Chapter 4: Penjemputan

1.6K 250 20
                                    

Dua hari berlalu sejak kejadian penerimaan surat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua hari berlalu sejak kejadian penerimaan surat. Namun, tidak ada apa pun yang terjadi. Aku mengunyah apel hasil curianku di bantaran sungai. Netraku menatap ke awan kelabu yang selama ini menghalangi pemandangan langit biru. Apakah ... aku akan benar-benar pergi ke atas sana?

"Berpikir tentang Akademi Blackheart lagi?" tanya Yobi. Pemuda itu duduk di sampingku. Tangannya asyik memainkan sempoa, menghitung pundi-pundi uang yang berhasil dia dapatkan dari hasil curian.

"Iya," jawabku, "apakah yang mengirimiku surat adalah Nick, ya?"

"Kenapa berpikir begitu? Memangnya dia punya jabatan apa sehingga bisa mengirimimu jalur undangan dari akademi sihir terbesar Zirania itu?" cibir Yobi.

"Oh, dia seorang pangeran," balasku hampa. Meskipun kalimat Yobi kubalas, tetapi sebenarnya pikiranku sedang tidak ada di tempat.

Yobi tersedak ludahnya sendiri. Kemudian, setelah puas terbatuk-batuk, pemuda itu memandangiku dengan tatapan tak percaya. "Bohong."

Aku menoleh ke arahnya. "Serius. Nick yang selama ini kuceritakan adalah Pangeran Nickaela."

"Kenapa tidak pernah cerita?" tanya Yobi cepat. "Lagipula kenapa kamu tahu kalau Nick yang bertemu denganmu adalah Pangeran Nickaela?"

"Pangeran Nickaela Zirania. Itu nama lengkapnya. Aku dengar nama itu dari seorang pelayan istana yang sedang menjaganya waktu keluarganya berkunjung ke Downmere," ungkapku.

Yobi mengkerutkan kening. Jarinya menyapu rahangnya yang tegas, tampak berpikir. "Bisa jadi dia yang mengirimimu surat itu. Namun, kenapa harus undangan bersekolah? Kita kaum Downmere. Tidak perlu sekolah. Lagipula kita terlahir tanpa Xi."

"Namun, Luna, kau harus tahu ini," ucap Yobi menjeda. Netra tajamnya memandangiku intens. Jantungku pun terasa ingin melompat karenanya. Belum pernah aku melihat ekspresi Yobi yang seperti itu.

Kalau dilihat-lihat, Yobi bukanlah pemuda biasa saja. Dari penampilannya, seharusnya aku sudah tahu kalau dia emm, lumayan tampan. Bahkan, sadar tidak sadar, selama ini selalu banyak gadis desa yang memintaku menjadi penghubung antara mereka dan Yobi.

Namun, entah kenapa, Yobi tak acuh. Dia lebih suka mencopet bersamaku. Kurasa Yobi memang sesat, tetapi ketika dia menatapku dengan cara yang aneh tadi, hatiku berkata bahwa ... ada alasan yang lain.

Ada alasan kenapa dia tetap ingin bersamaku.

"Luna, aku menyukaimu," ujarnya di tengah angin yang berembus menabrak kulit, menyebarkan harum bunga rumput ke udara.

"Hahaha," tawaku. "Aku sudah ta--"

"Aku jatuh cinta kepadamu, Luna Elgaria." Yobi menyela kalimatku. Netranya masih menatapku intens. Begitu tajam, khas pemuda lainnya yang biasa kulihat. Belum pernah aku melihat diri Yobi yang seperti saat ini.

Aku menunduk, tak sanggup membalas tatapannya. Jantungku berdentum-dentum dengan sangat hebat di dalam dada. Perasaanku gelisah dan suara yang bisa dikeluarkan dari bibirku hanyalah, "S-sejak kapan?"

"Sebelum dirimu bertemu dengan si pangeran itu," jawab Yobi. Sudah lama. Dan selama ini, kata-kata 'suka' yang diucapkannya kepadaku tidak bohong.

"Woi, ternyata kalian di sana rupanya!" Terdengar suara teriakan yang tampaknya tidak asing. Refleks, aku dan Yobi pun menoleh ke si empunya suara hanya untuk menyadari sesuatu yang gila setelahnya.

"Astaga, itu paman pemilik toko roti yang tadi pagi dagangannya kita ambil tanpa membayar!" bisik Yobi hampir tak terdengar.

Sebelum aku berhasil menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas Yobi, sayup-sayup dari kejauhan, kudengar suara derap langkah seekor kuda. Diikuti dengan suara roda dan dentingan logam baju zirah.

Kami menoleh ke sumber suara, tepat di sisi lain dari arah datangnya paman pemilik toko roti. Lalu mendapati sebuah kereta kuda berlapis batu berlian warna-warni. Debu-debu khas musim panas mengekor di belakang mereka. Menciptakan suasana suram.

"Apa mereka mau mengambil warga kita lagi untuk berperang? Astaga," gerutu Yobi. "Siapa lagi kali ini?"

Aku menangguk-angguk, setuju dengan gerutuan Yobi. Netraku menatap tajam kereta kuda tersebut. Memandanginya penuh benci. Orang di dalam sanalah yang dulu membawa pergi ayahku sehingga keadaan kami jadi kacau seperti ini.

CKIT. Kereta kuda berhenti di belakang kami. Pintu putih bersih itu terbuka. Memperlihatkan seorang ksatria berzirah juga seorang wanita paruh baya dengan kemeja necis.

"Atas perintah Raja Zirania, aku, Jenderal Lock akan membawa saudara Yobi Rezirnox sebagai anggota dari pasukan legiun IV ke medan perang di perbatasan Zirania dan Ebetopia." Suara ksatria berzirah itu---Jenderal Lock---terdengar berat, dingin, dan menusuk hati.

Aku mematung. Sedangkan Yobi menunduk. Apa-apaan dengan keadaan ini? Bukankah biasanya kami lari jika ada seseorang yang mengejar dan berusaha menangkap kami? Kenapa sekarang kami malah diam?!

Berbeda denganku yang merasa terpukul, si paman pemilik toko roti hanya bisa mematung sambil memasang senyum miring. Kurasa dia berpikir bahwa kami berdua baru saja kena karma karena telah mencuri dari tokonya. Sebelum dirinya pergi, kudengar dia bergumam, "Mampus."

Yobi sama tertekannya sepertiku. Namun, entah apa yang merasukinya, seketika raut wajahnya berubah menjadi setenang air. "Tak apa, Luna. Aku akan pergi sesuai perintah yang mulia raja."

Pemuda bersurai cokelat gelap itu memandang ke arahku penuh arti. Tangannya bergerak mengacak rambut pirangku sebelum pada akhirnya berdiri tegap di hadapan Jenderal Lock sambil memberi hormat. "Saya bersedia menunaikan kewajiban membela negara demi Yang Mulia Raja Zirania."

Tidak. Aku tidak mau. Jika Yobi pergi maka ... dia bisa mati. Sama seperti ayah.

"Tidak adakkah pengganti lain?!" protesku geram. Kuikut berdiri, memandangi netra scarlet milik Jenderal Lock yang beringas dan menusuk.

"Tidak. Saudara Yobi Rezirnox telah memenuhi persyaratan. Besok dia akan diberangkatkan ke barak legiun IV," jawab Jenderal Lock dingin. Tak ada belas kasih yang terdengar dari nada suaranya.

Curang. Ini tidak adil. Dan parahnya aku tidak bisa melakukan apa-apa. Sedikit saja memberontak atau melakukan hal yang tak disukai oleh dua makhluk kaum atas di depan, maka kepala kami akan hilang.

Maksudku, mereka bebas melakukan apapun terhadap kami dengan bantuan sihir mereka. Entah mantra mematikan apa yang akan keluar.

Selama ini kaum Downmere memang selalu dijadikan budak hanya karena kami tidak memilili Xi, suatu energi dalam tubuh yang bisa memunculkan kekuatan sihir.

"Dan, Anda, saudari Luna Elgaria, hari ini saya menjemput Anda untuk dibawa ke Uporania. Mulai besok Anda resmi menjadi murid Akademi Blackheart." Kali ini si wanita paruh baya yang bicara. "Saya Madam Teressa. Kepala sekolah Anda."

Aku mengangguk masam. Pikiranku melayang kepada Ibu dan Yobi. Apa yang akan terjadi kepada mereka selanjutnya? Astaga, pikiranku saat ini benar-benar terasa sakit.

"Madam Teressa?" panggilku kaku.

Madam Teressa mengangkat alis. "Ya, Luna Elgaria?"

"A-apakah sesekali aku boleh berkunjung untuk--" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Madam Teressa menyela dengan cepat.

"Kalau yang dirimu maksud adalah Ibumu, maka dia aman. Pemerintah kerajaan akan mengurusnya dan memberikannya hidup layak," ungkapnya. "Juga, Anda tidak diperkenankan untuk kembali ke Downmere."

🌜🌟

Blackheart Academia (TELAH DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang