part I

40 5 0
                                    

Sudah seharian Erisa tengah mengurung diri dalam kamar. Indah sudah berkali-kali menaiki tangga dan mengetuk pintu kamar tapi tak ada jawaban dari anak sulungnya itu. Dalvin dan Samudra juga harus terpaksa pulang mendesak mengingat kondisi Erisa. Jika saja Dalvin tak melontarkan pertanyaan itu mungkin semua tidak akan sekacau ini.

Ketukan dari Dalvin berubah 100 derajat dari biasanya. "Erisa. buka pintunya, kita bisa bicarain ini baik-baik"

Baru saja Dalvin ingin berbalik frustasi karena tidak ada jawaban, pintu kamar terbuka perlahan memberi tanda bahwa kakaknya boleh masuk.

"Gue kira bakalan jadi TV juga kaya bunda. Bicara sendiri" celoteh Dalvin memecah suasana.

Erisa melirik sinis Dalvin sekilas, memberi tanda ia lagi tak ingin bercanda.

"Ampun. kali ini serius deh" Dalvin kini bersuer. Ia mendekati Erisa yang tengah duduk dekat pintu jendela. "Emang pertanyaan kakak kemarin salah?"

Erisa mengangguk iya. "lagian lo kok tiba-tiba ngomong kaya gitu kemarin?" ia berdecak kesal.

Memang, sudah sejak lama dirinya sengaja mengundur waktu untuk mengatakan ini. Baginya ia hanya butuh momen yang pas, hingga Dalvin mengacaukan semuanya.

"Bukannya itu yang elo mau. Lagian lo sendiri kan yang pernah ngancam" Dalvin mengklikkan jarinya. "gue tuh paling ingat pas lo ngomong gini" ia berdehem dan mulai memainkan suara cempreng seakan dirinya adalah cewek "kalo nggak? bakal gue laporin Ayah lo main musik"

Tangan Erisa kini melayang di bahu Dalvin seakan ia telah memukul sebuah gendang. "lo tuh yah. Lo nggak ingat apa? Gue bilang juga nanti, butuh momen yang pas"

Dalvin berhembus pasrah. Baginya, mengalah sudah berlaku sejak dulu pada Erisa dan tidak mempunyai masa berlaku.

Waktu itu Erisa tidak sengaja membuka pintu kamar Dalvin tepatnya dimana ia sedang memasang senar, ingin sekali rasanya Dalvin lompat dari jendela saat melihat adiknya tapi dirinya sudah ketangkap basah. Bagi Dalvin musik adalah sebagian hidupnya, semua akan sia-sia jika terbongkar setelah tiga tahun ia berusaha menyembunyikannya. Hingga kini itu telah menjadi sebuah ancaman.

"jadi mau lo gimana?"

"Karena semuanya elo udah kacauin- "

"Udah Sah. Gue paham kok mau lo" potong Dalvin disela-sela perdebatan mereka.

"Yaudah!!! nunggu apa lagi. Elo sekarang turun dan jelasin semuanya" perintah Erisa seakan Dalvin telah menjadi babu untuknya.

Dalvin sepertinya harus siap mental setiap kali menghadapi Erisa. tapi semua hal itu ia lakukan hanya untuk menyenangkan adiknya.

"Tapi janji yah lo harus makan dulu" dibalasnya Erisa dengan anjungan jempol.

Dengan terpaksa dirinya harus berdiri keluar dan meyakinkan Indah dan Samudra. Tepat di depan pintu langkah Dalvin terhenti karena mendengar lagu instrument yang diputar dari dalam kamar dan seketika berbalik menjiurkan lidahnya "lagu lo ngalay banget"

"IHHHHH" pekik Erisa sambil berlalri menutup pintu kamar.

"Gimana vin? Erisa ngomong apa? Dia udah mau makan ngga?" Indah langsung menyerbu berbagai pertanyaan, matanya berkaca-kaca sedangkan Samudra hanya menyimak khawatir.

Dalvin mengambil nafas panjang sebelum akhirnya ia berbicara.

"Erisa mau sekolah bun. Nggak ada salahnya kita nurutin apa yang dia mau selagi kita bisa ngejaga. Gini deh yah, Dalvin janji bakal lakuin yang terbaik buat Erisa"

Hanya kata-kata itu yang mampu Dalvin yakinkan pada Samudra dan Indah. Mereka hanya butuh waktu panjang untuk mempertimbangkan semua. Tidak semudah itu setelah apa yang mereka tahu tentang penyakit Erisa.

...

Riuh suasana pagi ini menjadi rengang, tak lain karena Erisa. Indah dan Samudra sudah mengambil sebuah keputusan dan itu butuh waktu semalaman. Awalnya Samudra tidak begitu yakin dengan pilihan Erisa tapi Indah terus meyakinkannya, dia tidak tega harus melihat Erisa sedih terlebih lagi mogok makan.

Matahari begitu cerah pagi ini, tidak sepadan dengan perasaan Erisa. Ia masih sibuk membalik-balikan badannya mencari posisi yang nyaman diatas tempat tidur. Alarm sudah sejak malam dia melepaskan baterainya, dia benar-benar tak berniat untuk bangun pagi dan mulai lagi merenung soal kemarin.
Langkah yang terdengar kini tak biasanya gesekan halus diatas lantai membuat dia yakin bahwa kali ini bukan Dalvin.

Nada ketukan pintu terdengar lambat. Erisa kemudian menarik selimut menutupi semua badannya seolah ia tak mau bicara pada siapapun.

"Bunda boleh masuk nggak?"

pintanya dengan sungguh-sungguh. Ia membawa segelas susu dan roti yang kini tengah berada dibaki itu.

Sebagai ibu, Indah terus berusaha mencoba memahami hati anaknya dan melakukan terbaik semampunya.

Tapi disaat Erisa tergeletak pingsan atau meringis kesakitan, ia akan merasa bahwa dirinya telah gagal menjadi seorang ibu.

"Pintunya nggak dikunci" nada Erisa memalas. Baginya dengan mengurung diri dikamar akan membuahkan hasil, berharap mendapatkan izin untuk bersekolah lagi. Ia rela walau perutnya terus bercengkram seperti harimau agresif, meminta makanan.

Indah perlahan masuk dan meletakkan baki disamping pintu jendela kemudian membuka tirai horden. Ditengoknya Erisa sedang membalut badan dengan selimut.

"Pagi ini matahari cerah banget yah. Bukannya Erisa suka sama matahari. Ohhh yahh... kemarin kamu kan nggak ke dermaga liat matahari terbenam" Suara Indah berusaha menenang walau sikap Erisa membuatnya sangat terpukul.

Hati Erisa saat ini masih terkunci, walau mata dan telinganya masih mengamati gerak-gerik bundanya.
"yaudah, kalau kamu nggak mau ngomong sama bunda. Bunda Cuma mau bilang ayah kamu ngebolehin sekolah lagi"

Erisa menerka lagi seakan ia salah dengar, matanya melotot. Ia kemudian perlahan mengangkat tubuhnya yang masih penat dengan posisi duduk tegap.

"Bunda serius? Bunda nggak bohongkan?" tanya Erisa dengan tak percaya. Jika itu iya, dia tak mau melewatkan kesempatan ini. Ia harus menelpon Dalvin dan berterima kasih pada Samudra.

Indah mengangguk pelan walau semuanya hanya desakan. "iya bunda serius. Yaudah kamu makan dulu yah. Bunda mau ke bawa sentar"

Erisa begegas mencari telfon, ia tidak mau melewatkan kabar baik tanpa Dalvin. Sebenarnya Erisa masih tidak percaya, tapi faktanya berbeda. Erisa pikir ia dapat menulis lembar baru lag

The Sun LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang