Bagian 24

25 5 0
                                    

.
.
.
.

Song 🎵 : My Immortal - Evanescence
.
.

Aku memandang tanah petak yang dikelilingi keramik berwarna abu di hadapanku; sebuah nisan. Nama Odella Mc.Wright terlukis buram di batu oval. Melihat dari rimbunnya rumput hijau di tengah kotak, mungkin sangatlah jarang—atau hampir tidak pernah ada—yang datang menjenguk Ibu Call.

Pantas saja ibuku membuat pakaianku terlihat seperti berkabung. Ibuku tahu Call akan membawaku kesini. Aku sedih, tentu saja. Terkejut, lebih tepatnya. Ibu Call ternyata sudah meninggal 8 tahun yang lalu (aku melihat tahun yang tercetak di bawah nama itu). Padahal sebelumnya, aku sangat menantikan bertemu muka dengan ibu Call, ayahnya, dan—jika punya—kakak atau adiknya.

Aku segera menaruhkan bunga lily segar yang sempat kubeli di gerbang masuk, sebagai hadiah untuk ibu Call. Cahaya hangat matahari berpendar lembut, membuat bunga telihat hidup. Seakan, aku sedang disuguhi senyuman wanita itu. Aku tahu aku konyol. Tak pernah sekalipun aku dapat membayangkan bagaimana rupa ibu Call. Apakah dia wanita yang cantik, anggun, dan lembut?

Aku membuat senyum kecil. "Halo, tante." kataku pelan. "Aku Anastasia, teman Call. Selamat ulang tahun untukmu ..."

Hening, tentu saja.

"Jadi," lanjutku. "Bagaimana keadaan di sana? ... Aku yakin Anda sangat bahagia."

Call belum berniat mengatakan atau menjelaskan apapun padaku. Aku mengerti. Tante Nadine bilang, ini pertama kalinya bagi Call.

'Aku ingin memberinya kejutan.' kata Call pagi itu.

Aku menatapnya. Dia masih kosong, seperti, cangkang tak berisi yang rapuh dan rentan. Namun pegangan tangannya padaku belum mengendur. Dia butuh teman untuk sampai pada ibunya.

Apa kejadiannya sangat menyakitkan? Apa yang Call temukan saat itu, saat ibunya terbujur kaku?

Aku menyandarkan pipiku pada bahunya. "Ibumu bilang, kau semakin tampan." gumamku—mencoba menghiburnya.

Call bereaksi dengan cara meremas tanganku.

Dua menit kami habiskan untuk berdiam diri sambil merenung, hanya ditemani cahaya pagi dan sapuan angin kecil. Keadaan benar-benar hening.

Aku sudah kehabisan kata-kata. Aku merasa ... seperti baru saja menerima harapan palsu.

Tapi, jika bukan aku yang mengambil alih, siapa lagi?

"Apa hadiah yang kau bawa untuk ibumu, Call?" tanyaku mengalihkan perhatian.

Tatapan Call tak lagi kosong, sebagai gantinya, kini ia menatap lurus nisan di hadapan kami. Kemudian, "Kau." jawabnya.

Aku memandangnya lekat.

"Selama ini aku bertingkah seperti pengecut, Ana." kata Call menerawang. "Berada di bawah bayang-bayang kematian mereka adalah takdirku. Aku membenci mereka. Mereka semua."

"Kau membicarakan korban yang kau bunuh?" gumamku.

"Saat itu umurku masih 11 tahun." lanjutnya. "Para abangku, juga ayahku adalah penggila judi dan minuman. Mereka pengangguran yang tolol dan kejam. Beberapa malam mereka lalui dengan merampok dan memperkosa seorang gadis ..."

Tanpa sadar aku menahan napas.

"... Ibuku dan aku ... kami yang menerima semua resikonya." Call mendongak, menatap langit dengan mata menyipit. "Rumah kami diserang. Para bajingan itu berhasil menyelamatkan diri, tanpa mengajakku dan ibu. Aku masih 11 tahun, Ana ..." ulangnya.

Who Are You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang