Seminggu setelah berpapasan dengan Hara di perempatan. Hanbin kembali mendatangi apartemen. Tentu saja ia berharap Hara berada di sana dan menunggunya, seperti biasa. Kali ini bahkan harusnya Hara tak menunggu terlalu lama. Hanya lima hari.
Well, meski posisinya di sini Hara lah yang sedang marah sehingga otomatis Hanbin yang harus berkorban, tapi ingatlah kalau Hanbin dewanya egois.
Mendapati sinyal ponsel yang Hara pakai kembali aktif di beberapa titik di Seoul cukup membuat Kim Hanbin percaya diri meski dua belas jam terakhir ini ia belum lagi mendapatkannya. Begitu membuka pintu, Hanbin berhenti kala mendapati tidak ada yang berubah. Ia bahkan menemukan banyak debu yang mulai menutupi meja kerja Hara yang berada di dekat jendela yang ternyata terbuka.
Tak menyerah sampai disitu, Hanbin menarik pintu lemari milik Hara hingga terjeblak membuka.
"Sial."
"Tara, apa aku boleh tinggal di tempatmu?" ujar Hara pada kakak keduanya lewat panggilan telepon. Email yang dikirimnya seminggu yang lalu tidak mendapatkan balasan, untungnya Hara mengenal salah seorang teman dekat Tara di Norwegia dulu dan ketika menanyakan nomor telepon Tara, dia mau memberikannya.
"Aku di Indonesia," balas Tara pendek. Kakak beradik itu sama saja.
"Aku tahu."
"Kau tidak akan ke Indonesia, 'kan?" tanya Tara sedikit terkejut karena ia tidak pernah menyangka akan kedatangan adiknya.
"Berikan aku alamat tempat tinggalmu," ucap Hara langsung.
Tara tahu ada yang tidak beres. Hara tak pernah menghubunginya. Mereka juga tidak dekat sama sekali. "Ada apa?"
Hara menghela napas dengan berat sebelum menjawab, "Sara... Sara meninggal."
Jeda beberapa saat, tak terdengar apapun dari seberang sana, bahkan suara hembusan napas pun tak ada.
"Aku ak..." Tara tak tahu harus berkata apa. Dia terlalu terkejut. Meski tak begitu dekat dengan saudara-saudaranya, tapi mendengar kabar kakaknya meninggal tentu bukan hal yang mudah dicerna untuk Tara.
"Aku sudah di Jakarta," ujar Hara karena kembali tak mendengar apapun dari Tara, "Di kota mana sekarang kau tinggal?"
Jeda kembali. Namun Hara bisa dengan jelas mendengar hembusan napas berat Tara di seberang sana.
"Aku akan mengirimkan alamatku."
"Terima kasih."
"Ada apa dengan Sara? Terakhir kudengar dia sukses dengan pertunjukkan baletnya di Australia dan bahkan akan menikah," ucap Tara dengan pandangan yang masih terpaku pada layar laptop di depannya, jemarinya pun masih menari indah ke sana ke mari menekan tombol-tombol di depannya.
Hara duduk di kursi seberang sambil menatap perbedaan yang nampak pada diri kakaknya. Mereka baru saja selesai makan malam. Makan malam dalam diam karena belum ada sepatah katapun yang keluar semenjak Hara bertatap muka satu jam lalu di depan pintu apartemen Tara. Hanya senyum tipis dan pelukan canggung, setelah itu Tara sibuk menyiapkan makan, sementara Hara meletakkan barangnya lalu mandi.
Kulit cokelat eksotis, rambut hitam yang dicepol asal hingga membuat helaian rambutnya keluar semakin memperjelas kesan santai Tara. Meski begitu, gurat lelah jelas terlihat di wajahnya. Pukul sepuluh malam dan Tara langsung membuka laptopnya selepas makan malam. Gen pekerja keras memang mengalir pada mereka, dan Hara tahu Tara bekerja sangat keras untuk semua yang dimilikinya sekarang karena tidak seperti Hara dan Sara, Tara tidak mendapatkan harta dari ibunya.
"Kau membaca berita tentangnya?" tanya Hara.
Bunyi ketikan di laptop berhenti, namun Tara masih memaku tatapannya di layar. "Dia masih kakakku," jawabnya pelan.
Hara tahu ini juga bukanlah hal mudah untuk Tara. Terpisah dari saudaramu bertahun-tahun kemudian mengetahuinya meninggal. Hara berusaha menelan semua bayangan mengurus upacara kematian Sara. Ia tidak datang kemari untuk menangis. Tidak.
Setelah menarik napas dalam-dalam, ia berusaha menjawab setenang mungkin. "Overdosis obat penenang."
Tara sedikit berjengit kaget.
Ya, karena siapa yang akan mengira kakaknya yang manis itu akan mengonsumsi obat penenang? Dibandingkan dengan Tara yang sering memberontak hingga memilih keluar dari keluarga mereka, Sara adalah orang yang sangat tenang dan mampu mengatur emosinya dengan baik. Tak pernah berbicara kasar, bahkan jarang sekali berbicara dengan nada tinggi. Bahkan ia masih bisa berbicara dengan tenang di tengah pertengkaran kedua orang mereka beberapa tahun silam.
"Aku berharap bisa bertemu dengannya."
Hara tersenyum kecut. "Aku juga."
Dan malam itu, mereka tenggelam dalam kenangan mereka masing-masing bersama si kakak sulung.
"Terima kasih tumpangannya satu minggu ini," ujarnya sambil memeluk Tara erat. Meski rasa canggung masih kentara di antara mereka, tapi Hara tak ingin menyesal dan menyia-nyiakan kesempatan bersama kakak yang sudah tak ditemuinya selama sepuluh tahun.
Tara membalas pelukan canggung itu dengan erat. Meski pada awalnya ia sudah hampir menolak Hara yang akan mendatanginya, tapi sekarang ia bersyukur.
Tak ada yang dikatakannya, hanya tepukan lembut di punggung Hara yang mampu Tara berikan. Dengan doa yang ia panjatkan dalam hati.
Hara melepas pelukan itu dan mengucapkan sepatah kata penuh makna darinya.
"Hiduplah dengan baik, kakak." Kemudian ia berbalik dan pergi. Meninggalkan Tara yang hanya bisa memandang pintu yang sudah tertutup.
"Kau juga, adik."
Dan dengan begitu, Hara kembali ke Korea untuk melanjutkan hidupnya. Tapi ia tak tahu apa yang sudah menunggunya di sana. Dan apakah ia benar-benar bisa melanjutkan hidup setelah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belated Apology - Hanbin (COMPLETED)
FanficApology The Series 2nd Scene - Belated Apology ( Hanbin version) "Kau tahu benar kalau aku adalah pria egois," ujar Hanbin dengan egoisnya. "Aku tahu," balas Hara serak. "Dan kurasa aku sudah tidak menginginkanmu." Tak ada emosi yang tergambar di wa...