.
"Sampai Komet Minor keluar, Seli. Dan itu masih lama." Ali menjelaskan.
"Jadi, kita harus menunggu selama itu?" tanya Seli, lagi.
"Yeah, aku tahu menunggu itu membosankan. Penulis novel ini tega sekali, menghentikan cerita di saat keadaan kita seperti ini, terikat jaring perak. Kasihan sekali kita!" Ali mendengus kesal.
"Tidak boleh bilang seperti itu, Ali!" Akhirnya, aku ikut berbicara. "Bagaimana pun juga penulis novel ini yang menciptakan kita, tanpa beliau kita tidak akan ada," jelasku.
"Habisnya aku kesal, Ra. Penulis menuliskan aku Ali si biang kerok, rambut berantakan, banyak ketombe, jarang mandi!" Ali berseru protes.
"Setidaknya penulis membuatmu Ali si genius, bisa melakukan apa saja, dan sahabat terbaikku segalaksi bima sakti." Aku tersenyum sambil melirik Ali.
"Mengagumkan sekali, Ra! Kamu mengakui kalau aku genius, bisa melakukan apa saja, dan sahabat terbaikmu segalaksi bima sakti." Ali menyeringai lebar.
Seli tertawa lepas mendengar Ali.
Astaga! Maksudku bukan begitu. Aku yakin sekarang wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus.
"Sebenarnya, menurutku bukan kita yang paling kasihan." Seli mendadak berkata serius.
"Lantas siapa yang paling kasihan?" Aku bertanya, melirik Seli.
"Pembaca." Seli menjawab. "Mereka sudah menunggu berkali-kali setiap tahun. Menunggu novel selanjutnya keluar selama satu tahun, padahal sebagian besar hanya membaca novel ini dalam sehari."
Aku kagum dengan perkataan Seli. Di antara kami bertiga, Seli yang paling mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri.
"Aku tidak setuju. Pembaca tidak perlu dikasihani, mereka pasti sedang bersantai di rumah atau di mana pun itu, bisa duduk di kursi atau bahkan tiduran di atas kasur yang empuk sambil enak-enak membaca. Sedangkan kita? Terikat jaring perak, tidak bisa bergerak." Ali mengeluh panjang.
"Jangan bilang begitu, Ali. Pembaca sudah berbaik hati meluangkan waktu mereka untuk membaca kisah kita." Aku menasehati Ali.
"Yeah, sebenarnya ada untungnya juga kita tidak bisa bergerak dan terjebak di sini." Ali berkata, membuatku bingung. Bukankah tadi dia yang paling benci terjebak oleh jaring perak?
"Apa keuntungan itu, Ali?" Seli bertanya.
"Pertama, si penipu itu akan tertenti sebelum portal Komet Minor terbuka, semoga saja portal itu tidak tebuka untuknya—"
"Kamu membicarakanku, Tuan Ali?" Si Tanpa Mahkota yang dari tadi hanya diam mendengar percakapan kami mulai bicara.
"Iya, tidak ada penipu di sini selain kau!" Ali menjawab ketus.
"Asal kalian tahu, aku akan berhasil membuka portal menuju Klan Komet Minor setelah—"
"Diam kau, dasar penipu!" Ali memotong kalimat si Tanpa Mahkota.
"Baiklah, aku akan diam, Tuan Ali. Setidaknya dengan diam aku bisa menebus kebaikan kalian yang telah membantuku menemukan pulau ini. Silakan kalian lanjutkan percakapannya." Si Tanpa Mahkota berbicara sopan, penuh rasa hormat.
"Jadi, keuntungan yang selanjutnya apa?" Seli bertanya penasaran.
"Kedua, keuntungan kita terjebak dan tidak bisa bergerak adalah... bisa bersama sahabat-sahabat terbaik lebih lama." Ali tersenyum tulus. Aku dan Seli ikut tersenyum mendengarnya.
Lihatlah, Ali si biang kerok yang jarang mandi dan rambutnya berantakan, juga bisa berkata tulus.
Ali benar, setidaknya kami terjebak bersama sahabat. Menunggu novel Komet Minor keluar bersama sahabat-sahabat terbaik. Karena di atas segalanya, persahabatanku dengan Seli dan Ali adalah hal yang terpenting.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Raib Seli dan Ali
Fiksi PenggemarBosan menunggu novel serial Bumi yang selanjutnya terbit? Kangen sama aku, Seli, dan Ali? Aku sarankan untuk membaca fanfiction ini. Cerita pendek tentang keseharian kami yang siap menghalau rasa bosanmu. Namaku Raib, aku bisa menghilang. Seli, tema...