Melawan Pikiran

247 22 1
                                    

Malam ini masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Di indekos yang berukuran tidak terlalu besar, berkisar 3x3 yang setiap tahunnya kubayar. Biayanya cukup murah, dan tingkat keamanannya pun terjamin. Bagiku, asalkan bisa nyaman tidur, itu sudah lebih dari cukup. Meski cukup sempit ditambah dengan perlengkapan yang hampir memenuhi ruangan.

Aku biasanya menghabiskan waktu di indekos dengan membaca buku. Buku yang sering kubaca biasanya bergenre romance. Hobi membaca buku di mulai saat aku kelas XII di SMA. Dimulai dengan membaca buku kumpulan soal-soal SNMPTN. Walaupun genrenya berbenturan, antara pendidikan dengan cerita cinta-cintaan, keduanya tetap memiliki kaitan. Sejak itulah minatku terhadap membaca semakin bertambah. Apalagi setelah aku tahu bahwa kurangnya minat baca di Indonesia sangat memprihatinkan. Perbandingan 1:10 adalah jarak yang mengecewakan, untuk sebuah negara yang hampir memadai di segala aspeknya.

Setelah masuk kuliah, aku berjumpa dengan teman-teman yang lebih giat membaca. Buku di kamar indekosku rata-rata semuanya kupinjam dari mereka. Maklum, jangankan untuk membeli sebuah buku. Untuk makan diakhir bulan saja penuh kekhawatiran.

Selesai membaca novel, biasanya aku melanjutkan dengan membaca materi perkuliahan, atau mengerjakan tugas yang menjadi pemicu malam begadang. Begadang tidak bagus untuk kesehatan. Bisa menyebabkan memudarnya cahaya diwajah, berjerawat, ditambah dengan garis hitam dibawah kelopak mata. Pun efek jangka panjang yang ditimbulkan juga berbahaya untuk organ dalam tubuh. Semua orang hampir tahu tentang itu, tetapi tetap saja dilanggar. Termasuk aku, mahasiswa yang hobi mengerjakan tugas deadline. Begadang bukanlah hal baru di kehidupanku. Sejak SMP pun aku sudah sering begadang, alasannya karena menonton pertandingan sepakbola yang selalu live tengah malam hingga dinihari. Sampai sekarang itu tetap dan akan selalu terjadi, karena menonton pertandingan sepakbola memang sudah menjadi hobi. Semenjak masuk kuliah kebiasaan begadang tidak berkurang, justru bertambah. Selain karena tugas dan menonton pertandingan sepakbola, juga dikarenakan insomnia. Jadi mengalami kesulitan untuk tidur.

Kendati dengan segala macam aktivitas yang aku lalui di indekos, pikiran tentangmu masih mau menghantui. Walau tidak lama, setidaknya ada. Menganggu. Memecah konsentrasi disela kesibukan dan senggang waktu.

Di kekosongan waktu aku juga menyempatkan menulis, hobi yang lebih dahulu aku tekuni dari membaca. Waktunya hampir berdekatan memang, jarak beberapa minggu setelah kejadian yang menganggu fokusku melangkah selangkah untuk masa depan. Semenjak patah hati dibulan Juni, segala kegelisahan, dan kemarahan, ku luapkan lewat tinta berwarna hitam dan biru yang secara bergantian menari di atas buku kecilku bergambar kartun doraemon.

Luka pada bulan Juni itu begitu menyesakkan di hati. Sakitnya meradang hingga ke  jantung, menggerogoti setiap detaknya berimplikasi pada detak yang tak beraturan. Sangat menyakitkan, untuk sebuah hubungan dengan ikatan saling menyatakan sayang tetapi hanya berjalan empat bulan. Orang baru yang datang dihidupnya, merubah segala sangka dan rasa. Dia tak memberi tahuku saat itu, pastinya beberapa minggu terakhir sebelum sajak untuk berpisah diucapkannya, sikapnya telah jauh berbeda tak lagi seperti sedia kala. Tetapi ya sudah, semua sudah sampai ke detik ini. Dia juga sudah bahagia dengan pilihannya. Jika sudah begitu, aku bisa apa ? Terimakasih adalah kalimat paling leluasa untuk menjamah jiwa. Sebab karena luka yang ia beri terlalu sempurna, mendewasakan diriku beserta segala remedial sikap saat aku bersamanya. Harus aku perbaiki kesalahan yang telah terjadi. Agar jika bertemu dengan tambatan hati baru nanti, cerita yang menyakitkan seperti itu tidak terulang untuk kedua kali. Berdamai terhadap patah hati, adalah salah satu jalan untuk introspeksi terhadap diri sendiri. Lagipula sudah sampai sedemikian hingga aku berada pada titik ini, apa yang perlu disesali? Mengorek cerita lama disatu masa yang sangat sulit, hanya akan membuka luka lama yang teramat sakit. Dan sekarang aku sudah jauh bangkit!

Lewat tulisan, segala yang tidak bisa aku ucapkan, kurangkai menjadi kata demi kata yang mengandung unsur emosi dan amarah. Imbasnya, tidak sedikit kejadian kertas yang tadinya berisi keindahan sajak dan diksi, harus terkoyak karena hati tidak kuasa mengontrol diri. Tinta yang bercampur dengan bulir-bulir air mata, goresan yang mengandung kekecewaan, dan semua kalimat yang menuliskan tentang masa lalu, harus segera tamat dan menuju lembaran baru. Tidak peduli seberapa sakitnya, seberapa dalamnya luka yang ditancapkan, jejak demi jejak itu akan terlupakan. Hingga sampai hari ini, tulisan yang kubuat telah begitu banyak. Tidak seperti kebanyakan orang yang meletakkan tulisannya di blog, tumblr, atau di wattpad. Aku memilih menyemayamkan tulisanku di dalam lemari, jika sudah teramat banyak niatku akan menyusunnya menjadi satu kesatuan naskah yang utuh. Semoga saja ada waktu.

Selesai kesibukanku yang tidak seberapa, jiwa ingin segera menemui peristirahatannya.
Sampai malam ini, isi otakku masih saja ada tentang dia. Bahkan pikiran-pikiran itu datang tanpa diundang. Saat aku sedang didalam kelas, belajar, dan aktivitas lainnya yang kukerjakan, termasuk selesai kegiatan malam ini. Pertanyaan itu selalu menyerang, tak tahu batasan. Seandainya aku punya kuasa yang begitu kuat, pikiran-pikiran itu akan kuporsir sedemikian rupa agar tidak menjerembak menjadi jahat. Aku pun bisa mengaturnya, kapan harus dipikirkan, kapan harus ditinggalkan. Seandainya.

Aku memberanikan diri untuk bergerak lebih maju, agar rasa penasaran bisa secepatnya tidak lagi mengganggu. Aku bertanya-tanya, mencari-cari, kesana-kemari tentang sosokmu yang masih belum kukenali. Aku bertanya kepada beberapa teman sekelas, tapi tak satupun mengenalinya. Di karenakan mungkin, ya, pergaulan mereka masih sama sepertiku, cukup terbatas. Keesokan harinya, aku bergerak lebih maju lagi dari biasanya. Mencari teman baru diluar kelasku. Begitu sulit, apalagi untuk ukuran aku yang diawal begitu pemalu. Akhirnya setelah beberapa hari berlalu, hampir genap dua minggu kudapati beberapa teman dari jurusan yang sama, kelas yang berbeda. Setelah mengenal cukup dekat, aku begitu antusias menanyakan sosok wanita tanda tanya itu kepada mereka. Tetapi hasilnya sia-sia. Beberapa pertanyaan yang ku cecar silih berganti, tidak ada satu pun dari mereka yang mengerti. Ujung-ujungnya tidak ada juga yang mengenali. Atau aku yang kurang mahir mendeskripsikan dirinya di depan mereka. Aku tidak tahu. Jelasnya, aku cukup pusing memikirkan ini semua. Dis satu sisi harus memikirkan tugas kuliah, anak kost memasuki tanggal tua, ditambah dengan pikiran tentangmu. Entahlah. Bukan aku yang mau, tetapi pikiran ini yang memaksaku luluh. Padahal tentangnya masih begitu samar, tetapi kubuat seolah nyata.

Aku tidak tahu ini apa, mengapa, dan bagaimana bisa terjadi. Segalanya tentang dia, menjadi hobi dalam pikiran yang sering merusak suasana. Pertanyaan itu bertopeng menyeramkan, menyamar menjadi raksasa yang begitu menakutkan, memaksaku untuk memecah kebuntuan, lewat jawaban. Aku juga sudah berusaha semaksimal mungkin, untuk menemukan jawaban, dari tiap tanda tanya yang bermunculan. Aneh. Aku tidak mengenalinya, sama sekali tidak, walaupun sering bertemu tanpa sengaja. Begitu juga pun dia. Aku tidak menyukainya, akan tetapi mengapa segala rasa penasaran tentang dia terus mendobrak paksa pikiran? Dan mengapa juga rasa untuk tahu tentang dirimu muncul pelan-pelan, sampai pada titik penuh dengan kejenuhan? Semua hampir cukup membuatku gundah gulana. Ini seperti sebuah ketidakadilan, tapi aku harus menuntut kepada siapa? Hukuman apa yang patut diberikan kepadamu? Siapa yang akan menjadi pengacaraku? Ah, semua ini sangat mengganggu. Seandainya dia tahu, dia pasti akan merasa bersalah meski tidak melakukan apa-apa terhadapku.

"Kini indekosku tidak hanya diisi oleh dispenser dan lemari, ada sosokmu yang menyamar dalam bentuk pikiran yang entah kapan mati"

* * * * *

PelampiasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang