Aku tahu kakakku menanggung beban yang paling banyak, gaji ibu yang tidak seberapa membuat dia harus mengesampingkan egonya untuk pergi kerumah kerabat kami hanya untuk meminta beberapa liter beras.
Tapi, aku selalu berperan sebagai ibu peri. Aku rela tidak tidur semalaman, mengesampingkan segala hak yang harusnya aku dapatkan.
Hebat bukan? anak sekecil diriku harus dewasa di waktu yang belum tepat, bahkan sekarang aku rasa diriku sudah dewasa, umur tidak mencerminkan sifat bukan.
Keadaan yang memaksaku untuk begini, harus bekerja semalaman untuk memenuhi kebutuhan hidup, mengesampingkan rasa maluku dengan bekerja menjadi tukang parkir di salah satu stand makanan, semua perlakuan dari pengendara motor dan mobil kuterima dengan lapang dada, bahkan ada yang dengan teganya tidak membayar parkir dan membayarku dengan segala cacian juga hinaan.
Banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang menatapku iba, bahkan ada yang menegurku dan menyuruhku pulang. Aku hanya dapat tersenyum dan berkata ‘aku hanya ingin menambah-nambah uang jajan’.
Aku melakukan ini untuk membantu ibu juga kakakku.
Aku teringat Ayah, apa yang akan dia katakan kalau tahu aku begini. Aku yakin dia pasti akan sangat cemas dan sambil memelukku erat dia akan melarangku melakukan hal ini. Tapi, itu Ayah yang dulu, Ayah yang sekarang tidaklah seperti itu.
Aku rindu ayah, yang selalu hangat yang selalu histeris setiap kali melihat tangan atau kakiku lecet. Aku ingin kembali menjadi ego-mu ayah, yang selalu kau prioritaskan. Aku ingin menjadi air mata ibu, agar aku tau apa yang kamu rasakan. Aku ingin menyelamatkan ibu dari pukulan ayah, aku ingin menyelamatkan ayah dari pengaruh setan yang sangat mematikan. Tapi, aku gagal.
Saat aku melempar pandangan, aku dihadiahi suasana harmonis yang tiba-tiba membuatku sesak. Itu teman sekolahku, dia bersama orang tuanya.
Merasa diperhatikan, dia berhasil menemukanku, seketika mata hitam legam itu menatapku sama seperti tatapan kebanyakan orang. Iba.
Dia berjalan menjauh dari orangtuanya dan datang menghampiriku.
“Halo Grey,”
“Menjauhlah! Jangan pernah, menegurku seperti ini,”
Raut wajahnya yang semula hangat dengan senyum, berubah menjadi merah karena marah.
“Baiklah, ini yang terakhir kalinya aku menegurmu!”
Dia pergi. Yah lebih baik seperti ini. lebih mudah membuat orang benci daripada berusaha mati-matian terlihat baik-baik saja didepan orang-orang yang jelas-jelas tidak akan mengerti keadaanku.
Jadi selamat membenci saya yah....
Memang harus aku akui hidupku tak semenarik hidupmu. Aku tahu siapa aku. Jadi, silahkan sibuk menilaiku. Karena bagaimanapun, aku tetaplah aku. Tidak akan berkurang atau bertambah karena penilaian kalian.
Tak hanya teman sekolahku, kadang kasih sayang antar orangtua dan anak terjadi di depan mataku. Aku hanya bisa menjadi penonton, sekaligus pemimpi. Aku sadar, selamanya aku hanya bisa menjadi penonton, hanya keajaiban yang dapat membuatku menjadi pemeran utama. Dan seperti yang kita tahu tidak ada sihir di dunia ini.
Terlihat begitu bahagia, ingin rasanya bertukar posisi dengan mereka. Iri? Jelas.
Aku tahu jalan hidupku tak semenyenangkan anak-anak lain. Tentunya mereka tak perlu susah-susah kerja seperti diriku hanya untuk makanan, hidup mereka sangat sempurna, mereka bahagia dan beruntung memiliki keluarga yang lengkap, ada ibu dan ayah yang akan selalu disamping mereka disaat mereka down dan kesusahan.
Ayah, ibu? Apakah kalian tahu? Aku iri saat melihat teman-temanku bersama keluarganya, Ingin rasanya aku bertukar posisi dengan mereka. Aku benar-benar marah kepada Tuhan. Kenapa aku harus lahir dalam keluarga yang seperti ini, kalo ini ujian kenapa ujiannya seberat ini? Sungguh, aku terlalu kecil dan belum siap untuk menerima semua ini! Tapi, aku berusaha untuk tetap tegar dan menyemangati diriku sendiri. (jujur aku nangis saat nulis part ini)
Saat kesunyian melanda, ingatan itu kembali hadir memutar kembali kenangan indah yang sempat direkam oleh otakku, masa-masa dimana aku pernah bahagia dengan kasih sayang orang tua dan berakhir dikenangan-kenangan pahit yang berusaha keras aku lupakan.
Aku hanya iri pada semua anak yang masih memiliki keluarga utuh, aku memang pernah merasakannya namun mengapa harus sebentar? Apa Tuhan sudah meninggalkanku? Kenapa harus aku!? Kenapa keluargaku!? Bukannya Tuhan mahabaik!!? Kenapa Tuhan sejahat ini!! Apa tidak ada keluarga lain yang dapat dihancurkan selain keluargaku?!
Rasanya baru kemarin aku happy-happy, tapi sekarang?
You know? I’m so tired.
When the end off all this problem?
Why always me?
Aku juga mau hidup bahagia seperti mereka.
Kapan giliranku bahagia?
Apa aku tidak pantas bahagia?
Seakan-akan kebahagian tak pernah berpihak padaku.
Kesalahan apa yang aku perbuat sehingga aku menjadi seperti ini?
Beritahu aku, aku ingin memperbaikinya, aku ingin memperbaiki semuanya karena aku ingin keluargaku kembali seperti dulu lagi. Apa ada kesempatan kedua? Apa masih ada harapan?
Dan kurasa tidak.
Aish harapanku terlalu tinggi sehingga aku hanya bisa berkhayal, bodoh sekali!
-----
Jangan fokus untuk mencari 'kebahagian' bahagia itu tidak dicari. Tapi diciptakan.
Vote dan komen<3
![](https://img.wattpad.com/cover/176768642-288-k541518.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories(revisi)
Non-Fiction°°Mereka yang terlihat kuat, sebenarnya tidak benar-benar kuat secara utuh ada kesedihan yang ia sembunyi rapat dan pura-pura bahagianya terlalu berhasil.°°