Bagian 14

22 5 0
                                    

.
.
.
.

Halaman belakangku adalah tempat paling adem. Tentu saja, karena pepohan di luar batas tembok luar biasa tinggi dan rimbun. Di halamanku sendiri, ada banyak tanaman bunga—milik ibuku—dan tiga pohon cemara, menjadikan tempat ini teduh dan tenang, juga angin berkesiur yang membuat ngantuk.

Aku menghela napas lagi.

Call masih berminat tiduran di kursi panjang di bawah pohon, memejamkan matanya. Kedua tangannya disatukan dan ditaruh di bawah leher. Dia berniat tidur. Karena sudah dua menit dia seperti itu.

Bagaimana kalau aku mendorongnya saja sekarang?

Ide bagus.

Kakiku perlahan mendekat, aku membungkuk dan tanganku sudah berjarak sepuluh senti dari pinggangnya.

"Kucing nakal yang disinggung ibumu malam itu," katanya tanpa membuka mata. "Bagaimana bentuknya?"

Kenapa tiba-tiba membahas kucing? Jadi, sebaiknya kudorong saja atau tidak? Ini kesempatan yang bagus sekali. "Aku sudah lupa. Kenapa kau peduli?" ayo, satu dorongan saja, dan dia akan terjatuh. Ah, seharusnya Riley menyaksikan ini!

"Ingat-ingat." tangan kanan Call menyambar pergelangan tanganku. Dingin. Dia bahkan masih belum membuka matanya. "Apa kucing itu sering berkunjung?"

"Tidak." Aku mencoba menarik tanganku. "Oke, lepaskan aku. Aku tidak berniat mendorongmu dari belakang kok."

Kejadiannya cepat sekali. Tadinya aku berjongkok. Hanya butuh tiga detik bagi Call untuk bangkit, menarikku agar duduk di ujung kursi, kemudian dia tiduran lagi, dan kepalanya persis di atas pahaku.

Aku mematung. Rasanya sangat canggung dan terlalu intim. Aku ingin mendorong kepalanya tapi mata Call membuka, menatap mataku.

"Wajahmu pucat. Apa kau ingin muntah di muka ku?" Call mencoba sinis. Namun sorot matanya mengatakan sebaliknya, dia terlihat tenang.

Aku mengalihkan pandangan menatap ke depan. "Ya, kurasa."

"Sekarang kau takut padaku?"

Dahiku berkerut kecil. "Kurang tepat."

"Kau benci?"

"Salah besar."

Call mendengus. "Kenapa kau menghindariku? Apa aku terlalu menjijikkan?"

Aku menatapnya tak terima. Begitukah yang dia pikirkan? "Kenapa kau peduli? Bukankah kau yang membenciku?!" oh, ini terdengar kekanakan dan drama. Aku bukan ratu drama. Aku mengepalkan tangan. "Kau bilang, aku bisa mengingatkanmu tentang pekerjaanmu."

Mata Call menelusuri wajahku dalam diam. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Sudut bibirnya tertarik melengkung membuat senyuman sendu. Call sangat tampan. "Bagaimana bisa ada gadis bodoh sepertimu?" gumamnya.

Aku ingin memutar bola mata. Tapi sebagian diriku tak ingin mengalihkan tatapan darinya. Dan kata-kata yang akan keluar dari mulutku pasti akan membuatnya marah, barangkali. Tanganku membelai ujung rambutnya. "Jika pembunuh sepertimu ada, kenapa tidak?"

Senyum Call bertambah lebar, menampakkan gigi putihnya yang rapi dan taring tumpul itu. "Terkadang, aku hanya ingin menyimpanmu untuk diriku sendiri."

Dahiku berkerut. "Kenapa, sih, kau sangat posesif? Kulihat tidak ada untungnya melakukan itu."

"Karena aku tipe pencemburu."

"Jadi bagaimana nasib para pacarmu berakhir?" aku selalu penasaran.

Senyum Call memudar sedikit. Dia menatapku lekat dan berkedip satu kali. Betapa bulu mata lebat itu membuatnya terlihat indah. "Kurasa, kau yang pertama." gumamnya.

Who Are You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang