Bagian 9

38 8 0
                                    

.
.
.
.

Setelah menghubungi ibuku—mengabari kalau aku akan pulang terlambat. Dan setelah selama setengah jam kami menaiki angkutan umun dengan Andrew dan Egor yang berdebat kecil—hanya karena ingin mendapatkan tempat duduk terujung. Juga setelah semua bau matahari dan keringat apak ini, maka di sinilah kami sekarang.

Aku berdiri di depan pintu nomor 9. Andrew dan Egor di belakangku terus menggerutu—entah apa sebenarnya masalah mereka. Sayup-sayup aku mendengar Andrew mengutuk lift yang membuat perutnya mual.

Tanganku terangkat membuka kenop pintu. Kepalaku melongok kedalam. Sejurus kemudian, Bianca muncul—segera menarikku, Andrew, serta Egor masuk ke kamar rawat.

Bianca tengah mengenakan setelan piyama yang disediakan oleh pihak rumah sakit. Dia adalah pasien. Tapi, dia tampak sehat-sehat saja.

"Teman-teman, sebenarnya aku belum makan sejak pukul sepuluh—"

"Ayolah, Drew." desah Egor. "Jangan buat aku menempeleng kepalamu. Ini benar-benar mendesak. Kita harus mendiskusikannya."

Andrew mengangkat tangannya. "Maaf saja, Eg. Kurasa kau akan kerepotan melihat cacing-cacingku mengamuk disini."

"Apa kau tidak masalah kalau makan bubur?" sela Bianca. "Aku punya satu porsi."

Senyum sumringah terbit dibibir Andrew. "Apapun itu, berikan padaku."

Hei, memangnya dia saja yang kelaparan? Aku juga, tahu!

"Disana. Di meja itu."

"Oke."

"Bi, kau baik-baik saja?" tanyaku sungguh-sungguh.

"Seperti yang kau lihat, Nanas." balasnya santai, seraya berjalan menuju sofa, lalu duduk. Aku dan Egor mengikuti. Wajah Egor terlihat tidak tenang.

"Aku berkali-kali menelponmu. Tidak pernah diangkat. Ponselmu tertinggal?"

Bianca tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak. "Ponselku hilang."

"Ooh, sayang sekali." gumamku.

Egor menghela napas gelisah. "Baiklah, aku akan memulai tanpa kau, Drew..."

"Aku masih bisa dengar dari sini." serunya.

Mata Egor berubah tidak fokus. Dia terlihat kebingungan. "Sebenarnya aku ingin mengatakan ini sejak pagi, tapi kalau aku bercerita panjang lebar tanpa saksi kedua—" dia menunjuk Bianca. "—yah, kalian tidak akan mempercayaiku. Jadi sekarang, aku ingin mengakui satu hal.

"Dengar, kalian masih ingat serangan terhadap sekolah kita, kan? Oh, aku tak perlu bertanya, tentu saja kejadian itu melekat sekali dalam pikiran kita—terutama untuk kau dan Drew." Kata Egor padaku. "Jadi, setelah kejadian penyerangan di sekolah sabtu itu, aku dan Bianca kembali lagi ke sekolah, persis saat kalian pulang. Kami berniat menonton hukuman untuk para tentara itu—kami memang konyol—tapi ..." Egor melirik aku dan Andrew bergantian, cukup lama. "Ternyata mereka itu bukan tentara sungguhan."

"Maksudmu?" Andrew mengambil tempat di sisiku. Wajahnya berubah serius—membuatku menyipitkan mata dengan heran.

"Mereka berpura-pura," Egor tercekat.

Dan rasanya aku pernah mendengar yang satu ini sebelumnya.

"Mereka bukan manusia. Mereka—entahlah, alien atau apa," Egor membuat gerakan aneh di tangannya. "Tapi mereka jelas bukan manusia. Kalian harus lihat wajah mereka saat noda hitam dan topi mereka disingkirkan, oh Lord, manik mata mereka berwarna kuning dengan pupil runcing—seperti mata binatang, mata kucing, kalian tahu?!" serunya. "Dan, Mister Oscar, menurutku, dia adalah musuh dari makhluk itu. Ya, mereka berlima bersama Mister Oscar sempat berniat baku hantam—"

Who Are You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang