02

74.3K 7.2K 952
                                    

Yeri menghela nafasnya lega. Akhirnya anak-anak itu bertemu dengan ayah mereka. Namun dirinya menjadi ragu rasanya. Entahlah, firasatnya buruk kali ini. Seperti akan ada sesuatu yang mengubah hidupnya. Namun ia berusaha mengabaikan pikiran itu dan membenarkan posisi tidur Jisung agar tak jatuh dari sofa. Dengan begini, tugasnya sudah selesai.

Sesayang apapun ia pada anak-anak angkatnya, jika sudah begini mau tak mau ia harus melepas mereka. Membiarkan mereka hidup bahagia bersama keluarga aslinya. Bukankah di setiap pertemuan selalu ada perpisahan? Mungkin inilah saat yang menyakitkan itu.

Netranya berkaca, menatap pelukan hangat keluarga kecil disana. Ia hanya tak menyangka sudah sejauh ini mencintai anak-anak. Bahkan dirinya sendiri rela menjadi menjadi ibu susu mereka. Kenangan pahit dimasa lalu yang membuatnya segila ini pada anak-anak kembali melintas di benaknya. Membuat kelopak matanya basah. Ia mengibaskan tangannya kesana. Menahan air mata itu agar tak turut membasahi pipinya. Jangan sampai anak-anak melihatnya hampir menangis.

Bukan anak-anak yang melihat, tapi Mark. Pria itu melihatnya ketika ia menyeka kelopak mata yang berair dengan syal yang masih setia melingkar di lehernya.

Pria itu terlihat ingin bertanya namun ragu. Karenanya ia memilih diam. Menatap si wanita yang nampak sedih di sela pelukannya dengan anak-anak ini.

"Kita harus ngobrol empat mata!" ujarnya pelan.

Mark mengangguk singkat dan anak-anak melepaskan pelukan mereka. Memberi waktu pada-yang katanya- 'ayah' itu untuk bicara dengan ibu mereka.

"Kalian tunggu sebentar disini ya. Jangan bandel!" perintah Yeri disanggupi anggukan dari anak-anak.

Mark kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan lebih dulu. Seolah menyuruh Yeri untuk mengikutinya. Refleks perempuan itu mengikuti, dengan Jisung di gendongannya.

"Dimana kamar lo?" Tanya Yeri kemudian kala mereka tiba di lantai atas. Mark meliriknya sekilas dengan raut penuh tanya.

"Belum ada 5 menit kenal, udah ngajakin ke kamar." Lagi. Pria itu bicara dengan raut menyebalkannya.

"Pikiran lo itu ya! Gue mau nidurin Jisung!"

Mark kemudian menunjuk sebuah pintu putih dekat tangga. Tanpa disuruh, Yeri masuk begitu saja kesana. Namun ia mematung sesaat di ambang pintu.

"Ini kamar atau kapal titanic sih?!" Komentarnya kala melihat isi kamar yang sangat berantakan. Yeri salut, manusia ini betah tidur di kamar yang dipenuhi oleh pakaian dan kertas dimana-mana.

"Gue orang sibuk." Dengan singkat dan santai pria itu bicara di belakang Yeri.

"Lo kan kaya, kenapa gak sewa pembantu aja!" Usul Yeri seraya membaringkan Jisung ke ranjang yang berantakan.

"Gue pernah punya pembantu. Tapi mereka gak bisa dipercaya." Mark kemudian mendudukan dirinya di sofa tak jauh dari ranjangnya setelah menyingkirkan pakaian kotor dari sana.

Sejujurnya, ia trauma memiliki asisten rumah tangga. Lagipula, ia masih memiliki seseorang yang masih mengurus dirinya bahkan hingga sekarang. Meski seseorang itu datang ke rumahnya setiap sebulan sekali. Namun Mark, akan selalu membuntuhkannya sampai kapanpun.

"Langsung ke inti aja, gue gak bisa lama-lama." Yeri mendekati Mark sembari membuka mantelnya. Cukup panas juga di kamar ini.

"Calm miss, kita bahkan belum foreplay!"

Ya ampun, Yeri tidak kuat lagi berada dekat dengan laki-laki ini. Pikiranya begitu ambigu.

"Lo sekali lagi ngomong gue lempar sepatu!" Kasar. Yeri mengambil asal sepatu pantofel milik pria itu di dekatnya.

Good DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang