4. Obrolan Malam Hari

41 16 17
                                    

Cinta adalah caraku bercerita tentang dirimu,caraku menatap kepergianmu dan caraku tersenyum saat menatap indah wajahmu

~EdgarAM~
-----------
"Berhenti di depan, Pak," kata Keisya, ketika tempat tujuannya sudah dekat.

Tak lama, angkot yang ditumpanginya menepi ke sisi jalan, kemudian berhenti di depan kawasan kompleks perumahan elite.

Keisya turun dari angkot, mengeluargan lembar uang dari saku kemejanya dan menyerahkan uang tersebut ke sopir.

"Adik tinggal di perumahan elite ini?" tanya si sopir tampak terkejut, matanya memindai penampilan Keisya, lalu ke arah gerbang kompleks perumahan.

Bukan hanya sopir itu saja, para penumpang di atas angkot juga ikut melongokkan kepala. Terlihat jelas mereka semua penasaran dengan sosok yang baru saja satu angkot dengan mereka.

Keisya tersenyum salah tingkah dan membalas, "Iya, Pak."

Ini adalah kali pertama Keisya naik angkot. Biasanya, ketika berangkat ke sekolah Keisya diantar oleh sopirnya sampai di halte yang jaraknya lumayan jauh dari area kompleks perumahannya. Lalu di sana dia naik Bus Transjakarta atau mini bus untuk ke sekolah, pulang juga begitu. Hari ini pengecualian, gara-gara menerima tebengan Edgar dan memberikan alamat palsu, dia terpaksa pulang agak sore.

"Saya masuk ya, Pak," pamit Keisya.

"Ini kembaliannya, Dek." Si sopir menyerahkan uang kembalian Keisya.

"Buat Bapak aja," kata Keisya.

Pak sopir itu langsung berseru kencang, karena Keisya sudah memelesat pergi, "MAKASIH YA, NENG! LAIN KALI NAIK ANGKOT SAYA LAGI YA!!!"

Keisya tertawa kecil.

Kompleks perumahan Keisya dijaga oleh dua orang satpam, tapi Keisya hanya melihat Pak Rahmat, satpam yang berjaga 24 jam. Pak Rahmat lekas berdiri dan membuka gerbang untuk Keisya, Keisya masuk dan tersenyum kepada Pak Rahmat.

"Makasih, Pak."

Sebagai respons, Pak Rahmat tersenyum dan mengangguk, kemudian kembali menutup gerbang.

Keisya menelusuri jalan beraspal, yang diliputi oleh rumah-rumah bergaya mediterania. Rumah-rumah di sana memang mewah-mewah, orang-orang yang menghuninya pun rata-rata seorang public figure, dan orang-orang yang bekerja di berbagai bidang.

Namun, Keisya tidak menemukan keakraban para tetangga, tidak ada tawa hangat, tidak ada anak-anak yang biasanya bermain di depan teras rumah, tidak ada penjual-penjual sayur atau ikan, dan ibu-ibu yang biasanya bergosip. Tempat ini aman, tentram, tapi sepi, seolah tak berpenghuni-kontras dengan suasana rumah neneknya di Bogor.

Keisya berhenti di depan rumah berpagar tinggi, dia menekan bel tiga kali. Tak lama, seseorang membuka pagar, sosok Pak Darman-penjaga rumah-muncul dengan wajah cemas.

"Alhamdulillah, Neng Kei baik-baik aja, tak kira ada apa-apa sama Neng Kei. Telepon bapak nggak diangkat, semua orang pada khawatir, Neng," kata Pak Darman, mengeluarkan unek-uneknya.

Keisya mengernyih. "Hehe... maaf, Pak. Tadi ada urusan, jadi pulang agak lama."

Pak Darman menghela napas lega. "Owalah... syukurlah kalo begitu. Ya sudah, silakan masuk Neng."

Pak Darman menutup kembali gerbang, sementara Keisya berjalan masuk ke pintu utama. Sama seperti rumah-rumah di kompleks perumahan ini, keadaan rumahnya tak beda jauh. Sepi dan... membosankan.

Di saat-saat seperti inilah, Keisya rindu neneknya, rindu teman-teman masa kecilnya di Bogor, dan tentunya keramah-tamah-an tetangga-tetangganya di Bogor. Di sini, dia merasa jenuh, merasa begitu kesepian. Mamanya sibuk bekerja, Papanya apalagi, seorang pengusaha besar. Namun Keisya coba untuk santai, coba membiasakan diri dalam kesendirian, dan hasilnya, dia menjadi cewek mandiri yang anti-sosial.

SomersaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang