Bagian 1

236 11 0
                                    

.
.
.
.

"Untuk apa cairan hijau itu, Eg?" Aku menatap bingung pada pemuda berkacamata, berambut hitam ikal, berkulit pucat di depanku. Dia teramat serius hingga aku menjadi was-was.

"Jangan berisik dulu." katanya dengan nada berbisik. Dia memegang sebuah botol kecil, yang berisi cairan kental berwarna hijau—beraroma seperti jeruk nipis atau bunga lavender—dan berniat menuangkannya pada salah satu patung lilin di atas meja dengan hati-hati.

Pelajaran Seni, les ke-6 untuk hari ini. Kebetulan aku dan Egor mendapat jadwal serupa.

Jadi, di sinilah kami. Berada di ruangan laboraturium luas dengan berbagai macam peralatan di setiap sudut ruangan; tabung-tabung, rak-rak kaca, box, peti, serta beberapa westafel kecil di setiap sisi. Kami duduk berhadapan dengan damai sambil menciptakan kreasi melalui benda semacam tanah liat dan membuatnya menjadi bentuk-bentuk yang menarik.

Sudah lebih dari 20 menit kami berkutat dengan benda ini. Aku membuat sebuah Apel bulat berwarna hijau (aku tahu aku akan mendapat nilai terendah). Egor membuat tanah liat itu menjadi bentuk mirip manusia atau hanya hewan bungkuk, entahlah. Dan sekarang, pemuda itu berniat menghias patung lilinnya dengan cairan hijau?

"Baunya seperti sabun yang kupakai untuk mencuci piring." ujarku, lagi.

"Diamlah, Ana." desisnya. Egor berkeringat. Dengan lamban, dia memiringkan botol kecil itu. Cairan disana hampir terjatuh, namun batal saat dia menarik kembali botolnya. Egor menarik napas panjang, matanya menatap liar ke sisi meja. Dengan secepat kilat, dia menyambar sebuah stik entah milik siapa, mecelupkan benda ramping di kedalam botol, lalu berniat memoleskan cairan hijau itu ke patung lilin dengan lembut dan hati-hati.

"Um, aku punya kuas kalau kau mau." tawarku.

Kali ini Egor menatapku, gerakannya terhenti. Dia berpikir sejenak. "Mari kulihat." katanya sembari membuang stik tak berguna itu.

Aku mengangguk, tangan merogoh ke dalam tas dan terus mencari-cari. Egor masih menungguku. Dimana benda itu?

"Oh, dapat." aku mengangkat tangan. "Nih."

Egor menerimanya, menatap benda pemberianku dengan dahi berkerut. "Terlihat seperti alat pesolek anak perempuan." katanya.

"Tidak tahu. Aku memungut benda itu di toilet." balasku santai.

"Seratus persen benar." Egor meneliti benda itu. "Sisa-sisa bedak tabur berwarna pink ini hanya akan menambah buruk eksperimenku. Aku kembalikan—oh, dimana kayu kecil yang tadi?"

"Eksperimen?" tanyaku remeh. "Kau berlebihan. Ini cuma praktik."

"Kau akan melihat hasilnya nanti." Egor masih mencari. "Aku selalu punya kejutan, kau tahu kan. Hei, dimana kayunya?" Egor mulai menunduk ke kolong meja.

Sontak aku berdiri secepat kilat. "Sedang apa kau dibawah sana? Dasar cabul!" seharusnya dia tahu kalau rok anak perempuan di sini rata-rata hanya setengah paha.

Egor terantuk, meja bergetar, dia menyumpah pelan. Aku menatap benda kebanggaan Egor kini di ambang kehancuran. Patung lilin manusianya sudah tidak berdiri lagi, melainkan terlentang mengenaskan, menyenggol cairan berwarna hijau dan diselimuti dengan cairan itu sendiri. Patung lilinnya mulai lembek.

"Oh, demi langit." gumam Egor, suaranya kecil sekali. Dia menatap nyalang hasil karyanya, sedetik kemudian, mata itu melotot padaku. "Apa yang kau lakukan?!"

Aku menganga tentu saja. "Apa?"

"Ada apa disana?!" seru Madam Luna. Dia menatap aku dan Egor dengan tatapan memicing. Sedangkan anak-anak lain memandang kami kesal.

Who Are You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang