Dihujam Rasa Penasaran

643 30 2
                                    

Perkenalan kami dimulai sejak duduk di bangku kuliah, di satu universitas, dan jurusan yang sama. Waktu itu aku pertama kali melihatnya semasa ospek, awal perkuliahan bagi mahasiswa baru. Ketika para maba (mahasiswa baru) berbaris di depan fakultas, aku berdiri tidak jauh darinya. Bisa melirik dengan puas, dengan hati penuh harap tatapanku akan dibalas. Kemeja putih, rok hitam, rambut hitam yang dibiarkannya terurai dan seragam yang dikenakannya kala itu. Dia begitu menarik, dengan wajah polos tanpa ada make up di wajahnya, seperti pensil alis, blush on, dan lain macamnya. Lain dengan teman-temannya yang begitu mahir berdandan, pipi yang begitu merah, seperti habis emosi dan marah-marah. Dia begitu natural, cantik untuk dipandang dengan alami, dan berdandan itu perihal saat pernikahannya nanti, pikirku. Seperti bukan anak kuliahan, atau pikiranku yang terlalu kejauhan tentang mahasiswi di perkuliahan. Jelasnya asumsiku, dia masih begitu polos untuk jenjang ini. Padahal, salah satu syarat untuk menjadi mahasiswa kan bukan dinilai dari fisik, ah tau apa aku ini, imajinasi terus saja liar hingga jadi sok pintar.

Saat itu, adalah pertama kali aku melihatnya, ospek hari pertama yang mengalihkan dunia. Dia yang tertawa bersama teman-temannya, lalu mengapa hatiku yang dipenuhi rasa bahagia? Pribadi yang aneh memang diriku ini. Hari-hari setelah hari itu, tak pernah lagi kutemui wajahnya. Hingga perkuliahan masuk minggu ke tiga, atau hampir genap satu bulan. Tiba saatnya. wajah itu kembaliku temui, tepat saat kakinya menaiki tangga, dan aku sedang duduk diluar kelas jam kuliah. Meski hanya sebentar melintas, senyumnya bisa kulihat dengan jelas. “Siapa namanya?” Aku hanya bisa bertanya dalam hati. Tanpa berani bertanya pada siapapun, berujung pada rasa penasaran tanpa ampun.

Runtutan anak tangga yang dia naiki tadi, akan melegenda mulai hari ini. Membuatku kembali mencoba menerka-nerka, ditambah dengan satu pertanyaan. Untuk siapa senyum itu? Terkesan hangat hingga sampai saat ini masih begitu melekat. Aku tidak tahu untuk siapa senyum itu, yang penting aku dan waktu bisa menikmatinya, ya, walaupun senyum itu bukan untuk diriku.
Andai saat itu aku bisa berdiskusi dengan waktu, mungkin akan ku minta waktu untuk berhenti sejenak, agar wajahnya menjadi pemandangan yang paling enak. Aku akan menjadi sosok yang penakut jika harus bertatapan langsung dengannya, bukan karena dia menyeramkan, tidak sama sekali. Tetapi semacam ada penolakan dalam hati, padahal semua tentangnya menjadi rasa penasaran setengah mati. Aku termasuk orang yang pendiam, jika belum sama sekali mengenal seseorang. Aku juga termasuk orang yang tidak bisa diam, jika sudah mengenal seseorang terlalu dalam. Kurasa bukan hanya aku, semua orang begitu lumrahnya.
Ketika aku sedang ngelamun dengan tatapan mata mengarah ke tangga. Temanku, Iga menyadarkanku.

“Oii lagi mikirin apa kau?”

“Enggak ada, Ga. Enak aja kalau lagi bengong gitu" jawabku ngeles.

“Benar kata anak kelas"

“Maksudnya, Ga?” tanyaku bingung.

“Ada aneh-anehmu hahaha!”

“Sompret! Hahaha”

Iga Permana, merupakan teman sekelasku. Kami sudah berteman sejak ospek hari pertama. Pasalnya kami satu grup waktu itu. Ada lima orang. Tiga sisanya sudah lain kelas. Tetapi kami masih akrab dan saling sapa jika jumpa. Iga adalah anak yang asik, baik, dan juga rajin menabung. Perihal tentang kuliahnya tidak diragukan lagi. Dia anak yang begitu aktif dikelas, rajin bertanya, pun menjawab. Pemikirannya juga kritis. Cita-citanya ingin menjadi presiden. Katanya yang pertama kali akan ia benahi adalah perihal tuna asmara atau bahasa halusnya jomlo. Dia ingin membangun infrastuktur khusus para jomlo, bisa berupa taman bermain, atau kafe tempat nongkrong. Juga dia akan memberikan KJJ atau Kartu Jaminan Jomblo. Jadi setiap jomblo yang ada di negeri ini, gratis biaya rumah sakit, dokter khusus patah hati juga ada nantinya disetiap rumah sakit, klinik, maupun puskesmas. Guna mengobati orang yang dilanda patah hati, ataupun trauma jangka panjang. Iga memang begitu orangnya, terkesan ngawur tapi nada bicaranya serius. Waktu itu aku hanya tertawa mendengarkannya cerita soal ini.

Aku semakin sering berjumpa dengan dia. Baik saat jam kuliah, ataupun selepas pulang kuliah. Tetapi tetap saja, aku masih menjadi sosok penakut untuk bertanya “Siapa namamu?” Melihat dari kejauhan, seakan sudah menjadi kebiasaan. Seandainya aku punya keberanian, pasti sekarang aku dengan kau sudah pada tahap pendekatan. Ah ada-ada saja, apa mau dia kenal dengan sosok yang amat sangat penakut ini? Kita lihat saja nanti. Pertanyaan, jawaban, kujawab sendiri dalam hati yang penuh keyakinan. Bahwa rasa penasaran, akan segera menghilang.
Sejak saat itu dia menjelma menjadi sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan, hingga hampir dua bulan selepas hari pertama ospek di perkuliahan.

Perkuliahanku masih tetap berjalan lancar, meski rasa penasaran tentangnya masih begitu tercecar. Tetapi, mau bagaimana lagi. Akunya saja yang pengecut, untuk mengetahui namanya saja nyaliku sudah ciut. Ku arap, kapanpun itu. Namanya harus menjadi beberapa kata yang sudah harus pergi dari pikiranku. Ada benarnya, jika rasa penasaran akan selalu menambah beban pikiran. Dan iya, itu semua sampai kini masih kurasakan. Hanya ada satu cara menyudahi rasa penasaran, cukup sebuah jawaban. Begitu mudah mengatakan, tetapi begitu sulit pada kenyataan. Sering aku bertanya dalam hati, kenapa aku begitu ingin tahu tentang dirimu? Kenapa juga aku harus sampai sebegini penasaran sama orang yang aku pun tidak tahu siapa? Jangan-jangan ini perihal rasa, atau hanya sekedar ingin tahu saja. Tidak ada gunanya menduga-duga, biarkan jagad raya dan seluruh perangkat yang menjawab itu semua. Pikirku dengan tenang. Padahal detik selanjutnya, pikiran itu kembali datang.

Seminggu setelah kejadian di tangga depan kelas, dirinya tak pernah ku jumpai lagi. Mungkin dengan cara itu, pertanyaan tentangnya yang menyerang pikiranku akan berhenti. Ada baiknya juga, semoga saja Tuhan punya skenario yang hebat pada saat yang tepat. Semua yang diperkirakan, tidak sepenuhnya tepat dikenyataan. Semua yang diprediksi, tidak sepenuhnya mudah diterima berbagai sisi. Bagaimana pun, semua yang telah dan akan terjadi pada alam semesta, sudah ada jalan takdirnya. Termasuk tentang aku dan dia. Dan untuk hari-hari itu, harapku cuman satu. Semoga semua baik-baik saja, walaupun nantinya akan dikejutkan oleh sang semesta. Skenario yang Tuhan buat selalu baik, meski terkadang diterima manusia dengan pelik.

Jika aku bertemu dengan dia lagi, berarti pikiran-pikiran itu akan terus menghantui. Dan jika aku tidak akan bertemu dengannya lagi, aku juga tidak yakin pikiran ini tidak akan memikirkanmu lagi. Bagaimana pun tetap serba salah, ini semua salahku. Aku, yang terlalu banyak memberi pertanyaan pada diri sendiri, kemudian dipendam dalam hati, hingga tak memberikan solusi yang bisa membuat ini semua berhenti.

Sosokmu, masih menjadi teka-teki. Sulit dipecahkan, sampai dengan saat ini belum menemui jawaban.

Semua ada saatnya, aku juga tidak ingin begitu menyiksa pikiran ini dengan memikirkan apa yang harusnya tidak untuk dipikirkan. Tetapi semua datang tanpaku sengaja. Merayu raga agar mencari tahu tentang dia pun akan terjadi. Harusnya aku bisa bersikap biasa saja, Tetapi kukira percuma. Jika aku terus diam, mengeluh tentangnya yang memorak-porandakan pikiran, kau akan terus hidup didalam kepala, menyertakan banyak tanda tanya. Dan yang aku lakukan hanya mengeluh kepada diri sendiri, tidak tahu harus apalagi.


"Dalam setiap rasa penasaran yang mengincar, selalu menyisakan pikiran yang tercecar. Demi menemui jawaban, yang belum pasti entah kapan"

* * * * *

PelampiasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang