16

52.4K 4.7K 467
                                    

"Siapa?"

Yeri tersentak saat sebuah tangan besar melingkari pinggangnya. Tangan siapa lagi selain Mark. Pria itu menumpu dagunya pada bahu Yeri dengan mata terpejam.

Mencoba menormalkan detaknya, Yeri menjawab, "Asisten lo yang nelfon. Dia bilang semuanya beres dan nanya kapan lo sembuh dan berhenti bersikap manja." ledek Yeri.

Yah, setelah percakapan mereka tadi pagi Mark terus bersikap manja padanya. Misalnya saat makan tadi, pria dewasa itu merengek ingin disuapi, padahal dirinya tengah menyuapi Jisung saat itu. Jadilah ia mengurus bayi besar pula.

Dan kini, pria itu terus menempel padanya. Yeri tinggal ke kamar mandipun Mark menunggunya di depan pintu. Entah ada apa dengan pria itu hingga bertingkah sedemikian rupa.

"Lo harus terbiasa." Yeri mengernyit, tanpa mencoba melepaskan pelukan pria itu darinya. "Kalau gue baru sembuh, gue selalu kayak gini, sama mom. Tapi karena sekarang mom gak ada jadi..."

Yeri menyentuh punggung tangan Mark yang berada di perutnya. Menggenggamnya sesaat, meregangkan pelukan pria itu dan berbalik menghadapnya. Membuat telapak Mark berada pada punggungnya.

"Lo anggap gue sebagai mom lo, gitu?"

Mendengarnya, Mark justru tersenyum tipis. Agak menunduk agar bisa bertatapan langsung dengan bola mata amber bersinar milik wanita dalam dekapannya.

"Bukan." Tangan sebelah Mark menarik tangan Yeri untuk di genggamnya, ia menatap punggung tangan dan wajah wanita itu bergantian, masih dengan senyumnya. Hingga pada akhirnya pria itu memutuskan untuk mendekatkan wajahnya pada si wanita, membiarkan keduanya beradu nafas dengan si wanita yang memejamkan mata.

"Lo ibu dari anak-anak gue." Refleks, Yeri membuka matanya dan agak tersentak saat sesuatu yang hangat menempel di punggung tangannya.

Disana, Mark-yang baru saja mengecup tangannya- tersenyum penuh arti kemudian menarik kepalanya agar terbenam di dadanya. Memeluknya erat tanpa celah diantara mereka.

"Makasih udah bertahan." Ia mengusap rambut Yeri perlahan dan lembut. "Banyak resiko yang lo tanggung dari keputusan ini, gue gak tau harus bilang apa lagi selain, maaf dan makasih."

"Gak usah minta maaf, ini kemauan gue."

"Ya, gue tau."

Hening kemudian, keduanya hanya menikmati waktu untuk saling merekat. Menyalurkan perasaan rindu yang tidak dapat terucap oleh lisan melalui sebuah tindakan. Memejamkan mata, hanyut dalam debaran berirama senada yang meracuni pikiran masing-masing.

Entah pihak mana yang memulai debaran ini, yang jelas keduanya masih belum sadar akan degup serupa yang mereka pelihara saat ini.

Yeri melepas pelukannya dari Mark setelah beberapa menit berlalu, pikirannya tentang Jisung berhasil membawa ia kembali pada kenyataan. "Gue harus pulang."

"Kemana?" Mark menahan lengannya, tak ingin berada jauh dengan wanita itu.

"Lo udah tau semuanya, jadi biar gue ngelakuin semua rencana hidup yang udah gue atur." agak berat mengucapkannya, namun keputusan yang ia pilih selalu jadi yang terbaik bagi ia dan putranya.

"Apa..." Mark menjeda untuk mengambil nafas, seolah tak siap mendengar kalimat yang akan keluar dari wanita di depannya, "rencana lo?"

Yeri menatap bola mata Mark tepat, netra itu sedikit berbinar kala pandangan mereka terkunci pada titik yang sama. "Pulang. Gue harus ke rumah Koeun, habis itu gue pulang ke Daegu. Gue yakin anak-anak udah nyaman sama lo."

Netra itu menyendu, genggamannya pada tangan si wanita mengerat seolah menahan sesuatu, kemudian beralih menatap fokus lain untuk tak terlalu menonjol. Seiring melemahnya genggaman tangan Mark, binar penuh dari netra raven itu tergantikan oleh binar basah yang seolah siap tumpah kapan saja.

Good DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang