Masa Lalumu, Masalahku

2.4K 70 15
                                    

Hujan di sore itu mengiringi langkahnya, menutupi sebuah luka, berjalan dengan luluh lantak. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pertanyakan, bahkan hatinya sendiri hanya diam tanpa pendengaran. Aku coba datang melerai luka yang menyerang, menyembuhkan apa yang dia rasa, dan berusaha menghadirkan bahagia di setiap titik senyumnya. Sembari menyusuri jalan, kenangan akan terlupakan, sesaat, bukan selamanya.

Setapak demi setapak jalan itu disusuri, dengan berharap luka yang datang, akan hilang. Entah bagaimanapun caranya, dia mau untuk itu, agar tidak terus mengingat masa lalu yang menariknya untuk merasakan pilu.

Saat itu, mungkin kau butuh sandaran. Dan aku berusaha menjadikan diriku sebagai penopang. Menyediakan bahu sebagai tempatny bersandar, menawarkan telinga untuk mendengarkan ceritanya. Meski sesaat, setidaknya sedikit bermanfaat.  Dia terus saja bercerita penuh rasa bersalah, karena hubungan dengan orang yang dicinta, kandas karena ditimpa masalah.

Masalah mereka tidak mendewasakan sebuah hubungan. Hingga berujung sepakat untuk berpisah, memulai hari yang akan dipenuhi gengsi untuk sekadar menyapa. Waktu terus berjalan, hingga akhirnya dia mendapatkan balasan. Balasan dari apa yang pernah dia lakukan, karena telah memberi harapan, yang sempat diperjuangkan untuk jadi kenyataan, kemudian dipatahkan. Menebar janji yang menerbangkan mimpi, sebelum akhirnya dia juga yang mengakhiri. Dengan berbagai alasan untuk meninggalkan.

Terdengar kejam, walau telah terjadi di masa silam. “Kau hanya perlu berubah, tanpa harus merubah suatu kisah. Masa yang akan datang akan menjemputmu, menghilangkan segala penat, membantu melupakan masa lalu yang sering teringat”.

Aku hanya bisa mencoba memahami apa yang dia rasakan, tanpa berani mengungkapkan. Sebab aku takut salah dalam menyampaikan, yang ada justru menambah beban, bukan meminimalisir beban. Terdiam, dalam mata yang kian berkaca-kaca, seolah air mata berteriak ingin tumpah. Namun, dengan sekuat tenaga, semua itu dia tahan. Entah dia tidak ingin terlihat lemah di depanku, atau dia memang pemalu untuk itu.

“Menangis saja,” kataku. "Bukankah menikmati kesedihan adalah hal yang harus dirasakan pelan-pelan? Menangis tidak membuat kita lemah, yang ada dengan  menahannya, kita memaksa terlihat tegar padahal hati sedang terbakar." Ucapanku tidak dia hiraukan, dirinya sudah dikuasai emosi yang telah siap siaga untuk berperang dengan kesakitan. Meluapkannya, berteriak, melepas semua sesak yang terisak.

Air mata yang sedari tadi ditahan mulai menetes di kelopak mata, membuat muara baru, perlahan membasahi pipi, sakitnya menyeruak hingga ke hati. Suaranya sudah tak karuan, tangis itu semakin menjadi, air mata sudah tidak bisa terbendung lagi. Tetapi tetap saja dia bercerita tentang masa lalunya, dia sendiri yang dengan sengaja mengundang kesedihan. Bukannya mencari upaya untuk menyudahi kesedihan. Aku mencoba menenangkan, meski kadang dibantah dengan kalimat:

“Kau tidak pernah tahu rasanya jadi aku!” Seolah dimatanya, aku hanya manusia yang tidak pernah tahu apa itu cinta.

“Sudahlah, tangis akan berubah jadi tawa, jika kau mampu bersyukur dan mengambil hikmah," kataku, seraya mengusap air mata yang membasahi pipinya.

Pandangan kami terhenti, saling tatap, tanganku tetap menyelesaikan tugasnya. Senja mulai datang, pancaran jingganya menggoda mata, alunan di sekitarnya memanjakan jiwa. Walau kadang dia terus bersedih, berselimuti rasa tega, berteman hati yang mati didepan senja.

Tak terasa, rintikan hujan perlahan berubah menjadi gerimis, mungkin hujan pun tau bahwa hatinya harus berhenti menangis. Matanya memerah, bagaikan habis dihajar oleh karma. Isak pilu, tak kunjung temui henti dari suaranya.

PelampiasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang