Kapas-kapas beku berjatuhan dari langit mendung. Petir menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, menciptakan sensasi tegang tiap kali cahaya terbentuk di malam gelap. Angin bertiup kencang, tetapi tekanannya tidak membiarkan langkah seseorang itu goyah.
Seorang gadis berpakaian zirah terus melaju sembari menenteng pedangnya yang tinggal setengah. Ujungnya raib, sehabis pertarungan besar-besaran melawan anak buah Penyihir Arkanis. Di tengah udara dingin, napasnya memburu panas, dendamnya untuk keluarga dan teman yang gugur membara. Membara terang bagaikan matahari terik musim panas.
Gadis itu berhenti di tengah padang salju. Netranya yang mulai kabur kini memandang ke arah bangunan di depan. Sebuah altar batu dengan puluhan tangga. Di atasnya kematian menunggu bersama seseorang yang lebih mengerikan dari kematian itu sendiri. Berdiri dengan tangan menggenggam tongkat sihir yang telah dimodifikasi menjadi sabit.
"Arkanis," desisnya geram. Digenggamnya gagang pedang kuat-kuat.
"Jadi, hanya kau yang berhasil?" Penyihir Arkanis tersenyum kecut. Jubah hitam beludunya berkibar-kibar ditiup angin.
"Untuk semuanya yang telah gugur, dengan ini aku akan membalaskan dendam mereka," ujar si gadis berzirah. Pedang patahnya ia acungkan ke depan, sebagai tanda tantangan untuk sang penguasa sihir hitam.
Penyihir Arkanis terkekeh geli melihat kelakuan si gadis berzirah. Pria itu mengibarkan jubah beledu hitamnya ke depan hingga ujung-ujungnya berubah menjadi kobaran api yang melahap tubuh hingga hilang. Untuk sesaat, si gadis berzirah kebingungan. Namun, hanya dalam waktu sepersekian detik kemudian, Penyihir Arkanis muncul di depannya.
Si gadis berzirah tersentak kaget. Sedangkan si Penyihir Arkanis dengan santai memutar tongkat sihirnya yang berbentuk sabit lalu melemparkan sebaris mantra sihir terlarang.
"Yaminoxia Magnuso."
Seberkas kilat muncul dari ujung sabit. Memelesat ke arah si gadis berzirah lalu melingkari leher dan mulai memotong saluran pernapasan. Penyihir Arkanis tertawa-tawa dengan gilanya. Berpikir bahwa pertarungan ini, mutlak adalah kemenangannya.
Di saat-saat paling menengangkan itu, tangan si gadis berzirah berusaha menggapai-gapai ke udara. Bermaksud menyentuh barang sedikit saja tubuh sang penyihir yang memang berdiri tidak jauh darinya. Jika saja si gadis itu bisa menyentuhnya, maka negerinya mungkin bisa selamat.
"Apa yang mau coba kau lakukan, Alice?" sinis Penyihir Arkanis.
"Menyentuhmu," desis si gadis berzirah kepayahan. Saluran pernapasannya hampir tertutup sempurna. Badannya mulai setengah mengejang karena mengandalkan otot diafragma untuk mendapat asupan oksigen.
Ujung jari telunjuk sang penyihir berhasil tersentuh. Kemudian, sebelum napasnya benar-benar pergi, terdengar di telinga si gadis berzirah sebuah teriakan. Teriakan kematian sang penyihir yang begitu merdu.
Musim dingin, hari ke dua puluh lima, ada sepasang musuh besar yang sama-sama meregang nyawa. Berpikir bahwa itu adalah akhir dari pertarungan mereka, tentu saja siapa pun salah. Pertarungan belum usai. Suatu hari nanti, mereka akan kembali bertemu dan bertarung.
Sang gadis Alice dan Sang Penyihir Arkanis terikat takdir reinkarnasi. Entah siapa yang memulai. Entah siapa yang sebenarnya salah. Selamanya, mereka akan hidup dalam dendam dan amarah yang bersarang dari kehidupan sebelumnya.
🌜🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Blackheart Academia (TELAH DITERBITKAN)
FantasyTERSEDIA DI PENERBIT MAPLE MEDIA (INSTAGRAM & SHOPEE) [ Fantasy, Romance & Reverse Harem ] Akademi Sihir Blackheart adalah sekolah paling elit di dataran Zirania. Siapapun yang bermimpi menjadi seorang Magia, pasti akan memilih bersekolah di sini. A...