BAB II

38 5 0
                                    

"kita hanya perlu memulai mimpi besar kita, dengan mimpi kecil"

Terik matahari kini berusaha mengambil celah diberbagai sisi gorden putih yang terhelai panjang ke bawah. Kornea mata Erisa kini masih berusaha menerima ransangan cahaya. kelopak matanya kini berangsur-angsur mengambil giliran untuk menengok jam. Semenit setelah ia melihat jam terdengar dentuman langkah menuju pintu kamarnya. Nada ketukan pintu yang memburu seakan membuat gendang telinganya pecah. Siapa lagi? Kalau bukan Dalvin.

Dalvin adalah salah satu alasan hingga ia dapat bertahan sekarang ini. Keterpurukan penyakit bagi Erisa adalah seakan sesuatu sedang menikam dengan belati. Rasa sakit yang tak tertahankan membuat ia harus meringis ditiap detiknya. itulah salah satu alasan Dalvin selalu berada disisinya, memberinya dukungan, dan menemaninya bahkan ia tidak pernah punya waktu untuk memikirkan hal- hal yang menyangkut dengan cinta.

"Woy. buka woy. Ratu senja. Ratu drama. Ratu tidur." teriak Dalvin menggema diseluruh ruangan membuat Samudra dan Indah dari lantai bawah saling menatap heran karena kelakuan jahil Dalvin.

Tak ada respon. Nada Dalvin makin meninggi "woyy-" dentuman suaranya terhenti saat Erisa membuka pintu, membuat Dalvin mendesak ke depan.

"Rese, tau nggak! Gue punya alarm kok dan gue nggak perlu alarm rusak kaya elo--. Nyusahin diri aja" Erisa mengernyit. pupilnya masih mencoba mengatur fokus cahaya.

"Ngatain gue alarm rusak. Lo nggataunya aja di kampus gue jadi idaman para biduan. Semua cewe dikampus pasti tau lah seganteng apa gue". Dalvin meraih senyum kemenangan.

"Mereka nggak tau aja lo tuh sebenarnya gimana, palingan nih kalau gue ngaduh serese apa elo semua bakal mundur bahkan nggak menampakkan diri di hadapan lo sekalipun menghilang dari dunia" Erisa terkekeh. Skor kemenangan kini berpihak pada dirinya.

Sikap Dalvin jauh berbeda saat berada di sisi Erisa, di luar rumah ia begitu dingin. Banyak hal yang mengharuskan Dalvin bersikap seperti ombak di lelautan, ribut namun seakan menenangkan hati adiknya. Tak banyak hal yang ia harus lakukan selain membantu Erisa meluapkan kesedihannya.

Dalvin menyangkal "lagian nih sah, elo harusnya bangga punya kakak kaya gue. udah cakep, baik hati terus pintar lagi. Kurang apa coba. Artinya gue nih the perfect brother. Yahkan???" ia melipatkan kedua tangannya di dada sambil menaikkan dagunya.

"tau ahhh! Norak" Erisa menuju lantai bawa, diikuti langkah angkuh Dalvin membuat bulu kuduk Erisa hampir berdiri.

"Bun, ayah, Dalvin mau nanya nih boleh nggak?" nadanya memelan. ia mengambil posisi duduk dengan mantap. Sementara Erisa masih berdiri menatap Dalvin lekat-lekat dengan keheranan. Drama apa lagi yang akan dibuat Dalvin.

"Ada apa vin? Dilihat dari wajah kamu kayaknya serius" kegiatan makan Samudra terhenti sejenak.

"Erisa kok nggak duduk sayang." Tanya Indah. Matanya sesekali melirik Dalvin.

Erisa berjalan perlahan mengambil tempat duduk, tapi matanya masih saja fokus pada Dalvin. "iya, maaf Bun."

Posisi duduk seperti ini yang dianantikan Erisa tiap pagi dan berharap ia akan terus menikmati pemandangan seindah ini, entah itu waktu atau raganya yang akan membuat semuanya berubah.

"Jangan bilang soal kamu mau ngenalin cewek ke bunda sama ayah" goda Indah.

selama dua puluh tahun Dalvin tidak pernah berurusan dengan cinta apalagi sampai memperkenalkan seseorang pada Samudra dan Indah.

Erisa menaikkan alisnya sebelah "Dia?" tangan Erisa menunjuk pada Dalvin dan ketawa kecil sebentar. "Nggak ada tuh cewe yang mau sama dia, udah ngomongnya pake toa bau ketek lagi" ia terbahak-bahak dengan bahu yang berguncang.

Indah dan Samudra tersenyum simpul. Mereka memaklumi yang terjadi diantara keduanya. Melalui hal inilah kedekatan tumbuh diantara anak-anaknya.

"ini soal lo Sa" Dalvin memutar pandangannya dan menatap lekat lekat Erisa. Suasana yang kini saling berderai di meja makan membuat semuanya terhenti. Dalvin, adalah penyebabnya.

"gini bun... bunda sama ayah nggak mau bolehin Erisa sekolah lagi? Dalvin janji kok bakal jagain Erisa nantinya"

Badan Erisa mematung, matanya menatap Dalvin tak percaya. Memang bersekolah kembali adalah salah satu keinginannya tapi keadaan tak memungkinkannya, mengingat kondisi fisiknya yang sangat lemah.

"Dalvin, kok kamu nanya gitu. Kamu tahukan kondisi Erisa gimana seharusnya kamu tahu yang terbaik buat dia" raut wajah Indah menjadi cemas. Kini ia menjadi tak selera untuk makan.

Erisa hanya bisa termenung dan menyimak apa yang sedang terjadi di meja makan, sepertinya ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya itu.

"tapi kan bun, Erisa juga punya keinginan di masa remajanya. Setiap orang berhak bahagia bun. Lagian Dalvin janji bakal jagain Erisa nantinya" protes Dalvin dengan antusias.

"DALVIN!!! Ayah nggak suka kamu kayak gini" bentak Samudra ditengah kegaduhan yang terjadi.

"Dalvin, bukannya mau ngelawan ayah. Tapi- "

Dalvin kini kehabisan kata-kata dirinya takut mengutarakan perkataan yang memicu masalah besar, terlebih lagi sikap Samudra yang tegas pada anak-anaknya. Sejak kecil dia sudah menerapkan kedisiplinan pada keduanya. Ia pikir diam sejenak dapat meluapkan perasaan emosi ayahnya.

Erisa berdiri tegas meninggalkan meja makan menuju kamar, perlahan air matanya menetes. Langkahnya kini memburu bersama rasa kecewanya.

"Erisa. Sahh." panggil Dalvin.
Setengah badan Dalvin rasanya akan membeku. Dirinya bingung harus melakukan apa, berlari mengejar Erisa atau mencoba meyakinkan lagi bunda dan ayahnya.

"Biarkan Erisa sendiri Dalvin. Ia hanya perlu menenangkan pikirannya" pinta Samudra.

"Bunda sama ayah egois!" tegas Dalvin.

Pagi ini mood Erisa benar benar hancur. Pertanyaan yang selalu dilontarkannya kini terulang lagi.

"kenapa harus aku?" dercak Erisa dalam hati. Bukannya mau menuntut dengan apa yang diberikan tuhan, tapi apa ia hanya bisa meratapi penyakitnya dengan hanya duduk ditepian dermaga merenung selama bertahun-tahun.

Pintu kamarnya kini tertutup dengan sempurna, tak ada bunyi yang keluar. Hanya tangisan keluhnya yang tersiar. Tangannya kaku menutup rapat-rapat mulut, emosinya meledak. Badannya kini merapat dibelakang pintu sebentar dan mulai memutar sebuah lagu instrument dari pemain favoritnya. Badannya seakan rapuh, tak banyak tenaga yang bisa ia keluarkan walau jarak antara pintu dengan tempat tidur hanya satu meter, tetapi tubuhnya benar-benar lemas menuju tempat tidur.

The Sun LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang