Kaki jenjang berhenti di depanku, aku yang menundukkan kepala, di paksa untuk melihat sosok yang berdiri di depanku.
Dia adalah guruku, senyum mengembang di wajahnya. Tapi, itu bukan senyum bahagia, aku kenal senyum itu, senyum pahit.
“Ayo cerita,” katanya.
“Aku...”
Ada sesuatu yang ingin diutarakan oleh pikiranku. Tapi, entah kenapa perlahan hati menahan dengan lembut dan seakan berkata, ‘Simpan sendiri dalam hati’.
“Tidak apa-apa,” kataku sambil tersenyum tipis.
“Pulanglah, tidak baik anak gadis sepertimu berkeliaran di malam hari seperti ini,” katanya sambil menatapku dalam.
“Aku pulang, selamat malam.” kataku sambil beranjak pergi dari tempat itu.
Berjalan perlahan melewati lorong-lorong sepi dan gelap tidak membuatku ingin mempercepat langkah kaki melainkan semakin memperlambatnya. Kegelapan ini menyamarkanku sehingga membuatku senang didalamnya. Berharap waktu terhenti dan biarkanku terjebak disini.
Dalam sepinya malam, aku melamun.
Menatap datar rumah yang seharusnya menjadi wadah yang dipenuhi oleh kasih sayang dan kebahagiaan.Rumah yang seharusnya menjadi zona paling nyaman, nyatanya hanya sebagai sumber luka yang mendarah daging.
Hatiku hancur, tiap kali mendengar tangis diam-diam ibu, tiap kali melihat senyum pahit yang tersungging di bibirnya, dan usaha kerasnya untuk mempertahankan rumah tangganya.
Kenapa hidup ini kejam sekali?!!
Aku mencoba menguatkan diriku, kadang sulit sekali. Aku bingung memikirkan apa yang akan terjadi dimasa depan. Bahkan, kepada diriku sendiri aku tidak lagi mampu memahaminya dengan baik, aku tidak mengenal diriku lagi, apa mauku? Hal-hal apa yang dulu membuatku tenang, kini tak lagi kutemukan alasannya.
Lai-lagi aku kehilangan
Aku mati rasa, tubuhku hampa.'kamu mati saja'
'kalau kamu mati mereka akan bahagia'
'beban, kamu itu beban'
'kamu alasan mereka sedih'
'lebih baik kamu mati saja'
'kalau kamu mati kamu tidak akan sedih lagi'
'mati mati mati mati!!!!'
Suara-suara ini benar-benar menggangguku. Tapi apa benar? Apa aku harus mati? Apa dengan mati aku akan senang? Sebenarnya apa? Mauku apa? Kenapa ini semakin membingungkan. Aku bergerak semakin gelisah, memeluk diriku sambil berusaha menutup telinga dari suara yang terus menyuruhku untuk mati. Aku kedinginan ketakutan, aku bingung kenapa sekarang aku tidak bisa tertawa. Aku tertawa keras sambil menangis menjabak rambut agar dapat menyadarkan diriku yang rasanya ingin lepas.
Dengan sedikit limbung, aku berjalan menuju laci terbawa lemari bajuku. Mengambil salah satu cutter, dan mulai mengirisi pergelangan tanganku. Rasa sakit yang kurasakan membuatku yakin kalau jiwaku masih ada, aku masih dapat merasakan diriku sendiri. Aku seperti ini hanya untuk memastikan bahwa jiwaku tidak akan meninggalkanku. Merasakan sakitnya, mengembalikan kesadaranku. Darah dimana-mana, haha aku senang. Aneh, aku senang tapi air mata terus mengucur untuk saat ini.
Aneh. Aku menikmati rasa sakit ini. Ini menyenangkan(?)
Aku tidak akan mati karena kehabisan darah bukan? Tapi rasanya mati karena kehabisan darah tidak terlalu buruk.
Apa aku gila?
-----
Kepada kau, yang memiliki hubungan dengan mereka yang sering disebut anak broken home, bersyukurlah.
Vote & komen,
Dari yang punya luka<3

KAMU SEDANG MEMBACA
Memories(revisi)
Non-Fiction°°Mereka yang terlihat kuat, sebenarnya tidak benar-benar kuat secara utuh ada kesedihan yang ia sembunyi rapat dan pura-pura bahagianya terlalu berhasil.°°