Aku terbangun di kamarku yang sempit. Cahaya matahari redup masuk lewat celah-celah di antara papan kayu yang menjadi dinding rumah. Yah, Downmere sebenarnya tidak terlalu mendapatkan asupan cahaya matahari karena terhalang pulau awan Uporania yang mengambang di atas. Setiap harinya, Downmere selalu tampak mendung meskipun tak hujan.
Mulutku menguap lebar. Lalu dengan keadaan kusut, aku beranjak dari kasur.
Di tengah lorong pendek rumah yang reyot, sayup-sayup terdengar suara rintihan. Hatiku mencelus sakit. Kupegangi dadaku yang terasa sesak. Hari-hariku di rumah memang selalu berlalu seperti ini. Makanya aku lebih banyak menghabiskan waktuku di luar, mencopet apa pun yang bisa kujual dari orang-orang.
Aku mengembuskan napas panjang. Kupandangi Ibu yang sedang memeluk foto ayah sambil merintih di atas sofa berlubang ruang tamu. Seperti pagi-pagi yang sebelumnya, sosok itu selalu menunggu kepulangan ayah yang entah kapan datangnya.
"Ibu," panggilku lirih. Ada rasa sakit tak tertahankan yang sedang kucoba sembunyikan.
Sosok itu menoleh dengan mata sembab. Bibirnya tersenyum lemah ke arahku. "Tidurmu semalam nyenyak, Nak?"
Sebenarnya tidak. Namun, aku mengangguk-angguk saja, tidak mau menambah beban pikirannya.
Kemudian, kuhampiri Ibu dan duduk di sampingnya. Kupandangi sebentar figur ayah di dalam potret yang dipeluk Ibu, lalu beralih memandangi wajah Ibu. "Jangan menangis lagi, Ibu. Semuanya terkendali. Kita masih bisa makan meskipun tanpa ayah."
Bibir Ibu bergetar. Raut wajahnya menunjukkan kepadaku bahwa dirinya hendak memprotes. Namun, niatnya seketika urung, dia tersenyum lembut. "Iya, Nak. Terima kasih sudah bekerja keras untuk Ibu."
Aku mencopet, Bu. Seandainya saja aku bisa mengatakannya dengan jujur.
Ibu kembali memandangi figur ayah. Dirinya kembali merintih penuh pilu. Tenggelam dalam berjuta memori indahnya di masa lampau. Tenggelam dalam ilusi kata 'seandainya'. Mengabaikan diriku---anak semata wayangnya---yang jelas-jelas ada di masa kini. Tinggal bersamanya. Melakukan pekerjaan kotor demi sesuap nasi untuknya.
Aku tak pernah dianggap.
"Aku ... masih di sini, Ibu," gumamku lirih. Rasa hangat memenuhi netraku.
"Hah, kau bicara sesuatu, Nak?" Di luar dugaan, Ibu mendengar gumamanku.
"Ah, aku baru saja meminta izin untuk pergi jalan-jalan dengan Yobi," jawabku asal. "Boleh, kan, Bu?"
Ibu mengangguk. "Iya, tentu boleh. Yobi anak yang baik."
Dengan segera, kuberanjak dari sofa. Berjalan cepat dengan kepala tertunduk menuju ke luar rumah. Kemudian, aku berlari sekencang-kencangnya menerobos angin. Sesekali menabrak orang yang lewat.
"Maaf," ucapku pendek kepada mereka.
Lalu, tibalah aku di depan sebuah rumah kayu di sisi kanan desa. Di halaman kecilnya, si empunya rumah sedang asyik bersiul-siul sambil menjemur pakaian di sepanjang kawat yang terbentang antara tiang kayu.
Langkahku memelesat ke arahnya. Si empunya rumah tampak terkejut, kedua netra tajamnya membelalak. Namun, dirinya dengan cepat menyesuaikan diri begitu melihat diriku yang sedang memeluk tubuhnya erat. Kutenggelamkan wajahku di dada bidangnya.
"Luna?" tanyanya.
Aku membisu. Lalu kubalas pertanyaannya dengan isakan tangis. Isakan tangis yang penuh dengan rasa sakit nan pilu.
"Oh, sudah penuh, ya? Sangking penuhnya, rasa sakitmu jadi meluap?" tanya pemuda itu. Tangannya bergerak mengelus rambut panjang pirangku.
"D-d-diam! Sekarang dirimu adalah samsakku, Yobi!" balasku di tengah isakan tangis.
"Menangislah yang puas. Kau sudah menahannya terlalu lama," bisik pemuda itu, Yobi ke telingaku. Dan otomatis, aku pun menambah frekuensi tangisku. Aku berteriak di dada Yobi. Menangis sejadi-jadinya.
"Apa yang dilakukan pemuda itu kepada gadis itu?" Terdengar bisik-bisik miring dari orang yang lewat.
"Dasar! Anak lelaki semua sama saja!" bisikan lain terdengar. "Kasihan gadis itu jadi korban perasaan palsu."
"HEEE?!" Yobi memekik tak setuju. Namun, sebelum sempat menjelaskan, orang-orang yang menggunjingkan dirinya pergi dengan cepat.
"Hahahahaha," tawaku geli. "Yobi, hiks ..., kau dengar apa kata mereka?"
Yobi memandangiku dengan tatapan yang tak kumengerti. Antara kaget bercampur bingung, tetapi juga senang.
"Kau pemuda berengsek yang suka memainkan perasaan para gadis. Pft, hahahahaha!" tawaku kembali meledak. Seketika aku melupakan tangisku meski air mata masih setia berjatuhan dari tempat penampungannya.
Kini tatapan Yobi berubah. Dia menatapku penuh rasa iba. Lantas, pemuda itu memeluk diriku erat. "Karena itulah aku menyukaimu, Luna."
"HEE?! LEPASKAN AKU, BODOH! AKU TIDAK BISA BERNAPAS!" pekikku sambil memukuli punggung tegap Yobi.
"Maaf, hehehe," kekeh Yobi. Wajahnya memandangiku tanpa dosa.
Aku berdecih sebal sambil sesekali mengelap air mataku dengan lengan panjang kausku. Lalu di tengah aktivitas itu, tiba-tiba saja satu tiupan angin berdesir. Percikan sihir berwarna emas berjatuhan dari langit.
Aku dan Yobi sama-sama mengerjap. Bertanya-tanya apakah yang barusan lewat. Kemudian, tampaklah seekor burung hantu putih di atas dahan pohon. Sebuah surat berstempel lambang Uporania tercapit di paruh kecilnya.
"He, jarang sekali Downmere mendapat surat dari atas. Kira-kira siapa yang mendapatkannya, ya?" Yobi bertanya-tanya dalam kebingungan. Belum sempat aku mengiyakan ucapannya, seketika sang burung hantu memelesat ke atas kami berdua, menciptakan embusan angin yang disertai hujan percikan sihir emas.
Sebuah surat jatuh di atas kepalaku. Mengeluarkan sinar keemasan yang tampak sangat terang bagi lingkungan Downmere yang abu. Yobi mengambil surat itu lalu membukanya.
"Apa isinya?" tanyaku, "jika itu terjatuh di kepalaku, pasti itu untukku, kan?"
Yobi terkekeh. "Aku tidak bisa baca."
"Ish!" umpatku geram. Lalu buru-buru aku menyambar surat itu dan membacanya keras-keras agar Yobi bisa ikut paham dengan isi surat tersebut.
"Untuk Luna Elgaria di Downmere. Kami mengundang Anda untuk bergabung bersama institusi pendidikan sihir kami. Kami akan sangat senang menerima Anda sebagai murid jalur undangan di sekolah kami. Jika Anda menolak, maka rumah Anda akan dijatuhi meteor dan kulit Anda akan berubah menjadi hijau seperti katak. Salam hormat, Akademi Sihir Blackheart."
Hening. Suratnya berakhir sampai di situ. Aku menganga lebar. Begitu juga dengan Yobi.
"Mereka gila, kita tidak bisa sihir!" komentarnya. "Abaikan saja surat itu, Lu--"
"AKU TIDAK MAU JADI KATAK!!" teriakku. "NANTI AKU TIDAK BISA MENCOPET LAGI!"
"Astaga, kecilkan suaramu! Untung tidak ada yang lewat!" gerutu Yobi. Telapak tangannya berusaha menutupi bibirku yang masih bersiap meneriakkan kata-kata protes lainnya. "Surat itu tidak bilang kau akan jadi katak. Itu hanya bilang kalau kau akan menjadi manusia katak."
"Bagiku sama saja!" pekikku tak terima.
Astaga, benar-benar sial. Apa yang harus kulakukan? Jika menerima undangannya, aku akan menjadi murid terbodoh di sana. Namun, jika aku tidak menerimanya, rumahku akan kejatuhan meteor lalu hidupku akan berakhir sebagai manusia katak.
"HUEEEEE!!" tangisku kencang.
🌜🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Blackheart Academia (TELAH DITERBITKAN)
FantasyTERSEDIA DI PENERBIT MAPLE MEDIA (INSTAGRAM & SHOPEE) [ Fantasy, Romance & Reverse Harem ] Akademi Sihir Blackheart adalah sekolah paling elit di dataran Zirania. Siapapun yang bermimpi menjadi seorang Magia, pasti akan memilih bersekolah di sini. A...