• • •
Gue masih bergeming dan menatap kelingking Zeno di depan gue dengan sebelah alis terangkat. Setelah itu gue menghela berat dan menatapnya jengah.
"Gue masih nggak ngerti maksud lo apa. Baikan seperti apa yang lo maksud? Ini bukan sesuatu rencana busuk yang lagi lo usahain kan?" Ujar gue memastikan, karena ini bukanlah hal yang gue harapkan dari Zeno.
Zeno menggeleng mengembalikan tangannya dari hadapan gue lalu ikut menghela napas seperti yang gue lakukan.
"Oke, gue nggak bakal basa-basi. Gue pengen mulai sekarang kita temenan. Seperti yang gue ucapkan sama Bunda, gue bakal lindungi lo sebagai teman dimana pun lo berada, jadi dengan begitu nggak ada lagi alasan buat lo untuk bilang 'kita nggak sedeket itu buat ngelakuin ini'. Cukup sampai disini aja lo ngomong gitu. Jujur gue risih." Ujarnya, gue mengerinyit bingung.
"Kenapa risih? Kita kan emang nggak sedeket itu. Selama ini emang pernah namanya kita jalan bareng sampe ngomong lama kayak gini? Nggak kan."ujar gue yang di balas dengan desisannya.
"Makanya itu, mulai sekarang gue mau memperbaikinya. Gue punya tujuan untuk ngelakuin ini." Ujarnya. Dan bukannya mendapatkan hal yang bisa gue mengerti, dia malah mengasih jawaban yang bikin gue tambah bingung
"Tujuan apa lagi? Lo ngajak gue temenan karena ada niat terselubung?"
"Iya."
"Tuh kan. Nggak ah! Gue nggak mau temenan sama lo kalo ada niat terselubung kayak gitu. Ntar niat lo jahat lagi. Udah ah sana, gue masih mau menikmati suasana disini." Ujar gue akhirnya, lalu berbalik membelakangi Zeno menghiraukannya dan kembali memejamkan mata gue untuk berusaha tenang.
Tapi gue nggak bisa tenang. Hati gue keburu mencelos dan tersentuh dengan kata-kata Zeno barusan. Jantung gue berdetak lebih cepat mencerna satu demi satu kalimat yang dia ucapin dengan serius. Gue nggak tau kenapa gue bisa kayak gini.
"Arggh! Ok, gue mau jadi temen lo bukan sekedar mau ngelindungin seperti yang gue janjikan. Gue mau deket sama elo karena gue juga punya niat untuk memastikan sesuatu tentang perasaan gue." Ujar Zeno tiba-tiba yang ngebuat gue langsung membuka mata gue seketika.
Gue berbalik dan menatapnya yang kini terlihat seperti orang frustasi. Melihat itu hati gue mencelos dan tanpa sadar gue maju satu langkah mendekat ke arahnya.
"Zen." Panggil gue, dia menoleh dan menampilkan manik matanya yang terlihat berkaca-kaca. Dan itu menambah hati gue yang udah kacau sedari tadi.
"L-lo punya perasaan sama gue?" Tanya gue pelan dan berkesan hati-hati.
"Gue belum yakin. Awalnya gue cuma suka buat jailin lo dan selalu berada dekat lo. Gue pikir itu semua karena emang gue punya niat untuk mengganggu hidup lo. Tapi semakin kesini, gue semakin ngerasa kalo ngejailin lo itu lebih dari sekedar kewajiban. Dan berada selalu di sisi lo itu adalah sebuah keharusan bagi gue."
"Gue bingung, gue bertanya-tanya kenapa gue kayak gini. Kalo iya gue punya perasaan sama lo. Mulut gue nggak mungkin selalu mengatakan hal jahat yang mungkin aja bakal bikin lo sakit hati. Tapi waktu hari itu, waktu kejadian di rumah dia. Gue merasakan amarah yang begitu mendalam, bahkan gue bisa ngebunuh dia kalo aja lo nggak ngelerai."
"Dan tadi malam, gue ngeliat ada tanda merah di leher lo. Itu bekas cupangan dari si bangsat itu kan? Lo tau apa yang mau gue lakukan malam itu? Gue pengen menghapus dan menggantikan tanda itu menjadi milik gue. Betapa gilanya itu kan?" Jelasnya, ia berhenti setelah gue berkejap menatapnya nggak percaya.
I-ini Zeno kan? Zeno yang gue kenal?
Zeno yang selalu ngomong judes, bersikap jutek dan selalu ada kata buat bikin hati gue sakit. Yang selalu ada saja ide buat ngejailin gue dan berakhir muak untuk ketemu bahkan tatapan muka sama dia.
Tapi ini? Dia kenapa? Dia bercanda kan?
"Ini lelucon kan? Semua yang lo omongin itu nggak bener kan? Sejak kapan seorang Zeno yang gue kenal selama 5 tahun dengan sikap yang seolah-olah membenci gue seumur hidup jadi pandai berkata-kata yang ngebuat hati gue mencelos kayak gini? Ini semua sandiwara kan? Lo ngerjain gue kan?" Tanya gue yang udah nggak tau harus ngapain lagi setelah mendengar semua penuturan Zeno yang nggak terduga oleh gue itu.
Namun jawaban yang gue dapet adalah gelengan kepalanya.
"Nggak, ini serius. Semua yang gue ucapin serius. Gue tau ini mendadak, gue cuma nggak mau lagi seseorang menyentuh lo tanpa seizin gue seperti yang waktu itu. Tapi di saat gue ingin selalu ada di samping lo selalu bilang kalimat yang bikin hati gue kesel dan pengen nyingkirin pikiran itu dari otak lo. Dan soal pertanyaan lo tentang semalem yang gue tidur kamar lo itu bener atau nggak."
"Itu bener, semalem bukan yang pertama kalinya. Gue selalu tidur kamar lo kurang dari seminggu ini. Lo tau apa yang gue rasain? Gue merasa bahagia dan seneng bisa tidur bersampingan dengan lo." Ujarnya, yang lagi-lagi buat gue terkesiap dan berunjung membuat gue terduduk di atas rumput kecil di dekat danau.
"Ken?" ucap Zeno lalu membantu gue untuk berdiri. Dia menarik tubuh gue dan dengan gerakan cepat tubuh gue di peluknya erat.
"Maafin gue kalo kata-kata gue barusan buat lo kaget dan belum bisa mencernanya secara langsung. Seperti yang gue bilang, gue tau ini mendadak, tapi gue berharap lo mengerti dan mau menerima apa yang gue harapkan tadi." Bisiknya di telinga gue, lalu setelah itu dia mengelus punggung gue dan menyandarkan dagunya di bahu gue.
Gue cuma terdiam menerima semua perbuatan Zeno sambil mencerna apa yang baru aja terjadi. Tapi nggak bisa, ini semua terlalu tiba-tiba. Gue bingung dan nggak tau harus ngapain. Yang ada di otak gue saat ini adalah pulang dan membaringkan tubuh gue untuk istirahat karena merasa lelah dengan pengakuan yang baru saja di lakukan Zeno.
"Gue mau pulang." ujar gue akhirnya. Setelah itu pelukan Zeno mengendur hingga terlepas dan kini kami saling bertatapan.
"Pulang?" tanyanya.
"Gue butuh waktu buat mikir. Plis ngertiin gue. Ini terlalu tiba-tiba bagi gue. Gue nggak habis pikir sama pengakuan lo barusan. Makanya kasih gue waktu sampe gue ngerti untuk memenuhi harapan lo itu. Karena mungkin juga gue merasakan hal yang sama dengan lo." Ujar gue.
Zeno menghela napas, lalu menepuk bahu gue pelan.
"Ya, gue ngerti. Ayok, kita pulang. Gue yakin lo pasti habis kena heart attack." ucapnya, gue nggak ngebalas dan cuma berdeham.
Setelah itu dia meraih tangan gue dan menggenggamnya erat. Lalu dengan sekali hentakan pelan, dia menarik tangan gue menjauh dari arah danau yang seharusnya masih gue nikmati suasana segar dan nyaman itu.
Tapi untuk kali ini gue cuma bisa menikmatinya sebentar. Karena pengakuan Zeno sungguh ngebuat gue mengalami kebodohan tiba-tiba karena merasa semua pengakuan Zeno sangatlah mustahil.
"Udah jangan di pikirin dulu. Kita mau jalan. Lo jangan ngelamun, ya. Ayok naik." ujar Zeno lalu menyuruh gue untuk naik ke motornya
Gue menurut dan tanpa ngomong lagi gue naik di belakang Zeno dan berpegang erat dengan jok motor.
"Peluk gue aja. Gue nggak bakal bilang jijik lagi, kok." Ujar Zeno lalu tanpa seizin gue dia meraih tangan gue dan melingkarkannya di pinggangnya.
"Kalo gini, gue udah merasa lo aman di belakang gue." ujarnya lagi, gue cuma berdeham dan dengan gerakan pelan menempelkan kepala gue di punggungnya.
Setelah itu motorpun berjalan menjauh meninggalkan danau yang nggak gue tau dimana jalan sebenarnya.
• • •
KAMU SEDANG MEMBACA
My Enemy [END]
General FictionIni semua tentang gue dan musuh gue yang mana dia adalah tetangga gue sekaligus satu sekolah sama gue. ~