• • •
"Kentaaa! Di panggil Bundaa.."
Gue yang lagi asik belajar mencibir mendengar teriakkan Kak Kenni di depan pintu gue. Gue nggak mengindahkan teriakan tersebut dan memilih langsung bangkit dari duduk gue lalu berjalan ke arah pintu dengan malas.
Saat membuka pintu, wajah Kak Kenni langsung menunjukkan raut penasaran. Gue yang melihat itu memicing curiga.
"Ngapain ngeliatin gue kayak gitu?" Tanya gue. Kak Kenni cuma menggeleng pelan dengan senyum di bibirnya. Dan itu membuat gue tambah curiga.
"Muka lo berkata lain. Cepetan bilang, ada apa, Kak?" Ujar gue.
"Ehmm.. Gue denger cowok yang jadi pengajar lo itu ganteng ya? Siapa namanya, Wira?" Ujar Kak Kenni yang di jawab sendiri olehnya. Gue cuma memutar kedua mata gue mendengarnya.
"Kalo udah tau ngapain nanya. Udah ah, topiknya nggak penting. Bunda dimana?" Tanya gue mengabaikan raut sebal Kak Kenni dan langsung berjalan mendahuluinya.
"Di dapur." Ucap Kak Kenni setalah beberapa langkah gue jauh darinya. Gue cuma mengangguk tanpa menoleh ke arahnya. Lalu dengan langkah cepat menuju ke arah dapur.
Setelah melewati beberapa rintangan untuk menuju dapur. Akhirnya gue sampe juga dengan Bunda yang lagi ngerapiin sesuatu di atas meja. Tanpa basa-basi, gue langsung menghampiri Bunda dan duduk di kursi yang menatap langsung ke arah Bunda.
"Ada apa Bun manggil Kenta?" Tanya gue sambil menangkup wajah gue.
Bunda menatap gue sebentar lalu beralih kembali ke rantang yang masih di rapikannya.
Gue langsung ngeh saat melihat rantang tersebut dan berdiri seketika.
"Kalo di suruh kerumah Mama buat nganter itu. Aku nggak mau. Suruh Kak Kenni aja." Ujar gue dan langsung berbalik tanpa menunggu respon Bunda. Namun pergerakan gue berhenti setelah tubuh Kak Kenni tiba-tiba ada di hadapan gue.
Dia menaruh kedua tangannya di dada dan menatap gue nggak terima.
"Enak aja. Ini giliran lo yang nganter. Kemarin gue udah, lagian kenapa sih lo gamau ke rumah Mama? Karena Zeno?" Ujar Kak Kenni. Gue cuma diem dan memasang muka bete.
"Tuh kan, Bun. Kenta selalu gitu. Padahal Mama baik loh, masa cuma gara-gara musuhan sama Zeno dia nggak mau main kesana. Lagian kan, cuma nganter makanan doang." Ujar Kak Kenni yang sukses membuat gue melotot ke arahnya.
Bukan karena apa. Bunda ataupun Mama nggak tau kalo gue sama Zeno tuh musuhan dari awal ketemu sampe sekarang. Gue sama Zeno selalu pura-pura temenan kalo di depan mereka. Dan dengan gamblangnya Kak Kenni membongkar semua itu. Sialan.
"Musuhan? Maksudnya?"
Tuh kan. Bunda nanyain.
Gue menatap Kak Kenni kesal yang di balasnya dengan juluran lidahnya. Gue beralih ke arah Bunda dan senyum ke arahnya.
"Kamu sama Zeno musuhan?" Tanya Bunda.
Gue nggak langsung ngejawab dan langsung menghampiri Bunda.
"Nggak kok, Bun. Aku sama Zeno sahabatan. Malah saking deketnya, kita di sangka pacaran loh di sekolah." Ujar gue dengan nada riang untuk memastikan raut penasaran Bunda.
"Tapi tadi Kak Kenni bilang kalian musuhan. Yang mana yang bener, nih?" Ujar Bunda menatap gue dan Kak Kenni bergantian.
Gue yang turut menatap wajah Kak Kenni segera mengambil alih rantang yang ada di tangan Bunda setelah melihat gerak-gerik Kak Kenni yang hendak ingin berucap sesuatu.
Gue segera mendahuluinya.
"Aku yang bener, Bun. Liat nih, aku bakal anter ini ke rumah Mama. Kalo perlu langsung ke kamarnya Zeno. Bunda bisa liat dari kamar aku kalo nggak percaya." Ujar gue dan langsung ngibrit gitu aja tanpa mendengar terlebih dahulu apa yang akan Bunda ucapkan.
Gue cukup yakin. Pasti Bunda sama Kak Kenni langsung ke kamar gue untuk memastikan apa yang gue ucapin tadi.
Gue jadi nyesel milih kamar disitu.
Awalnya gue nggak tau kalo balkon kamar gue bakal nempel sama balkon kamar milik Zeno. Dan sumpah demi apapun. Gue selalu ke ganggu saat mau tidur gegara Zeno yang sering muter musik gede dengan pintu balkon yang di buka.
Gue terkadang merasa kalo dia itu sengaja ngelakuin itu. Tapi apa lah gue, cuma bisa ngelempar buku tulis ke kamarnya dengan catatan untuk menghentikkan musik yang di putarnya.
Tapi emang dasarnya dia manusia biadap.
Dia bukannya menghentikkan musiknya, dan malah memutar musik itu dengan volume full. Dan alhasil, gue kerumah dia dan bilang ke Mama atas kelakuannya. Setelah itu baru dia nurut dan berhentiin musiknya.
Gue menghela napas mengingat kejadian tersebut. Gue memilih untuk fokus berjalan sambil menenteng rantang milik Bunda dan memasuki gerbang rumah Zeno setelah terlebih dahulu menyapa satpam yang lagi menjaga.
Gue langsung masuk gitu aja tanpa mengetuk pintu ataupun ngucap salam terlebih dulu. Bukannya gue nggak sopan. Tapi Mama yang nyuruh untuk menganggap ini rumah sendiri, dan ya, gue di suruh manggil dia Mama daripada Tante. Entah kenapa. Tapi gue cuma nurut dan terbiasa hingga sekarang.
Gue berhenti setelah melihat Mama sedang berdiri di ruang tamu sambil sebelah tangannya menggenggam hp. Dia beralih dari menatap hpnya ke arah gue. Dan saat itu juga dia tersenyum dan langsung menghampiri gue.
"Eh ada Kenta. Tumben kesini. Biasanya harus Mama undang dulu baru mau." Ujarnya, gue cuma nyengir menanggapinya.
Beliau memerhatikan gue hingga akhirnya matanya menangkap rantang yang ada di tangan gue.
"Itu dari Bunda?" Tanyanya sambil nunjuk rantang yang gue pegang.
Gue ngangguk.
"Ini Ma, Bunda bikin sesuatu. Kenta nggak tau apa. Tapi yang pasti bukan racun." Ujar gue lalu terkekeh pelan.
Mama cuma menggeleng pelan, lalu meraih rantang yang gue sodorkan ke arahnya. Setelah itu dia berbalik dan berjalan ke arah dapur. Gue yang melihat itu langsung mengikutinya dari belakang.
"Kenta kalo mau minum ambil sendiri ya. Mama mau nyicipin makanan dari Bundamu dulu, keliatannya enak, nih." Ujarnya.
Gue menggeleng, "Aku langsung ke kamarnya Zeno aja deh, Ma. Zeno ada di kamar, kan?" Tanya gue ragu. Karena seingat gue, Zeno bilang bakalan kencan hari ini.
Namun keraguan langsung segera terjawab setelah anggukan Mama tertangkap oleh mata gue. Melihat itu, gue langsung berbalik dan berlari menuju tangga lalu menaikinya untuk ke kamar Zeno.
Dengan perkiraan gue di jalan tadi. Pasti Bunda sama Kak Kenni lagi ada di kamar gue untuk memastikan kebeneran yang gue ucapin tadi.
Setelah sampai tepat di depan pintu kamar Zeno. Tanpa berpikir panjang atau ngetuk pintu dulu. Gue langsung memutar knop pintu dan membukanya dengan gerakan cepat. Namun gue langsung menyesali hal yang gue perbuat.
Gue sukses terbengong seperti orang bego menatap melihat apa yang ada di hadapan gue saat ini.
Disana...terdapat Zeno dengan tubuh polos tanpa sehelai benang pun sedang melakukan gerakan maju-mundur di bagian vitalnya.
"OH SHIT!!" Teriaknya setelah menyadari kehadiran gue.
Gue yang mendengar teriakannya langsung terkejut dan dengan otomatis gue berbalik dan menutup pintu dengan bunyi gebrakan kencang di sana.
Gue nggak peduli, gue segera berlari menjauh dari area kamar Zeno dan menuruni anak tangga cepat. Setelah sampai di depan pekarangan rumah gue berhenti dengan napas ngos-ngosan.
"T-tadi gue ngeliat apa?" Tanya gue pada diri sendiri sambil memegang kedua pipi gue.
• • •
KAMU SEDANG MEMBACA
My Enemy [END]
General FictionIni semua tentang gue dan musuh gue yang mana dia adalah tetangga gue sekaligus satu sekolah sama gue. ~